Efek
Spiral Harga Elpiji
Susidarto ;
Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi,
Praktisi Perbankan di Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 24 September 2014
MASYARAKAT
Indonesia kembali harus menerima kenyataan pahit. Mulai Rabu, 10 September
2014, Pertamina menaikkan harga elpiji tabung 12 kg sebesar Rp 1.500/kg atau
Rp 18 ribu/tabung.
Ibu rumah
tangga konsumen bahan bakar itu menjerit. Berdasarkan data Pertamina,
pengguna terbesar elpiji adalah sektor rumah tangga yaitu 85%, sedangkan 15%
adalah sektor industri dan bisnis (hotel dan restoran).
Keputusan
Pertamina menaikkan harga komoditas itu karena selama ini penjualan gas itu
terus merugi. Tahun 2009 nilai kerugian sekitar Rp 1,1 triliun, dan terus
meningkat hingga berpuncak 2012 dengan nilai sekitar Rp 7,6 triliun, lalu
2013 menurun ’’hanya’’ Rp 5,7 triliun, namun tahun berjalan 2014 sudah
mencapai Rp 5,4 triliun.
Harga
keekonomian elpiji saat ini sudah Rp 12.100/kg tapi harga jual dari Pertamina
masih Rp 6.100 atau ada selisih Rp 6.000. Subsidi itulah yang dicabut, dan
konsekuensinya harga elpiji akan naik secara bertahap hingga mencapai harga
keekonomian.
Mau tak mau
konsumen harus menerima kenyataan pahit tersebut. Kenaikan harga elpiji kali
ini mempunyai efek spiral kenaikan harga komoditas yang terkait dengan bahan
bakar tersebut. Kenaikan harga itu akhirnya menjadi momok mengingat beban
ekonomi keluarga menjadi makin berat.
Bukan tidak
mungkin sebagian besar konsumen gas 12 kg akan beralih atau ’’bermigrasi’’
menggunakan elpiji tabung 3 kg yang sering disebut melon. Kenaikan harga
elpiji bisa disebut kado pahit menyambut pemerintahan baru untuk kaum
perempuan Indonesia, terutama yang mengurus ekonomi rumah tangga.
Selama ini,
mereka sudah dipusingkan untuk bisa mengatur keuangan rumah tangga di tengah
kemahalan harga berbagai barang dan jasa pascakenaikan tarif dasar listrik
(TDL). Terlebih keluarga dengan tingkat ekonomi pas-pasan tapi terlanjur
menjadi konsumen setia elpiji 12 kg.
Daya Beli
Pendapatan
mereka yang selama ini tidak bergerak menjadi makin terpangkas dan
ujung-ujungnya mengakibatkan menurunnya daya beli. Realitas itu berpengaruh
secara langsung terhadap kualitas kehidupan.
Jangankan
memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), untuk memenuhi kebutuhan fisik
minimum (KFM) saja, mereka sudah merasakan kesulitan. Pemerintah sepertinya
tidak pernah menghitung cermat efek berantai yang pasti terjadi akibat
kondisi itu.
Mengaitkan
pengeluaran keluarga hanya berdasarkan perhitungan matematis, kenaikan harga
elpiji Rp 18.000 per tabung bisa saja dianggap tak terlalu besar. Konsumen
tinggal mengalikan dalam sebulan membutuhkan berapa tabung.
Namun jangan
terlalu cepat menghibur diri karena kebijakan itu baru ’’langkah awal’’. Ke
depan, pemerintah pasti menaikkan harga elpiji nonsubsidi itu hingga sama
dengan harga pasar (keekonomian) menjadi Rp 12.100/kg (Rp 150.000/tabung).
Hal itu
berarti harga elpiji akan dinaikkan hampir 100%. Kontribusi kenaikan harga
elpiji terhadap inflasi mungkin sangat kecil mengingat hanya berdampak pada
beberapa sektor seperti industri perhotelan, rumah makan, dan restoran, serta
industri bahan bangunan (keramik dan sejenisnya).
Namun di
Indonesia, kenaikan harga punya efek berantai karena semua pihak akan
mendompleng untuk menaikkan harga komoditas barang dan jasa. Dampaknya,
pengeluaran keluarga meningkat.
Perhitungan
ekonomi makro sering tidak menjangkau dan menangkap berbagai fenomena yang
dihadapi keluarga di Indonesia. Persoalan ekonomi mikro keluarga, sering
luput dari perhatian pemerintah.
Padahal,
persoalan mendasar semacam ini justru teramat penting. Hal itulah yang harus
diperhitungkan lebih cermat oleh pemerintah sebelum mengambil keputusan
’’kontroversial’’. Kondisi itu malah bisa menguji kepedulian dan kepekaan
pemerintah.
Skala Prioritas
Satu hal yang
tidak bisa dihindari adalah ekonomi subsidi memang harus dihilangkan,
terlebih apabila terdistorsi, yaitu subsidi diberikan dalam bentuk barang.
Mirip BBM yang sebentar lagi harganya dinaikkan secara berkala alias
subsidinya dicabut maka elpiji juga demikian.
Sembari
menunggu kompensasi subsidi, para keluarga, terutama ibu rumah tangga
sebaiknya menghitung ulang atau merekalkulasi pengeluaran. Perlu menentukan
skala prioritas pengeluaran supaya ekonomi keluarga tidak defisit. Rumusan
prioritas pengeluaran rumah tangga adalah bayar utang-utang lebih dulu, dan
besar maksimal utang keluarga adalah 30% dari take home pay.
Kemudian baru
disusul pengeluaran untuk saving (menabung) 10 persen, proteksi keluarga 10
persen dan terakhir untuk kebutuhan konsumsi. Alasan meletakkan kebutuhan
pada urutan pertama karena hal itu bersifat elastis, bisa disesuaikan dengan
kemampuan sisa dana dari keuangan sebuah keluarga.
Andai dirasa
masih kurang, keluarga itu harus menambah sisi penghasilan semisal melalui
kerja lembur atau mencari usaha lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar