Pemberian
Dana Partai Politik
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik
di The Habibie Center
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2015
Usul
pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini
usul tersebut datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Politikus
PDI Perjuangan itu mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai
peserta pemilu mendapat dana Rp1 triliun per tahun dari pemerintah. Sikap pro
dan kontra pun bermunculan terkait usul tersebut. Bagi para fungsionaris dan
elite partai politik, usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin
eksistensi mereka di langgam politik nasional.
Sedangkan
bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat demokrasi, usul tersebut dinilai
tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung mengecewakan.
Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi
dasar komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan
pengatur konflik tetapi juga karena keterlibatan para elite mereka dalam
sejumlah kasus korupsi.
Tidak
dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber
daya besar agar dapat mendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah
finansial pun kemudian menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial
mencukupi, program kerja dan kampanye kandidat atau partai politik menjadi
tidak berarti dan tidak sukses. (Jacobson,
1980).
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memang telah
mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai
politik. Pertama, iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran
iuran ditentukan secara internal oleh partai politik. Tidak ada jumlah
tertentu yang diharuskan undangundang mengenai besaran iuran anggota.
Namun,
tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur.
Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian
besar partai politik tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para
anggotanya.
Kedua,
sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan
tiga sumbangan dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik pelaksanaan
diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan bukan
anggota partai politik paling banyak senilai Rp1.000.000.000 per orang dalam
waktu 1 (satu) tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha,
paling banyak senilai Rp7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha
dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Ketiga,
bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran
Pendapatan belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/APBD diberikan
secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan
suara. Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai pemilihan umum
legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah maka sumbersumber
keuangan di atas tidak lagi mencukupi.
Hal
itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan
sumber-sumber keuangan di anggaran negara. Partai politik pun mulai melakukan
perburuan rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif.
Perburuan rente dilakukan partai politik jelas merugikan karena menggerogoti
anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik. Secara umum,
ada dua modus utama perburuan rente dilakukan oleh partai politik.
Pertama,
melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan
rente dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran,
transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara
atau daerah. Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif
perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di
kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki
akses dana besar.
Di
samping itu, perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara
menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala
daerah kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.
Dugaan
skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan deputi
gubernur senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan
Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan
Olahraga, dan kemunculan dana siluman Rp12,1 triliun dalam APDB DKI Jakarta merupakan
sejumlah contoh kasus perburuan rente dilakukan partai politik.
Kontrol
publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari
partai politik semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara
teoretis, hal ini akan membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus
Klitgaard C=D+M-A (C: corruption, D:
discretion , M: monopoly, dan A: accountability). Rumus mengenai akar
semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi,
termasuk perburuan rente dilakukan elite politik. (Klitgaard, 2002: 29).
Tindak
pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat
publik merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat
legitimasi kekuasaan dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap
sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan.
Berbagai
kasus korupsi melibatkan partai politik ditengarai masih akan terus terjadi.
Apalagi, partai politik di Indonesia belum mengedepankan pelembagaan
transparansi dan akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan
akuntabilitas dari partai politik, publik selama ini tidak pernah mengetahui
dari mana saja asal usul dana dimiliki oleh partai politik.
Merujuk
elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik
saat ini didorong tiga hal: (1) praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam
sistem politik Indonesia; (2) kekuasaan terlampau besar partai politik dalam
menentukan kebijakan dan anggaran tanpa disertai pengawasan berimbang dan
kesadaran pertanggungjawaban publik, dan (3) ketidaktegasan sanksi politik
dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Untuk
itu, selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran
tentang sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan
dana secara ilegal oleh partai politik. Salah satu sumber dana alternatif
tersebut adalah melalui pemberian negara sebagaimana diusulkan menteri dalam
negeri.
Dasar
utama dari usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik
dalam kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena
itu, menjadi tanggung jawab negara agar partai politik berfungsi secara
optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar