Teknik
Mediasi Ideal Kasus Pemda DKI vs DPRD
Frans H Winarta ; Ketua ICC-Indonesia Bidang Arbitrase dan
arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan SCIA
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2015
Kisruh
perselisihan Pemda DKI Jakarta vs DPRD DKI Jakarta sebenarnya dapat dicarikan
jalan keluar, jika mediasi didasarkan pada metode mediasi yang baik dan
dibuat aturan bersama antara para pihak yang berselisih dan mediator.
Yang
utama dalam proses mediasi adalah para pihak harus mempunyai kemauan untuk
menyelesaikan perselisihan karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan
rakyat Jakarta. Rakyat memerlukan dana untuk membangun berbagai fasilitas
umum, menjalankan roda pemerintahan, dan membiayai serta mengatasi berbagai
persoalan pelik di Jakarta seperti kemacetan yang mengakibatkan biaya ekonomi
tinggi.
Ada
juga berbagai masalah yang harus segera dibereskan seperti banjir yang selalu
datang tiap tahun di musim hujan, sampah yang menumpuk, pendidikan yang
layak, gedung sekolah dan peralatan yang memadai, MRT, monorel serta
pembangunan jalan dan taman. Kemacetan perundingan dalam mediasi ini telah
menyebabkan APBD 2015 yang notabene telah mendapatkan persetujuan rapat
paripurna DPRD Jakarta tidak dapat digunakan.
Jika
saja kedua belah pihak dapat lebih bersikap dewasa dan “nuchter“, kemacetan
ini tidak perlu terjadi. Proses mediasi yang diadakan oleh Kemendagri
seharusnya dibuat aturan main seperti berapa lama masing-masing pihak diberi
kesempatan bicara dan setiap berbicara tidak boleh ada interupsi. Ketika
giliran tanyajawab, para pihak tidak boleh berbicara dengan nada tinggi,
keras, emosional, menuduh, apalagi menghina, atau merendahkan pihak lain.
Semua
jawaban dan pertanyaan baik dari mediator atau dari masingmasing pihak harus
dilakukan dengan sopan dan tidak emosional karena yang dipertaruhkan adalah
kepentingan rakyat Jakarta. Para pihak harus menjauhkan diri dari membuat
pernyataan melalui media atau diliput media untuk mendinginkan suasana yang
sudah panas dan tegang.
Para
pihak dan mediator harus sadar benar bahwa hasil akhir dari proses mediasi
ini adalah untuk mencari winwin solution dan bukan mencari siapa salah dan
benar. Forum mediasi bukanlah pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan,
tetapi mencari solusi bersama agar APBD Jakarta 2015 dapat cair dan diserap
secepatnya di Maret ini dan seterusnya selama 2015.
Caucus Perlu Diadakan
Dalam
teknik mediasi, dikenal pertemuan caucus dimana para pihak ditemui secara
terpisah oleh mediator, dalam hal ini Kemendagri. Dalam pertemuan caucus ini,
masing-masing pihak mengemukakan aspirasi dan pendapatnya mengenai APBD versi
paripurna dan APBD versi e-budget. Setelah diberi waktu yang cukup, mediator
mengambil inisiatif untuk menemukan inti permasalahan dan meneruskan pendapat
dan aspirasi satu pihak kepada pihak lain dalam suasana tenang, rasional
untuk mencari solusi bersama.
Jika
para pihak sudah memahami pendapat dan aspirasi pihak lain, barulah diadakan
pertemuan segi tiga dengan memegang teguh aturan main yang telah dibuat dan
disetujui bersama.
Mediator
betul-betul harus menjaga suasana pertemuan mediasi ini dan diberi hak
menegur jika ada pihak yang melanggar aturan main seperti berbicara keras dan
emosional. Bila perlu, mediator menskors pertemuan mediasi ke lain waktu jika
mediasi berlarut- larut karena tidak dicapai kesepakatan dari daftar isu-isu
yang menjadi bahasan bersama. Isu-isu tadi dapat dibicarakan atau dipecahkan
bersama dalam suasana yang lebih kondusif di kesempatan lain.
Putusan Bersama Para Pihak
Apa
yang sudah disepakati dan dicapai oleh para pihak, serta seluruh proses tanya
jawab dan diskusi dalam proses mediasi dicatat oleh transcriber sebagai arsip
bersama. Dalam proses mediasi, putusan dibuat oleh para pihak sendiri dan
mediator hanyalah berfungsi sebagai “umpire “ atau “wasit” yang menjaga teguh
aturan main dan etika proses mediasi itu sendiri.
Dengan
cara mediasi seperti ini, diharapkan tercipta “sense of belonging“ bahwa putusan bersama ini adalah hasil
kesepakatan para pihak dan sama sekali bukan putusan mediator yang
memfasilitasi acara mediasi ini. Keseluruhan sidang mediasi ini harus
dilakukan tertutup, bebas dari publikasi karena tujuannya adalah mencari
solusi dari adanya perbedaan jumlah sekitar Rp12,1 triliun antara APBD 2015
hasil paripurna dengan e-budgeting Pemda DKI Jakarta.
Jika
para pihak memerlukan konsultasi dan saran-saran dari Kemendagri, mediasi ini
berubah menjadi konsiliasi di mana tugas mediator berubah menjadi konsiliator
bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi atau konsiliasi, persetujuan para pihak
menjadi putusan mereka bersama, karena mediator atau konsiliator tidak akan
membuat keputusan bagi kedua belah pihak.
Mengingat
panasnya suasana saling tuding kedua belah pihak selama persiapan mediasi,
selama berlangsungnya mediasi, atau setelah mediasi tercapai, seharusnya
disepakati bahwa tidak akan ada liputan media secara terbuka dalam periode
tersebut.
Karena
dapat menambah situasi menjadi semakin panas dan memancing amarah publik
karena kedua belah pihak, yaitu Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta
merupakan dua sorotan utama yang memiliki peran penting yang seharusnya
salingmendukung dalam penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta. Proses
mediasi harus dijalankan dalam ruangan tertutup, rahasia, tanpa ingarbingar
liputan media sehingga proses mediasi tersebut dapat berjalan seefektif
mungkin tanpa adanya campur tangan pihak lain.
Tontonan
keributan yang terjadi dalam penyelenggaraan mediasi atau konsiliasi
seharusnya tidak perlu terjadi jika ada kepentingan besar yang sedang
diperjuangkan, yaitu kepentingan rakyat Jakarta yang sedang membangun dalam
segala bidang.
Perlu
diingat, akibat gagalnya mediasi, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta,
yang hanya bisa menanti dan mengharapkan pembangunan di semua bidang berjalan
dengan lancar demi Jakarta baru yang modern, sejahtera, dan manusiawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar