Jumat, 26 September 2014

Efek Spiral Harga Elpiji

Efek Spiral Harga Elpiji

Susidarto  ;   Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi, Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

MASYARAKAT Indonesia kembali harus menerima kenyataan pahit. Mulai Rabu, 10 September 2014, Pertamina menaikkan harga elpiji tabung 12 kg sebesar Rp 1.500/kg atau Rp 18 ribu/tabung.

Ibu rumah tangga konsumen bahan bakar itu menjerit. Berdasarkan data Pertamina, pengguna terbesar elpiji adalah sektor rumah tangga yaitu 85%, sedangkan 15% adalah sektor industri dan bisnis (hotel dan restoran).

Keputusan Pertamina menaikkan harga komoditas itu karena selama ini penjualan gas itu terus merugi. Tahun 2009 nilai kerugian sekitar Rp 1,1 triliun, dan terus meningkat hingga berpuncak 2012 dengan nilai sekitar Rp 7,6 triliun, lalu 2013 menurun ’’hanya’’ Rp 5,7 triliun, namun tahun berjalan 2014 sudah mencapai Rp 5,4 triliun.

Harga keekonomian elpiji saat ini sudah Rp 12.100/kg tapi harga jual dari Pertamina masih Rp 6.100 atau ada selisih Rp 6.000. Subsidi itulah yang dicabut, dan konsekuensinya harga elpiji akan naik secara bertahap hingga mencapai harga keekonomian.

Mau tak mau konsumen harus menerima kenyataan pahit tersebut. Kenaikan harga elpiji kali ini mempunyai efek spiral kenaikan harga komoditas yang terkait dengan bahan bakar tersebut. Kenaikan harga itu akhirnya menjadi momok mengingat beban ekonomi keluarga menjadi makin berat.

Bukan tidak mungkin sebagian besar konsumen gas 12 kg akan beralih atau ’’bermigrasi’’ menggunakan elpiji tabung 3 kg yang sering disebut melon. Kenaikan harga elpiji bisa disebut kado pahit menyambut pemerintahan baru untuk kaum perempuan Indonesia, terutama yang mengurus ekonomi rumah tangga.

Selama ini, mereka sudah dipusingkan untuk bisa mengatur keuangan rumah tangga di tengah kemahalan harga berbagai barang dan jasa pascakenaikan tarif dasar listrik (TDL). Terlebih keluarga dengan tingkat ekonomi pas-pasan tapi terlanjur menjadi konsumen setia elpiji 12 kg.

Daya Beli

Pendapatan mereka yang selama ini tidak bergerak menjadi makin terpangkas dan ujung-ujungnya mengakibatkan menurunnya daya beli. Realitas itu berpengaruh secara langsung terhadap kualitas kehidupan.

Jangankan memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) saja, mereka sudah merasakan kesulitan. Pemerintah sepertinya tidak pernah menghitung cermat efek berantai yang pasti terjadi akibat kondisi itu.

Mengaitkan pengeluaran keluarga hanya berdasarkan perhitungan matematis, kenaikan harga elpiji Rp 18.000 per tabung bisa saja dianggap tak terlalu besar. Konsumen tinggal mengalikan dalam sebulan membutuhkan berapa tabung.

Namun jangan terlalu cepat menghibur diri karena kebijakan itu baru ’’langkah awal’’. Ke depan, pemerintah pasti menaikkan harga elpiji nonsubsidi itu hingga sama dengan harga pasar (keekonomian) menjadi Rp 12.100/kg (Rp 150.000/tabung).

Hal itu berarti harga elpiji akan dinaikkan hampir 100%. Kontribusi kenaikan harga elpiji terhadap inflasi mungkin sangat kecil mengingat hanya berdampak pada beberapa sektor seperti industri perhotelan, rumah makan, dan restoran, serta industri bahan bangunan (keramik dan sejenisnya).

Namun di Indonesia, kenaikan harga punya efek berantai karena semua pihak akan mendompleng untuk menaikkan harga komoditas barang dan jasa. Dampaknya, pengeluaran keluarga meningkat.

Perhitungan ekonomi makro sering tidak menjangkau dan menangkap berbagai fenomena yang dihadapi keluarga di Indonesia. Persoalan ekonomi mikro keluarga, sering luput dari perhatian pemerintah.

Padahal, persoalan mendasar semacam ini justru teramat penting. Hal itulah yang harus diperhitungkan lebih cermat oleh pemerintah sebelum mengambil keputusan ’’kontroversial’’. Kondisi itu malah bisa menguji kepedulian dan kepekaan pemerintah.

Skala Prioritas

Satu hal yang tidak bisa dihindari adalah ekonomi subsidi memang harus dihilangkan, terlebih apabila terdistorsi, yaitu subsidi diberikan dalam bentuk barang. Mirip BBM yang sebentar lagi harganya dinaikkan secara berkala alias subsidinya dicabut maka elpiji juga demikian.

Sembari menunggu kompensasi subsidi, para keluarga, terutama ibu rumah tangga sebaiknya menghitung ulang atau merekalkulasi pengeluaran. Perlu menentukan skala prioritas pengeluaran supaya ekonomi keluarga tidak defisit. Rumusan prioritas pengeluaran rumah tangga adalah bayar utang-utang lebih dulu, dan besar maksimal utang keluarga adalah 30% dari take home pay.

Kemudian baru disusul pengeluaran untuk saving (menabung) 10 persen, proteksi keluarga 10 persen dan terakhir untuk kebutuhan konsumsi. Alasan meletakkan kebutuhan pada urutan pertama karena hal itu bersifat elastis, bisa disesuaikan dengan kemampuan sisa dana dari keuangan sebuah keluarga.

Andai dirasa masih kurang, keluarga itu harus menambah sisi penghasilan semisal melalui kerja lembur atau mencari usaha lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar