Selasa, 24 Maret 2015

Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 22 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Tahun baru Saka, yang disebut Nyepi, sudah berlalu kemarin. Sehari sebelumnya, umat Hindu di berbagai tempat mengarak ogoh-ogoh ke jalanan. Ini adalah patung dari bahan ringan yang menggambarkan wajah raksasa, simbol dari Sang Butha alias setan. Terserah mau mewujudkan raksasa perkasa, raksasa kemayu atau raksasi, raksasa jomblo, atau raksasa setengah binatang.

Butha itu simbol jahat yang harus diperangi dari semesta. Juga simbol nafsu jahat dalam diri kita. Kenapa diarak ke jalanan? Inilah perjalanan budaya salah kaprah. Dulu, ritual membersihkan alam ini cukup dengan sesajen, dan pendeta melafalkan doa-doa "mengusir setan". Masyarakat kurang sreg kalau tak ada visualisasi, maka dibuatlah patung raksasa yang terbuat dari jerami dibalut kertas dan dicat warna-warni. Lama-lama lantas ada ide, patung yang bagus itu sebaiknya diusung di sekitar tempat ritual. Tahun-tahun berlalu, masyarakat semakin kaya, ogoh-ogoh pun semakin bagus. Maka patung itu diarak ke jalan-jalan desa. Dan terjadilah seperti sekarang, ogoh-ogoh semakin canggih, dibuat dari gabus yang membuat pencinta lingkungan ngamu, dan pemuka agama pun khawatir ogoh-ogoh itu tak lagi sakral. Tapi kegembiraan anak-anak muda itu susah dilarang. Yang diwajibkan adalah wajah ogoh-ogoh tetaplah raksasa dan-setelah ritual selesai-kemudian dibakar. Jangan ada kesan ogoh-ogoh simbol kejahatan dan nafsu buruk itu justru seolah dipuja-puji, diusung dengan meriah.

Pada hari Nyepi kemarin saya merenung (Nyepi itu hari introspeksi), jangan-jangan kita sudah salah kaprah dalam banyak hal seperti budaya ogoh-ogoh. Yakni, orang-orang jahat, setidaknya orang yang pernah berbuat tidak baik dan sudah dihukum, ternyata sekarang disanjung dan didukung. Masih ingat Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang diberhentikan karena pernikahan siri empat hari dengan gadis muda Fani Oktora? Aceng dicopot dan orang mencelanya. Namun celaan itu justru membuatnya terkenal, dan Aceng Fikri memanfaatkan keterkenalannya tersebut dengan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kini ia jadi senator di Senayan.

Ada pimpinan DPRD DKI Jakarta yang kini ngotot berbicara masalah hukum dan pemberantasan korupsi, padahal dia sendiri adalah mantan napi korupsi. Ada tokoh terkenal, kini wakil ketua umum partai, yang ribut menyuarakan kebenaran menurut versinya, dan orang mungkin terkagum. Ternyata dia pernah dibui untuk kasus korupsi. Yang menarik adalah sejumlah netizen-para penggila Twitter-yang bermaksud "mem-bully" seorang tokoh, sampai tokoh itu menjadi trending topic dunia, nomor tiga populer tingkat dunia. Kalau suatu ketika dia menjadi calon presiden, misalnya, jangan-jangan banyak pemilihnya. 

Masyarakat kita tak panjang ingatan. Siapa yang populer, itulah yang dipilih. Tak peduli masa lalunya kelam, pernah korupsi atau melecehkan perawan desa.
Apa yang mau saya katakan selain menuturkan ogoh-ogoh? Hukum kita tak berhasil membuat orang malu berbuat jahat. Orang tidak takut masuk bui karena korupsi, apalagi masih dapat remisi. Tinggal di penjara tak membuat jera, toh dihuni sebentar. Keluar dari bui, uang hasil korupsi masih berlimpah, mengandalkan kepandaian bicara dan banyak duit, dukungan orang masih bisa diraih.

Barangkali perlu dihidupkan kembali syarat "tak tercela" untuk jabatan publik, memperkaya surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian yang selama ini basa-basi. Yang jelas, koruptor harus dimiskinkan dan hukumannya diperberat. Jangan sampai mereka jadi manusia ogoh-ogoh, diusung ramai-ramai padahal bernafsu setan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar