Demokrasi
versi Media
Danang Sangga Buwana ;
Komisioner KPI Pusat
|
OKEZONENEWS,
23 September 2014
Artikel DSB ini telah dimuat di KORAN SINDO 19 September 2014
Menarik
menyimak kembali pernyataan Presiden SBY saat membuka Rapat Pimpinan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) di Istana Negara beberapa waktu lalu yang
mengatakan bahwa kebebasan dapat berpotensi korup sebagaimana kekuasaan yang
cenderung korup.
Menganalogikan
dalil kekuasaan Lord Acton, SBY mengatakan, “Liberty also can corrupt. Absolute
liberty corrupt absolutely.” Pernyataan ini setidaknya merefleksi dinamika
politik pada pesta demokrasi 2014 di panggung media. Pesta demokrasi lima
tahunan bangsa ini memang telah usai. Laju sistem demokrasi kita di satu sisi
memang layak mendapatkan apresiasi mengingat pemilu legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden (pilpres) telah landing pada landasannya.
Recovery
politik pun niscaya segera dilakukan. Rakyat pendukung, elite politisi,
maupun para kontestan calon pemimpin bangsa sudah harus melakukan
rekonsiliasi nasional. Inilah saatnya merajut kembali temali kebangsaan yang
sebelumnya tampak merenggang. Namun, di sisi lain, masih banyak elemen
demokrasi yang butuh dievaluasi, terutama evaluasi atas peran media. Kita
tentu masih ingat, betapa masyarakat Indonesia sempat sedemikian dibingungkan
oleh keriuhan media dalam pemberitaan televisi terhadap calon presiden dan
wakil hingga klimaks pada upaya saling klaim kebenaran hitung cepat (quick
count).
Fakta
politisasi media (televisi) musti dibaca sebagai catatan merah dinamika
penyiaran nasional meski secara faktual tidak ada media yang sepenuhnya
netral. Namun, seharusnya mainstreaming keberpihakan pada politik dan
kekuasaan tak lantas menciderai pula prinsip keberimbangan (cover both sides)
dan prinsip kejernihan informasi. Jika prinsip-prinsip ini dilanggar, media
(televisi dan pers) telah mengingkari eksistensinya sebagai pilar demokrasi.
Framing Media
Meminjam
Eriyanto (2007), framing media merupakan cara penyajian realitas di mana kebenaran
tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan
secara halus, dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu melalui
bantuan foto, karikatur, teks, visual dan alat ilustrasi lain. Maknanya,
ketika media melakukan framing politik, sejatinya media tersebut sedang
melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna atau citra
mengenai sebuah kebenaran politik. Itu dilakukan melalui pilihan bahasa,
pembingkaian peristiwa, penayangan visual pendukung dan penyediaan ruang dan
waktu untuk satu berita politik tertentu. Bahasa dalam framing tidak semata
mata dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar media.
Bahasa
dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena itu,
evaluasi atas peran media di tengah dinamika politik meniscayakan dampak
psikologis berupa pengikisan kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi
media. Secara teknis dalam sebuah framing media selalu ada pihak yang
diafirmasi (ditonjolkan) dan ada pihak yang dinegasi (disingkirkan). Bagi
pihak yang diafirmasi, akan dimunculkan kesan empatik, asosiasi, serangkaian
keunggulan, dan kebaikan.
Sebaliknya,
pihak yang dinegasi akan dimunculkan kesan stigmatis. Karena media merupakan
ruang besar (big hall) bagi publik untuk memperoleh informasi mengenai
realitas politik dan sosial, bingkai realitas tertentu yang diproduksi media
berpengaruh pada cara pemirsa menafsirkan sebuah peristiwa. Pada tahap ini
pemirsa bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, mereka individu aktif dalam
menafsirkan suatu sajian media. Justru itulah muncul dampak beragam dari
framing media ini.
Kebingungan
Massal
Media terutama
televisi telah menjadi referensi sosial. Televisi memiliki satu kekuasaan
untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur oleh
jadwal program. Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi telah
menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini
bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya,
masyarakatlah yang menjadi cermin televisi (Piliang, 1998: 237). Citra-citra
yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal bahwa telah
terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi.
Dengan begitu,
televisi telah membentuk satu dunia tersendiri yakni sebuah dunia buatan yang
justru lebih nyata dan lebih riil dibanding realitas yang sebenarnya.
Televisi kini ini tak ubahnya seperti Dewa Janus yang berwajah ganda. Di satu
sisi ia menampakkan wajah negatif sebagai “tabung kebodohan” yang menawarkan
mimpi. Sementara pada sisi wajah yang lain ia disebut secara positif sebagai
panduan baru, “jendela melihat dunia”. (Mehdi Aghinta Hidayat, 2000:31).
Karena itu, semua elemen bangsa harus segera menyadari secara kritis agar
senantiasa mengambil jarak (kritis) terhadap setiap informasi framing
televisi.
Bagaimanapun
keberpihakan media atas politik kekuasaan telah mendekonstruksi idealisme
misi media sebagai jendela informasi sekaligus memosisikan kognisi masyarakat
pada kebingungan massal. Skeptisisme psikologis yang ditanamkan media
sejatinya telah pula menumbuhkan skeptisisme massal terhadap eksistensi
demokrasi dan politik, mengingat media telah melegitimasi diri sebagai corong
demokrasi. Akibatnya, dapat menurunkan tingkat partisipasi politik rakyat
pada masa mendatang seiring menebalnya apatisme terhadap dinamika politik. Di
titik ini, media harus segera melakukan evaluasi dan otokritik dalam upaya
menjernihkan kembali informasi yang diproduksi untuk publik.
Ini dilakukan
semata-mata untuk menyehatkan kognisi sosial dari limbah informasi yang
simpang siur. Karena jika media tidak sehat, akan terjadi wabah penyakit yang
menyerang akal budi dan psikologis secara massal. Demokrasi yang sehat memang
tercermin dari dunia media yang sehat. Tetapi, demokrasi bukanlah milik
media. Demokrasi itu milik rakyat (people centered democracy). Jika demokrasi
telah diambil alih oleh media (media centered democracy), dikhawatirkan
pernyataan SBY di atas akan menjadi kenyataan. Karena itu, media boleh bebas,
namun harus bertanggung jawab, jernih, objektif, dan berorientasi pada upaya
edukasi masyarakat. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar