Menyelamatkan
Pertamina
Ari Pramono dan Harryadin
Mahardika ; Ari Pramono -Peneliti dan
Dosen di Monash University; Harryadin Mahardika -Wakil Direktur Magister
Manajemen, Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2015
Hiruk-pikuk
diskusi tentang pencabutan subsidi BBM dan turunnya harga minyak dunia
melupakan satu hal yang sangat kritikal, yaitu efeknya terhadap daya saing
Pertamina.
Nasib
Pertamina menjadi penting karena BUMN strategis ini seolah dilupakan dalam
berbagai akrobat kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait BBM. Jokowi
dikenal sangat ringan tangan dalam mengambil kebijakan. Hari ini mikir, besok
bisa langsung keluar kebijakan. Tentu saja ini bagus, tapi kadang juga
menimbulkan apa yang disebut dengan “miopia kebijakan”, yaitu tidak
terlihatnya implikasi terdekat dari sebuah kebijakan akibat proses
pengambilannya yang terlalu terburu-buru.
Tendensi
miopia kebijakan ala Jokowi ini cukup terasa pada kebijakannya yang terkait
dengan pencabutan subsidi BBM. Jokowi memutuskan untuk menghapus subsidi bagi
BBM jenis premium, Benar bahwa ini merupakan salah satu milestone penting
dalam sejarah panjang kebijakan migas Indonesia. Namun, diskusi tentang
kebijakan ini melupakan Pertamina, pihak yang “paling segera” menerima
konsekuensi dari kebijakan tersebut selain konsumen.
Sebagai
BUMN yang sedari awal didirikan sebagai tangan dan kaki pemerintah di bidang
migas, mau tidak mau jatuh bangunnya Pertamina sangat bergantung pada
hitam-putih dinamika sosiopolitik yang mewarnainya. Sebagai penyegar ingatan,
pascareformasi monopoli Pertamina sedikit demi sedikit terlucuti. Pertama,
saat manajemen sektor hulu diserahkan ke BP Migas (kini SKK Migas).
Kedua,
saat dibukanya keran liberalisasi untuk sektor hilir. Satu-satunya yang masih
belum “dilucuti”, setidaknya sampai beberapa saat yang lalu adalah peran
Pertamina dalam mengelola suplai dan ritel BBM bersubsidi. Kebijakan Jokowi
menghapuskan subsidi produk BBM dengan mengubah spesifikasi produk premium ke
RON 92 telah melucuti benteng terakhir monopoli Pertamina. Kini, kita dengan
“aman” bisa mengatakan bahwa pasar BBM telah secara sempurna terliberalkan.
Satu-satunya
proteksi yang tersisa bagi Pertamina saat ini adalah adanya disparitas harga
dalam negeri (yang ditetapkan pemerintah secara reguler) dengan harga spot di
pasar dunia. Namun, kondisi harga minyak dunia saat ini yang rendah dan
diprediksi akan terus menurun menyebabkan semakin menipisnya perbedaan ini.
Bukan mustahil jika dalam waktu dekat harga BBM dalam negeri menjadi sama
atau lebih tinggi dibanding harga pasar dunia. Bila itu terjadi maka secara
resmi kita bisa memberi selamat kepada Pertamina selamat berkompetisi tanpa
proteksi.
Pertanyaan
yang tentu saja muncul di benak semua orang adalah mampukah Pertamina
bersaing? Dalam presentasi di depan investor pada akhir tahun 2013 lalu,
manajemen Pertamina menyampaikan optimismenya bahwa mereka mempunyai kunci
keunggulan (key advantage) di
bidang ritel, yaitu integrasi infrastruktur supply chain dengan 6 kilang, 107 depot, dan lebih dari 5.000
SPBU yang tersebar merata di seluruh pelosok Tanah Air.
Suatu
kekuatan yang kelihatannya sangat sulit disamai oleh kompetitor mana pun yang
ingin masuk dan menguasai pasar BBM Indonesia. Tetapi pertanyaannya, apakah
“kekuatan” jaringan ini akan menjamin kelanggengan dominasi pasar Pertamina
di pasar yang kini liberal? Menurut kami, belum tentu! Ini karena “kekuatan”
kuantitatif tersebut, dalam banyak hal, tidak dibarengi oleh keunggulan dari
segi kualitatif.
Segi
kualitatif yang dimaksud khususnya adalah dua masalah utama Pertamina saat
iniyaitu: tingginya “strandedcost”
pada aset distribusi dan lemahnya “strategic
control” di jaringan SPBU. Dalam pengertian ekonomi, stranded cost adalah biaya yang harus ditanggung oleh petahana
pada saat terjadinya deregulasi akibat adanya aset yang menjadi redundant
(tidak ekonomis lagi) pada saat pasar berubah menjadi kompetitif.
Biaya
inilah sebenarnya yang menjadi alasan mengapa harga produksi BBM Pertamina,
seperti ditemukan oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas, menjadi lebih mahal
dibanding harga impor. Kelebihan biaya ini muncul dari tingginya biaya overhead dari aset-aset yang mempunyai
yield (komposisi hasil) dan tingkat utilisasi yang kurang optimal. Rendahnya
yield kilang Pertamina sebagian besar diakibatkan dari ketidakcocokan input
dengan desain awalnya dahulu, akibat dari perubahan dalam komposisi
ketersediaan suplai minyak mentah saat ini.
Sementara
rendahnya utilitas diakibatkan oleh adanya overcapacity depot penyimpan dan sarana transportasi maritim yang
dulunya dibangun Pertamina untuk menjalankan kewajiban menyuplai dan menjaga
tingkat ketersediaan BBM di daerah-daerah yang sebenarnya “kurang ekonomis”,
khususnya di luar Jawa dan Indonesia bagian timur.
Kondisi
itu diperparah lagi dengan tingkat kesulitan geografis yang tinggi di
daerah-daerah tersebut yang membuat meroketnya biaya operasi dan
pemeliharaan. Stranded cost ini
menjadi handicap Pertamina saat
bersaing di tingkat harga dengan para kompetitornya (khususnya multinational company) yang memiliki supply chain yang lebih efisien dan
ketahanan finansial yang tinggi.
Sementara
itu di tingkat retail outlet, Pertamina
menghadapi masalah yang tidak kalah beratnya, yaitu rendahnya tingkat strategic control mereka terhadap
jaringan SPBU yang ada. Dari total sekitar 5.027 titik SPBU berlogo Pertamina
saat ini, hanya 2% yang dimiliki dan dikelola secara langsung oleh Pertamina
(company owned-company operated).
Sementara 98% sisanya dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dengan
skema dealer owned-dealer operated
(DODO).
Dalam
pasar yang terbuka, SPBU DODO ini akan sangat rentan sekali untuk diakuisisi
(secara langsung atau tidak langsung) oleh kompetitor yang mampu menawarkan
skema franchise yang lebih menarik untuk para pemiliknya. Hal ini tentunya
bukan hal yang terlalu sulit dilakukan oleh kompetitor multinasional dengan
semua kekuatan finansial, manajemen dan brand
equity yang dimilikinya.
Berdasarkan
pemodelan yang dilakukan oleh penulis, ketika terjadi kondisi “spatial
parity“, di mana jumlah dan lokasi SPBU kompetitor sudah mencapai critical
mass dan mudah dijangkau oleh konsumen, maka Pertamina berpotensi kehilangan
paling tidak 40% dari pangsa pasarnya. Bahkan untuk segmen pengguna oktan
tinggi (pertamax plus) pangsa pasar yang hilang ini bisa lebih dari 50%.
Critical
mass ini untuk kota besar, terjadi bila jumlah SPBU kompetitor sudah mencapai
sekitar 10-15% dari jumlah SPBU Pertamina. Dari simulasi data pertumbuhan
yang ada, kondisi tersebut tercapai dalam kurun waktu 1-5 tahun ke depan.
Mengacu pada parameter pasar dan struktur keuangan Pertamina saat ini,
kehilangan 40% pangsa pasar BBM akan senilai dengan turunnya pendapatan
korporasi sebesar kurang lebih 20% per tahunnya. Ini adalah jumlah yang
sangat besar, dan tentu saja akan sangat melemahkan daya saing Pertamina.
Kebijakan
yang diambil pemerintahan Jokowi terkait BBM perlu mempertimbangkan aspek
daya saing Pertamina. Mencegah kebocoran dan menghancurkan mafia migas
penting, namun yang tidak kalah penting adalah membuat road map deregulasi
industri hilir migas secara lebih terarah. Jangan sampai kekalahan daya saing
kita di industri hulu migas terulang di hilir.
Tanpa
adanya upaya restrukturisasi yang signifikan di Pertamina, baik dalam hal
peningkatan efisiensi jaringan maupun pengurangan biaya, maka tidak tertutup
kemungkinan periode 10 tahun ke depan merupakan era di mana kita semua akan
menjadi saksi beralih wujudnya ribuan pom bensin di seluruh Indonesia, dari
tadinya berwarna merah, menjadi berwarna kuning, hijau, atau warna lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar