Senin, 23 Maret 2015

Nostalgia

Nostalgia

Bre Redana  ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 22 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sebagaimana banyak orang mengenang bagaimana sejumlah jalan dulu lancar dan kini macet luar biasa, saya juga ingat, beberapa waktu lalu Jakarta Outer Ring Road alias JORR rasanya cukup nyaman, menghubungkan orang-orang dari pinggiran ke dalam kota. Bahkan dari luar kota, desa saya di Ciawi menuju kawasan Senayan, kalau mood sedang ingin ngebut bisa kurang dari satu jam.

Kini perubahan berlangsung sangat cepat. Keadaan JORR seperti keadaan sekitar setahun lalu tadi, kini terkubur sudah dalam kenangan. Ia masuk wilayah oblivious, sebagaimana daerah Tebet sekitar 30 tahun lalu, tempat tinggal pertama saya di Jakarta. Sesuatu yang tak mungkin kembali. Menunggu taksi saja bisa berjam-jam. Rasanya tak ada kendaraan lewat. Di situ pula dulu terdapat tiga bioskop, Tebet Theatre, Viva, Wira. Semua film saya tonton, termasuk film-film Indonesia, apalagi kalau bintangnya Enny Beatrice. Ah....

Komputer pertama memasuki kantor kami sekitar pertengahan tahun 1980-an menggantikan mesin tik. Perlahan-lahan perubahan terjadi. Kami kemudian mengenal modem. Ketika kecepatan modem dipertanyakan, saya masih bertanya, mau secepat apa? Biasanya kami mengirim dokumen, termasuk foto, lewat jasa ekspedisi.

Kelanjutan cerita Anda tahu, karena itu pasti bagian dari cerita hidup Anda juga. Modem yang makin cepat. Chip yang lebih cepat lagi. Hard drive berkapasitas gigabyte. Yahoo. Amazon. Video streaming. Blackberry, iPod, smartphone, dan entah apa lagi.

Setiap kali orang bicara mengenai perubahan ini, pasti muncul kutipan dari McLuhan, ”the medium is the message”, meski di antara 100 pengutipnya, saya yakin hanya dua yang membaca bukunya. Tidak apa. Marshall McLuhan serelevan The Beatles, apalagi bukunya, Understanding Media: The Extensions of Man, terbit bersamaan meledaknya Beatles di Amerika, tahun 1964. Mereka sama-sama produk 60-an, hard-rock, psychedelic, new age.

Dalam pandangannya waktu itu, munculnya media elektrik di abad ke-20, seperti telepon, radio, film, televisi, akan mematahkan tirani teks (sebutlah buku) yang membentuk pikiran dan cita rasa (individual) kita. Kita di ambang zaman ketika simulasi teknologi yang berhubungan dengan kesadaran, membuat proses kreatif untuk mengetahui (mendapat informasi) akan segera menjadi kolektif dan meluas di antara seluruh masyarakat.

Dari waktu ke waktu orang cenderung tidak membedakan antara isi berita dan mediumnya. Orang tak pernah menaruh perhatian apalagi curiga pada medium. Di situlah McLuhan mengingatkan kita. Baginya, isi tak lebih dari ”sekerat daging segar yang dibawa pencuri pembobol rumah kita, untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga di dalam otak”.

Anjing penjaga di dalam otak? Adakah watchdog di dalam otak kita? Kalau iya, apa bentuknya?

Yang dimaksud di situ kurang lebih consciousness, kesadaran, atau istilah dalam bahasa Jawa yang paling mendekatinya, eling. Terlena pada semata-mata isi, orang abai terhadap kenyataan bagaimana bentuk medium mengubah kesadaran kita.

Lihat ini. Kini, perlahan-lahan orang meninggalkan kebiasaan membaca produk cetak, buku, majalah, koran. Layar gadget menggantikannya. Dalam istilah Nicholas Carr, proses membaca buku adalah proses pembacaan yang bersifat linear. Orang fokus pada satu hal.

Berbeda dari proses pembacaan lewat layar komputer. Carr menyebutnya hyperlinks. Orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus pada satu hal.

Implikasi dari perkembangan tersebut sudah kita rasakan. Informasi yang seperti air bah membanjiri otak kita. Barangkali itu memang menjadikan kita lebih tahu, serba tahu, tetapi bersamaan dengannya kesadaran mencerna kita menurun. Itulah dimensi otak baru kita.

Perhatian, kesantunan, empati, tepa selira, merosot. Kadang saya kangen, bukan hanya pada kelengangan jalan waktu itu, tetapi juga pada otak lama manusia....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar