Senin, 23 Maret 2015

O

O

Goenawan Mohamad  ;  Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 23 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Chairil Anwar, 14 Juli 1943

Tapi tak semua orang seperti Chairil Anwar.

Tujuh puluh dua tahun setelah sajak itu ditulis, tampak bahwa ada yang tak mau merdeka, yang takut merdeka, yang lelah merdeka, dan yang menyesali manusia merdeka.

Kini samar-samar mulai tampak apa yang bisa disebut sebagai "simtom O".
Setengah abad lebih sebelum terbit novel yang boyak tapi laris itu, Fifty Shades of Grey, dunia buku disemarakkan (atau dihebohkan) sebuah cerita erotik yang seru, Histoire d'O. Dalam segala segi "kisah O" karya Pauline Reage melebihi fiksi E.L. James, meskipun keduanya berkisah tentang sadomasokhisme, tentang jiwa dan tubuh yang menikmati hilangnya kemerdekaan dan merasa asyik disakiti dan dibelenggu.

Kini kisah kebahagiaan dalam takluk dan menyerah itu bisa jadi sebuah perumpamaan untuk kasus yang lain. Dalam Soumission, novel baru Michel Houellebecq, seorang rektor universitas bernama Rediger membujuk tokoh utama novel ini, François, untuk membaca Kitab Suci dalam bayang-bayang Histoire d'O. "Puncak kebahagiaan manusia," kata Rediger, "ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak."

Rediger ingin agar François masuk Islam. Dan François akhirnya mengikuti jalan itu.

Novel ini terbit 7 Januari 2015, ketika sebelas orang di kantor mingguan Charlie Hebdo sekaligus dibunuh dua bersaudara yang mengibarkan bendera Islam. Seperti banyak yang lain, Soumission adalah bagian dari pergulatan orang Prancis dengan agama yang merisaukan mereka sejak Voltaire menulis lakon Le fanatisme ou Mahomet pada 1736.

Sebelum Soumission, Houellebecq menulis Plateforme (2001), sebuah novel yang tokohnya, Michel, menyebut turisme seks layak diterima sebagai "pembagian kerja internasional". Nasibnya kemudian dientakkan secara mengerikan: Valérie, pacarnya, tewas berkeping-keping bersama 116 pelacur ketika sejumlah pemuda muslim meledakkan mereka dengan bom.
Dan novel ini pun menampilkan percakapan dua orang Mesir yang mengecam kalimat syahadat sebagai "nonsens".

Orang Islam marah. Tapi seperti kemudian kita temukan dalam Soumission, novel ini bukan semata-mata kisah kebrutalan Islam sebagai dilihat orang "Barat". Houellebecq bahkan mengecam "Barat" dengan alasan yang sering dipakai orang dari dunia Islam. "Aku tak merasa benci kepada Barat," kata si narator Plateforme. "Paling-paling aku memandangnya dengan sikap menghina. Aku hanya tahu, tiap-tiap kita penuh dengan egoisme, masokhisme, kematian...."

Bagi Houellebecq, "Barat" telah salah jalan sejak Zaman Pencerahan. Sejak abad ke-19 itu, manusia melihat diri sendiri sebagai makhluk yang merdeka, dan dengan mengandalkan nalarnya lepas dari pangkuan agama. Baik Plateforme maupun Soumission menghadirkan tokoh yang tak lagi memekik "aku mau bebas dari segala". Michel dan François justru hidup dalam keadaan letih kebebasan. Mereka menyesali manusia merdeka.

François seorang profesor kesusastraan di Universitas Sorbonne yang hidup menyendiri. Ia tak berteman. Tiap hari ia hanya pulang ke kamarnya di apartemen tinggi untuk menyantap makanan dingin, menonton TV dan film porno. Ia merasa kehampaan yang rutin di sekitar. Para pelacur yang ditidurinya tak menutup kekosongan itu.

Di saat itu, Prancis berubah: sebuah partai Islam, sejenis Al-Ikhwan al-Muslimun yang moderat, menang pemilu. Lambang bulan sabit keemasan dipasang tinggi di gerbang Sorbonne. Perdana Menteri Ben Abbes membiarkan partai-partai koalisi mengambil kursi kementerian lain, tapi meletakkan seorang Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai menteri pendidikan. Sejak itu tak ada kebinekaan budaya. Yang ada: disiplin.

Kehidupan Prancis pun pelan-pelan jadi lain. François melihat di masyarakat tumbuh ketertiban dan ketenangan. Adakah Islam sebuah jalan keluar?
Itukah yang hendak ditunjukkan?

Houellebecq tak dikenal simpatinya kepada Islam. Tapi seperti dikatakan Mark Lilla ketika membahas novel ini dalam The New York Review of Books, ada yang tak disangka-sangka dalam Soumission. Sasaran kecaman Houellebecq bukanlah Islam, melainkan Eropa yang memilih untuk memperluas kemerdekaan manusia dengan asumsi dunia akan lebih berbahagia.
Bagi Houellebecq, justru itulah awal kemerosotan.

Ia tentu melihat nasib O dalam novel Pauline Reage bukan keadaan yang ideal. Tapi ia tak hendak menyalahkan mereka yang kini dijangkiti "simtom O"—dengan memeluk Islam, atau kembali ke dalam agama apa pun, rela terikat, rela takluk.

Mungkin Chairil perlu dilupakan.

Tapi saya ingat Iqbal, pemikir Islam terkenal itu. Ia yakin Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifah- di bumi. Maka manusia merdeka -- meskipun tak niscaya berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar