Titik
Temu Sunni-Syiah
Ahmad Hifni ; Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)
|
KORAN
TEMPO, 20 Maret 2015
Sunni
dan Syiah merupakan dua mazhab yang paling penting dalam Islam, dengan
sebagian besar umat Islam di dunia menggunakan keduanya sebagai pijakan
utama.
Dalam
perspektif historis, sesungguhnya para imam Syiah dan ulama Sunni pada masa
lampau tidak mempertentangkan perbedaan ijtihad mereka. Setiap orang saling
menghargai dan tidak ada yang saling melecehkan ijtihad masing-masing. Mereka
memahami bahwa mereka bagian dari keluarga umat Islam. Faktanya, mereka hidup
berbaur dan tidak sedikit pun menyalakan api perpecahan.
Hubungan
harmonis tersebut terlihat dari hubungan para pemuka mazhab, seperti Zayd bin
Ali, imam Syiah Zaidiyah yang belajar fikih dan dasar akidah dari Abu
Hanifah, salah satu imam Sunni. Sedangkan Abu Hanifah belajar hadis dan
ilmu-ilmu lainnya dari imam Ja'far Shadiq, imam Syiah. Mereka tidak berbeda
pendapat perihal fundamen agama, perbedaan terjadi dalam memahami hukum-hukum
yang bersifat partikular (al-ahkam
al-far'iyyah). Karena itu, perbedaan mereka dalam hal-hal yang parsial,
sejatinya merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.
Kondisi
tersebut terus bertahan hingga pertengahan abad IV Hijriah dan mulai melemah
pada masa dinasti Abbasiah. Mereka kemudian terpetakan dalam polarisasi
akibat faksionalisasi politik. Konsekuensinya, lahirlah fanatisme mazhab
sebagai cikal-bakal munculnya permusuhan antara Sunni dan Syiah. Ulama dari
kedua mazhab tersebut mempersempit kajiannya pada apa yang dipelajari dari
imam dan syekhnya (baca: ulama besar), lalu fanatik, kemudian menyerang
dengan keras pandangan yang tidak sejalan dengan dirinya.
Sektarianisme
Sunni-Syiah terus berkembang akibat pengaruh politik. Kolonialisme memecah
belah persatuan umat Islam, khususnya Zionisme yang menggunakan kekuatan
militer dan segala tipu daya lainnya. Sungguh yang lebih memprihatinkan,
politik friksionis yang dilakukan oleh kolonialisme Zionis sangat aktif dan
dinamis di sejumlah dunia Islam hingga saat ini. Mereka memperjualbelikan
konflik dengan mengatasnamakan agama.
Padahal,
konflik yang terjadi di antara kalangan Sunni dan Syiah sungguh merupakan
konflik politik dan bukan konflik keagamaan. Konflik politik akan
mengakibatkan luka yang sangat mendalam, sedangkan konflik keagamaan menjadi
rahmat.
Perbedaan
mendasar dalam kedua konflik tersebut adalah, pertama, konflik sektarian dan
bernuansa politik. Konflik ini menanam kebencian di dalam hati sanubari umat,
sehingga memporak-porandakan persatuan umat. Maka, meluruskan konflik yang
bernuansa sektarian dan politis merupakan sebuah keniscayaan, karena konflik
itu dapat menumbuhkan nalar dan sikap diskriminatif di kalangan umat Islam.
Kedua,
konflik bernuansa keagamaan, khususnya fikih dan mazhab. Konflik pada ranah
ini bukanlah persoalan, karena membuktikan dinamika dan revitalisasi. Konflik
tersebut dibangun atas dasar perdebatan dengan menggunakan berbagai
perspektif, analisis, dan tradisi keagamaan. Sejauh perdebatan menggunakan sumber
yang sama, yaitu Al-Quran, sunah, dan tidak mengingkari dasar-dasar yang
sudah mapan.
Tidak
ada perbedaan perihal fundamen agama antara Sunni dan Syiah. Sebagaimana para
imam mazhab Sunni yang sangat populer, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik,
imam Ahmad bin Hanbal, dan imam Syafi'i, adalah para ulama yang mempunyai
tempat terhormat di mata para ulama fikih Syiah. Sebaliknya, para ulama fikih
Sunni tidak mengabaikan keberadaan ulama fikih ahlul bait, mereka menganggap
imam Ja'far Shadiq sebagai ulama fikih yang paling cemerlang pada zamannya.
Adapun
ulama-ulama Sunni menerima lebih seratus orang perawi hadis dari kalangan
Syiah. Sebaliknya, kalangan Syiah juga menerima hadis dari kalangan sunni
seperti dikatakan Syekh Muhammad Hasan Shadar dalam kitabnya Al-Syiah,
"Syiah selalu menerima hadis dari kalangan Sunni, apabila diketahui
perawinya jujur dan kuat hafalannya." Di sinilah dapat kita temui fakta
historis titik temu Sunni-Syiah.
Ketika
konflik Sunni-Syiah terus terjadi akibat friksi politik, justru di seantero
dunia umat manusia membangun aliansi dalam komunitas. Mereka
berbondong-bondong membangun kesepakatan bisnis dan politik, meskipun berbeda
keyakinan, prinsip, ideologi, dan pandangan. Pertanyaannya, mengapa umat
Islam, baik Sunni maupun Syiah, tidak membangun kekuatan besar? Bukankah
Tuhan kita satu, nabi kita satu, kitab suci kita satu, dan kiblat ibadah kita
juga satu?
Tidak
dimungkiri lagi, faktor utama yang menyebabkan jatuhnya umat Islam adalah
keterbelahan dalam berbagai golongan, aliran, dan partai. Padahal Islam
merupakan agama yang mempunyai tujuan mulia untuk melanjutkan tonggak pilar
kemanusiaan sebagai landasan bagi tegaknya kebenaran, keadilan, dan
kesetaraan, khususnya dalam membangun masyarakat yang humanis, aman,
tenteram, dan sejahtera.
Kenyataannya,
sangat ironis, penganut mazhab Sunni dan Syiah mudah terjerumus dalam
konspirasi pihak ketiga. Sikap kita selama ini seolah-olah memberikan angin
segar bagi misi yang dilancarkan mereka untuk memecah belah persatuan umat
Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar