Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Toilet di Ruang Publik

Kisah Toilet di Ruang Publik

Davis Hutama  ;  Ketua Departemen Arsitektur Universitas Pelita Harapan Jakarta
KOMPAS, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Tanpa tahu apa yang masuk dan keluar darinya, benda ini bisa jadi sesuatu yang dipahami sangat berbeda. Sastrawan Jepang Juníchiro Tanizaki begitu suka dengan toilet. Hanya di toilet, gemercik bunyi hujan, bunyi-bunyi dari serangga, bau kelembaban menjadi keindahan sendiri. Sebuah suasana yang meditatif. Begitu paparannya dalam buku In Praise of Shadow (1977).

Terlepas dari bayangan Tanizaki tadi, bagaimanapun toilet adalah subyek yang paradoks. Ia selalu mewadahi kegiatan yang privat, personal, serta kebutuhan biologis mendasar manusia, juga berperan besar dalam menghadirkan suasana kepublikan yang nyaman. Rasanya tidak ada yang suka buang hajat di sebuah ruangan yang sama ramai-ramai, tapi semua orang punya kebutuhan ke toilet di mana pun.

Mungkin ini yang menggelitik Marchel Duchamp tahun 1917 untuk mengikutsertakan sebuah urinoir bertanda tangan R Mutt ke Dewan Independen Seni di Paris yang langsung ditolak panitia seleksi. Salah satu alasan penolakan adalah urinoir dianggap kurang baik secara moral dan vulgar. Rekan Duchamp, Louise Norton, menuliskan protes keras dalam jurnal seni gerakan Dada the Blindman Volume 2 (1917) terkait dengan alasan penolakan tersebut. Bahwa urinoir adalah obyek sehari-hari yang mudah ditemui di mana-mana dengan mudah. Oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan moralitas, tetapi ini adalah sebuah obyek publik. Demikian tulis Norton.

Avianti Armand jelas bukan Marchel Duchamp dan juga tidak berusaha melakukan hal sama. Kebetulan saja, 98 tahun kemudian sejak karya ”Fountain” dari Duchamp yang kontroversial itu sama-sama mengangkat urinoir sebagai subyek pembicaraan serius. Saat kini, dalam konteks yang berbeda ini, mungkin bukan tentang masalah moralitas, melainkan tentang kepentingan dan perhatian. Entah kenapa perencanaan toilet selalu seakan diremehkan dan kurang diperhatikan dibanding obyek-obyek lain dalam sebuah tempat publik.

Pada pameran Program Toilet dan Ruang Publik yang diselenggarakan dari 10 Februari sampai 2 Maret 2015 di eks Pasar Jeans, Tjipta Niaga, samping Kafe Batavia, Kota Tua, Avianti sebagai kurator, mengajak 10 arsitek (Andra Matin, Aboday, Ahmad Noerzaman, Djuhara-Djuhara, Sonny Sutanto Architects, Hadiprana, Studio Tonton, D-Associates, Nataneka, dan Yori Antar) untuk beramai-ramai membuat usulan rancangan toilet yang dianggap baik guna mengisi kurangnya kebutuhan toilet di Lapangan Merdeka Monas.

Lapangan Merdeka Monas adalah salah satu dari sedikit ruang publik yang dipunyai oleh kota Jakarta. Dengan luas 80 hektar, lapangan ini adalah sebuah ruang hijau dan taman kota yang masih menjadi tujuan utama masyarakat untuk berekreasi, terutama pada hari-hari libur panjang seperti liburan Lebaran dan akhir tahun.

Halaman berita Okezone memberitakan bahwa pada 30 Juli 2014 jumlah pengunjung di lapangan ini mencapai 9.604 orang dari yang datang pukul 08.00-15.00. Berita ini sebetulnya adalah sebuah kabar yang menggembirakan. Bahwa masih banyak masyarakat yang mau menikmati ruang publik terbuka, dan bukan memilih pusat perbelanjaan sebagai tempat berekreasinya. Sebuah ruang dan tempat yang bisa dinikmati bersama tanpa harus tersekat-sekat dengan kelas ekonomi dan sosial. Namun, dengan sangat terbatasnya fasilitas umum toilet ini, kondisi yang seharusnya menggembirakan ini tidak terjadi.

Halaman berita Merdeka.com pada tanggal yang sama memberitakan bagaimana Lapangan Merdeka Monas menjadi toilet raksasa. Judul berita ”Pengunjung Jadikan Kolam Monas Toilet Umum” menceritakan bahwa bagaimana kolam-kolam air di taman tersebut dijadikan kolam mandi. Tribun Network pada 28 Juli 2014 memberitakan hal yang lebih parah lagi. ”Monas Kacau, Pengunjung BAB Sembarangan”, demikian judul beritanya, melaporkan bahwa bahkan ada sebuah kolam yang memang dengan sengaja dijadikan tempat untuk buang hajat oleh pengunjung.

Catatan

Menurut catatan Avianti, ketersediaan fasilitas toilet umum di lapangan Monas hanya sanggup melayani setengah dari jumlah pengunjung yang ada tadi. Dari satu toilet permanen dan 15 toilet portabel yang tersedia, lima toilet rusak. Menurut kalkulasi Avianti, jika jumlah pengunjung berkisar 9.000-11.000 orang dengan asumsi waktu kunjungan 4-6 jam, saniter yang harus disediakan adalah 75 persen dari jumlah pengunjung, yaitu lebih kurang dua kali dari jumlah yang tersedia saat ini. Ketidaktersediaan jelas ini punya konsekuensi luas, baik dari aspek kesehatan, kebersihan, maupun pada kepublikan di ruang dan tempat itu sendiri. Akibatnya, kejadian-kejadian seperti yang diberitakan tadi jadi sulit dihindarkan.

Kondisi ini tentu jauh dari harapan. Tidak salah pernyataan dari I Gede Ardhika dalam sambutannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (2001-2004) dalam Buku Standar Toilet Umum Indonesia, ”Negara tanpa toilet umum yang bersih adalah negara tanpa budaya…. Toilet umum tidak hanya berarti tempat membuat hajat bagi manusia, tetapi sudah menyangkut berbagai aspek. Aspek tersebut antara lain adalah aspek psikologis pengguna, aspek kesehatan, dan aspek keamanan bagi pengguna, pemelihara, dan lingkungan, serta aspek kemudahan pengguna dan pemeliharaan. Semua aspek tersebut akan berujung terhadap aspek yang sering tak disadari oleh banyak orang tetapi sangat penting yaitu aspek citra.”

Dengan banyak kejadian tadi, tentu yang terjadi bukanlah sebuah ruang publik yang membaurkan masyarakat, tapi malah menjadi pemicu terjadinya pemilahan-pemilahan kelas sosial dan ekonomi. Citra yang tidak bersih dan jorok akan kemudian hadir. Pengunjung yang memang mampu akan memilih berkunjung ke tempat lain. Akhirnya, yang tersisa hanya pengunjung dari masyarakat yang memang tidak punya pilihan lain untuk berekreasi. Suatu kondisi yang jauh dari cita-cita sebuah ruang publik.

Ruang publik sebagai bagian dari ruang kota bagaikan organ yang bersama menghidupi kota. Selain sebagai ruang yang mewadahi kegiatan masyarakatnya, sebuah ruang publik juga harus mampu menunjukkan fungsinya sebagai wujud dari karakter perkotaan. Ada fungsi edukasi publik yang bisa terjadi di sana tanpa harus mendikte dengan keras lewat peraturan. Dengan tersedianya toilet yang cukup dan tempat-tempat toilet yang nyaman, secara tidak langsung, masyarakat diajak ikut dalam tatanan sebuah kota. Kebersihan dan kesehatan menjadi modal dasar yang kemudian mendukung citra kota dan membentuk kualitas ruang publik yang baik.

Pameran Program Toilet dan Ruang Publik yang digagas oleh Avianti Armand dan para arsitek ini jelas jauh dari tuntas, apalagi menyelesaikan masalah. Namun, paling tidak pameran sederhana ini bisa menggelitik, mengajak, dan mudah-mudahan ada yang tertegur untuk segera melakukan perbaikan pada ruang publik kita. Paling tidak kita mulai dari Lapangan Merdeka Monas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar