Menyoal
Remisi Koruptor
Agus Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
REPUBLIKA,
20 Maret 2015
Baru-baru
ini Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berencana memberikan remisi atau
pengurangan hukuman penjara bagi koruptor melalui revisi Peraturan Pemerintah
(PP) No 12 Tahun 2009 yang secara ketat telah membatasi pemberian remisi
kecuali bersedia untuk bekerja sama dalam pembongkar kasus korupsi atau
menjadi wishtleblower
(peniup pluit).
Menurut
Menkumham, PP ini telah usang dan perlu direvisi dengan memberi remisi pada
koruptor karena koruptor juga manusia yang perlu diberi waktu untuk insaf dan
tidak mengulang perbuatannya lagi.
Kebijakan
hukum Kemenkumham memberi remisi pada koruptor ini sulit diterima akal sehat
alias irasional. Karena, secara normatif kebijakan ini telah nyata melanggar
ketentuan norma Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against
Corruption) tahun 2003 yang mewajibkan setiap negara anggota PBB untuk
tidak mudah memberi diskon hukuman kecuali apabila pelaku kejahatan
beriktikad baik bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu
kejahatan. Kebijakan ini juga tidak sinkron dengan UU No 12/1995 tentang
Pemasyarakatan dan PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Lebih
dari itu, kebijakan ini sangat tidak sensitif terhadap animo publik yang
begitu kuat menginginkan pemerintah bersedia “berperang” melawan koruptor,
terbukti dengan aneka dukungan pada KPK saat berseteru dengan Polri dalam
kasus “rekening gendut” yang diduga melibatkan Komjen Budi Gunawan beberapa
waktu lalu.
Publik
sungguh kecewa terhadap sikap pemerintah dalam pemberian remisi untuk
koruptor, dalam praktiknya begitu mudah memberi remisi pada koruptor tanpa
persyaratan yang ketat sehingga terkesan sangat diobral dan melukai rasa
keadilan di masyarakat.
Kejahatan
korupsi sangatlah berbeda dengan kejahatan kriminalitas pada umumnya karena
korban kejahatan ini tidak hanya individu, tetapi masyarakat dan negara
secara luas. Karena, korban kejahatan korupsi ini menyangkut aspek hak asasi
masyarakat.
Selama
ini para koruptor telah menjarah anggaran negara (APBN/APBD) yang semestinya
dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Itulah mengapa kejahatan ini
disebut sebagai kejahatan kemanusiaan dan diperlukan tindakan hukum yang luar
biasa (extra ordianary crimes).
Pelaku
kejahatan koruptor cenderung tampak baik, berbudi luhur, dan dermawan di
tengah masyarakat. Namun, sejatinya penuh kemunafikan, pamrih, dan sangat
politis untuk mengelabui citra jahatnya. Dipastikan ketika di dalam penjara
sekalipun tampak bijak dan baik, bahkan tak jarang menjadi ”guru” bagi
narapidana lainnya.
Selama
ini alasan pemberian remisi bagi narapidana adalah karena faktor
"perilaku baik" dalam penjara, sudah pasti para koruptor ini adalah
orang-orang yang pandai mengolah perilaku seolah-olah baik sehingga bisa jadi
ia adalah perioritas pertama yang perlu diberi remisi. Namun, apakah hanya
kriteria seperti ini mereka diberi remisi. Alangkah naifnya para pemberi
pertimbangan remisi. Bukankah perangai koruptor memang tampak baik, tapi
hanya di permukaan. Di titik ini aspek socio-legal perlu menjadi pertimbangan
agar tidak mudah mengobral remisi untuk koruptor.
Gagasan
Kemenkumham soal pemberian remisi pada koruptor dengan merivisi PP No 12
Tahun 2009 sangat tidak tepat. Seharusnya, latar belakang desain setiap
peraturan perundang-undangan haruslah selalu berdasar pada fakta empiris di
masyarakat. UU yang baru dibuat setelah ada perisitiwa anomali yang tidak
bisa diterima masyarakat, sebagai cermin dari hukum yang hidup di masyarakat
(living law).
Pertimbangan
aspek sosial dan masyarakat menurut Brian Z Tamanaha (2007) dalam bukunya Realistic Social-Legal Theory: Pragmatism
and a Social Theory of Law, merupakan roh dasar dan landasan utama
penegakan hukum dan pengaturan kebijakan hukum. Tanpa mempertimbangkan aspek
sosial dalam hukum sama, maknanya hukum telah tercerabut dari fungsi hukum
yang seharusnya mengakar dalam dimensi keadilan dan kemanusiaan universal.
Penegakan
hukum secara positivistik yang terikat kaku pada sebuah aturan tetulis justru
membahayakan tegaknya masyarakat berdasar hukum. Pemberian remisi koruptor
selama ini memantik rasa ketidakadilan di masyarakat. Saatnya kita keluar
dari positivisme yang kaku ini dan merevisi aneka produk regulasi pemberian
remisi bagi koruptor demi melindungi masyarakat yang berkeadilan.
Karena
itulah sebelum Kemenkumham hendak membuat kebijakan pemberian remisi pada
koruptor perlu mengkaji lebih dalam dan perlu menyinergikan aneka kebijakan
pengaturan pemberatasan korupsi. Di titik ini, pembenahannya bukan saja
perlunya KPK yang kuat dan independen, tetapi juga penyidik di Polri yang
transparan tanpa target politik, penuntutan di kejaksaan yang tanpa tebang
pilih dan bergigi, dan pemberian vonis hukuman yang adil dan berat di
pengadilan oleh hakim.
Yang
lebih penting adalah juga mereformasi lembaga pemasyarakatan (LP) dengan
meningkatkan kualitas pembinaan di LP sesuai ketentuan konvensi PBB 1977,
1988, dan 1990, yakni (1) Standard
Minimum Rules for Treatment of Prisoners; (2) Basic Principles for Treatment
of Prisoners; dan (3) Body of
Principles for the Protection of All Persons Under Any Form of Detention or
Imprisonment.
Selanjutnya
perlu mendesain pembaruan tata kelola LP. Di sinilah urgensitas merancang
anggaran APBN yang memadai guna memenuhi standar minimal pembinaan di LP,
seperti penambahan jumlah gedung LP, peningkatan mutu dan kualitas penunjang
pembinaan napi (makanan-minuman yang sehat, air bersih, dan layanan
pengobatan prima). Penambahan jumlah petugas (LP) dan menjamin
kesejahteraannya sehingga mereka dapat bekerja profesional dan menghindari
praktik mafia antara LP dan napi.
Sebab,
tak jarang petugas lapas dengan tanpa peraturan remisi untuk koruptor pun
selama ini selalu bermain mata dengan narapidana koruptor yang diberi
perlakuan khusus dibanding napi biasa. Tak jarang para koruptor dengan mudah
keluar-masuk LP dan bahkan berfasilitas khusus. Tanpa remisi pun para
koruptor telah dimanjakan oleh petugas lapas. Di sinilah relevansinya
diperlukan reformasi tata kelola lapas agar juga menjadi institusi hilir yang
juga antikorupsi.
Pendeknya,
pemberatasan korupsi tidak hanya berdiri sendiri dari aspek hulunya, tetapi
juga dari aspek hilirnya. Tanpa sinergitas kedua muara ini, pemberatasan
korupsi hanyalah gincu belaka, bahkan hanya akan menjadi alat politik pencitraan
di sepanjang sejarah rezim kekuasaan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar