Kebudayaan
Kita dalam Dialog Antarbudaya
Musa Mailiki ;
Dosen UPN Veteran Jakarta
|
OKEZONENEWS,
22 September 2014
Acara United Nations Alliance of Civilizations
(UNAOC) di Nusa Dua Bali (29-30/8/ 2014) silam merupakan kegiatan dalam
rangka memfasilitasi pemerintahan yang baik dan efektif untuk mendukung
toleransi dan dialog antarbudaya dan agama dalam menciptakan perdamaian dalam
masyarakat.
Harapannya
adalah keberagaman yang ada di Indonesia dapat menginspirasi ragam program
inovatif untuk dialog antarbudaya.
Pihak
penyelenggara, United Nations Alliance
of Civilizations (UNAOC) dan BMW Group secara konkret memberi apresiasi
kepada para pembuat proposal yang mengadakan kegiatan dialog antarbudaya.
Sebanyak 600 proposal berasal dari seluruh dunia dipangkas menjadi 25
proposal pilihan.
Mengapa
Indonesia sebagai tuan rumah? Menurut Vice President BMW Group, Bill McA
drews, Indonesia banyak aktivitas-aktivitas akar rumput dan dia berkeyakinan
bahwa tahun depan masyarakat Indonesia akan lebih banyak berpartisipasi.
Contoh
programnya diantaranya, aplikasi smartphone dari Australia dalam rangka
peningkatan kesadaran tentang rasisme, komik pengalaman imigran dari Italia,
sirkus untuk terapi dari Libanon, dan penelitian tentang kondisi setelah
konflik Bosnia Herzegovina.
Dari semua
peserta, acara ini memberi penghargaan berupa The Intercultural Innovation
Award 2014 dan uang sebesar USD100.500 beserta program pelatihan selama
setahun.
Kebudayaan Kita
Acara di atas
memberi kesadaran penuh bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk
memperkuat kebudayaan kita agar identitas keindonesiaan yang
dibangga-banggakan tidak punah atau hanya etalase kebudayaan tanpa spirit dan
tanpa makna kehidupan. Program PBB di atas seharusnya memberi kebijakan
budaya yang lebih progresif tidak sekedar program tontonan simbolik pengais
etalase industri pariwisata kita yang bulan-bulan ini ramai diadakan.
Kebijakan
pemerintah Indonesia seharusnya memberikan rasa aman secara eksistensial bagi
warganya untuk menghayati hidup bersama dengan kebudayaannya. Oleh sebab itu,
apa yang seharusnya pemerintah lakukan dalam menyikapi acara The
Intercultural Innovation Award 2014 adalah mengkaji ulang sejauh mana program
pemerintah memberi ruang luas bagi setiap ragam budaya kita untuk
mengapresiasikan diri.
Keamanan
budaya adalah rasa aman secara fisik dan batiniah dalam hidup dengan
identitas dan lingkungan kebudayaannya. Keamanan lebih bersifat eksistensial,
sebab hal itu hanya dapat dirasakan, bukan dimaterialkan.
Keamanan
budaya mempunyai dua pemahaman, di satu sisi menciptakan keamanan bagi
Indonesia dari budaya globalisasi, di sisi lain menjaga kelestarian identitas
budaya lokal sendiri agar dapat berdialog dengan budaya lainnya.
Indonesia
adalah bayangan yang ada dalam imajinasi komunitas di dalamnya. Sekecil
apapun komunitas tersebut sebaiknya diayomi. Sebaliknya, jika ada suku yang
hampir punah dengan jumlah yang semakin berkurang dan tidak dirangkul oleh
pemerintah Indonesia, maka Indonesia tidak hanya menjadi bukan-Indonesia.
Lebih
spesifik, komunitas Sunda Wiwitan yang tersingkir dari kebijakan pemerintah.
Misalnya mereka belum bisa membuat KTP, sekolah, kesulitan mengurus berbagai
adminsitrasi sosial-ekonomi, terpinggirkan, ketidakjelasan pengakuan
kepercayaannya, dll. Hal semacam inilah yang menurunkan legitimasi pemerintah
Indonesia yang berusaha menghilangkan keindonesiaan.
Yang harus
diketahui adalah Indonesia hadir sesudah Sunda Wiwitan. Oleh sebab itu,
Indonesia harus merangkul dan memfasilitasi Sunda Wiwitan, tidak hanya untuk
eksistensi Indonesia sendiri sebagai negara yang memiliki suku bangsa
beragam, tetapi demi kemanusiaan dan kebudayaan Sunda Wiwitan juga. Banyak
hal yang harus dipelajari dari Sunda Wiwitan yang seharusnya dapat
didokumentasikan, lalu diceritakan ke luar Indonesia sebagai salah satu
bentuk dialog antarbudaya.
Seremoni dan
tontonan simbolik (festival) memang diperlukan bagi Indonesia, tetapi yang
lebih utama adalah menjaga dan internalisasi nilai-nilai primordial secara
inklusif. Masyarakat Indonesia menjadi Indonesia bukan karena dia tanpa
identitas, sebab Indonesia ditopang oleh beragam suku, etnis, agama,
kepercayaan, dll, bukan sebaliknya.
Menjadi orang Indonesia
artinya warganya mempunyai nilai-nilai primordial yang dibanggakan dalam
payung keindonesiaan. Misalnya menjadi seorang Padang, dia tidak hanya paham
betul tentang ide ke-Padang-an, tetapi dia harus tahu betul gagasan besarnya,
sadar dan menjalankan nilai-nilainya, tahu bentuk hasil kebudayaannya.
Implikasinya, interaksi dengan suku atau etnis lain yang berbeda-beda dapat
mewujudkan dialog antarbudaya. Mereka bisa saling mengenal, menghormati dan
belajar satu sama lain.
Jadi jangan
disalahartikan sebaliknya bahwa Indonesia (pemerintah) yang membantu,
menopang, mengeksiskan Padang. Implikasinya, pemerintah Indonesia membuat
berbagai macam program modernisasi agar warga Padang modern. Hal inilah yang
dinamakan salah kebijakan budaya yang sifatnya top-down.
Jangan pula
disalahartikan bahwa menjadi seorang Padang justru menjadi primordialisme,
yakni sangat mencintai sukunya sehingga suku lain dan pemerintah rendah
dihadapannya. Ide, nilai dan hasil budaya suku padang benar sedangkan yang
lain salah. Pemahaman semacam ini berbahaya bagi keberlangsungan
keindonesiaan, sebab Indonesia akan mengalami disintegrasi (chauvinisme,
rasisme, sukuisme).
Demikian juga
konteks agama. Jangan mentang-mentang mayoritas, lalu merasa paling benar.
Islam atas nama otoritas institusional (ilmiah) mengatakan bahwa kepercayaan
seperti Sunda Wiwitan, Samin, Dayak, dll adalah salah (kafir). Hal ini akan
membuat konflik sosial dan merambah pada instabilitas negara.
Minoritas pun
jangan mentang-mentang minoritas lalu berbuat seenaknya, sehingga merasa
tertindas, lalu mengangkat isu HAM ke level internasional.
Agar Indonesia
terwujud, maka suku, ras, dan agama harus primordial-inklusif, sehingga
kebanggan akan identitasnya justru menguatkan keindonesiaan. Kuatnya
keindonesiaan dapat mewujudkan dialog antar budaya yang lebih luas di level
internasional, sehingga globalisasi pun dapat diatasi
Kebijakan Budaya Pemerintah
Dengan menjadi
tuan rumah acara The Intercultural
Innovation Award 2014, pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan budaya
yang lebih substantif dan bermakna bagi komunitas lokal yang menghidupi
identitas keberagaman Indonesia. Tanpa mereka, Indonesia kosong tak bemakna.
Dalam acara The Intercultural Innovation Award 2014,
hanya ada seorang peserta dari Indonesia. Semoga harapan penyelenggara bahwa
peserta dari Indoensia akan lebih banyak bergerak dari akar rumput dapat
terwujud.
Hal yang utama
harus dilakukan pemerintah adalah adanya program-program kebijakan budaya
yang berlangsung jangka panjang dan substantive
dan bila perlu merubah undang-undang, sehingga keberadaan komunitas lokal
bisa dimasukkan ke dalam dokumen dan administrasi kenegaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar