Jumat, 26 September 2014

Kearifan Lokal Mengatasi Bencana

Kearifan Lokal Mengatasi Bencana

Sri Mulyadi  ;   Wartawan Suara Merdeka,
Anggota Forum Wartawan Peduli Bencana Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KONSEP desa bersaudara yang dikembangkan oleh BPBD Kabupaten Magelang, juga dimaksudkan sebagai tindakan mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) atau gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Contoh kearifan lokal lain misalnya nataki atau cara yang diterapkan masyarakat Dayak ketika membuka hutan. Sebelum membuka hutan mereka merobohkan pohon atau semak belukar di sekeliling lokasi yang akan dibakar.

Ini dimaksudkan sebagai batas agar api tak meluas ke areal lain yang bukan dicadangkan untuk lahan pertanian. Contoh lain adalah smong yang dilakukan warga Kabupaten Semeulue. Jika terjadi gempa kuat, disusul air laut yang surut, masyarakat di sana segera mencari tempat tinggi.

Tindakan ini sebagai bentuk antisipasi atau peringatan dini bahwa gempa akan diikuti terjadinya tsunami. Sementara di Bali ada istilah tat twam asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu. Hal ini dapat diartikan mengakui keberadaan dan menghormati orang lain, sebagaimana menghormati diri sendiri.

Bisa juga dimaknai bahwa dalam kondisi apa dan bagaimana pun, antarsesama tetap wajib saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong Konsep itu, bagi warga lereng Merapi bukan sesuatu yang baru. Dulu sewaktu dampak aktivitas Merapi mengancam, warga akan mengungsi ke desa lain terdekat yang kondisinya aman atau tak terjangkau luncuran awan panas.

Mereka berlindung atau mengungsi ke saudara atau kerabat di desa tersebut. Seiring perkembangan keadaan, jika terjadi erupsi mereka mengungsi ke bangunan-bangunan publik seperti balai desa, sekolah, atau barak pengungsian, dan lainnya. Padahal jika mengungsi ke barak pengungsian atau tempat umum, biasanya fasilitas yang tersedia jauh dari memadai. Misalnya MCK, tempat tidur, dan lainnya.

Untuk makan pun tergantung ransum dari dapur umum. Sementara jika mengungsi di rumah penduduk desa tetangga, mereka dapat mencukupi kebutuhan secara bersama. Mengamankan Diri Pengalaman mengungsi ke desa tetangga pernah dialami oleh warga Desa Sidorejo yang bersebelahan dengan Desa Balerante di Kecamatan Kemalang, Klaten.

Ketika erupsi tahun 2010, warga desa ini diarahkan oleh pemerintah daerah setempat untuk mengamankan diri ke Depo Militer di Wedi, Klaten. Namun, sebagian warga dua RT teratas di desa ini memilih mencari desa yang bersedia untuk menerima mereka.

Hal ini dengan pertimbangan mereka tidak ingin pengalaman mengungsi pada erupsi 2006 terulang. Tahun 2006, warga desa di lereng Merapi wilayah Klaten dipaksa mengungsi oleh pemerintah daerah ketika situasi belum dirasa penting untuk mengungsi.

Selain itu, kondisi pengungsian yang dikelola oleh pemerintah jauh dari layak. Sebagian warga Desa Sidorejo kemudian diterima oleh Pemerintah Desa Manjung, Kecamatan Ngawen, Klaten. Di desa ini warga Desa Sidorejo dapat mengamankan diri dengan lebih layak karena bisa mengelola diri sendiri secara mandiri.

Selama mengungsi, warga Sidorejo bisa tetap melakukan kegiatan rutin sehari-hari di tempat asal, karena lokasinya tidak jauh. Anak-anak juga bisa tetap bersekolah di desa setempat. Bahkan, karena selama mengungsi mereka sangat dekat dengan warga, sewaktu status Merapi dinyatakan aman, diadakan acara perpisahan ketika warga Sidorejo akan pulang ke desanya. Dikembangkan Dari kenyataan itu, bukan berarti konsep pengungsian yang dipusatkan di suatu tempat tidak efektif dan manusiawi.

Jika dilaksanakan dan dipersiapkan dengan baik, langkah tersebut juga dapat diterapkan. Seperti dialami warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten. Desa Balerante ini terletak sekitar 4-5 kilometer dari puncak Merapi atau masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Pada erupsi tahun 2010, warga diarahkan mengungsi ke Depo Militer di Wedi, Klaten.

Sebagai langkah antisipasi, Pemerintah Desa Balerante yang sudah memiliki data desa dan masuk program Sistem Informasi Desa (SID) dalam komputer, membawa komputer ke lokasi pengungsian. Jainu, sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa Balerante yang merupakan salah satu penggagas SID dan bisa mengoperasikan komputer, berinisiatif membuka kantor desa darurat di barak pengungsian.

Hasilnya, kantor desa darurat di pengungsian bisa banyak membantu pelayanan kepada warganya. Data desa juga bisa dengan mudah disediakan untuk pihak/organisasi kemanusiaan yang datang mencari data untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Manfaat SID dalam situasi darurat itu berlanjut ketika proses ganti rugi ternak warga korban Merapi.

Ada beberapa dusun di Desa Balerante yang terdampak luncuran awan panas. Sebagian rumah hancur dan ternak mati. Ganti rugi ternak dari pemerintah pusat saat itu antara lain mensyaratkan adanya bukti dokumen kependudukan setempat. Dengan data di SID, pemerintah desa bisa menyediakan data/bukti kependudukan yang disyaratkan, sehingga proses ganti rugi terselesaikan lebih cepat dibanding desa lain.

Berdasar pengalaman itu, pengungsian ke rumah warga desa saudara maupun ke tempat penampungan khusus atau fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, tempat ibadah, atau lainnya, sebenarnya dapat ditempuh. Namun konsep desa bersaudara mempunyai nilai lebih. Khususnya dari sisi kemandirian, kelayakan, kenyamanan, kesehatan, keamanan, kebersamaan.

Dengan demikian jika kini BPBD Kabupaten Magelang terus mengembangkan konsep desa bersaudara secara lebih memadai dan terpadu, jelas merupakan langkah positif yang layak didukung semua pihak terkait. Tindakan itu disamping tetap menjaga atau mengembangkan kearifan lokal, memupuk rasa persaudaraan, seluruh warga di lereng Merapi secara otomatis juga ikut terlibat atau berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.

Menurut pencetus gagasan konsep desa bersadara, Drs Joko Sudibyo MT, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Magelang , kini jika Merapi erupsi dan mengancam, warga desa di lereng Merapi wilayah Kabupaten Magelang telah siap untuk ìtinggal sementara” di desa saudara yang telah ditetapkan bersama . Satu desa di wilayah KRB bisa dipasangkan dengan satu atau beberapa desa di wilayah penyangga yang lebih aman, tergantung jumlah dan kapasitas masingmasing desa.

Tahun ini, BPBD Kabupaten Magelang telah menfasilitasi 19 desa di KRB III untuk ”disaudarakan” dengan 43 desa penyangga sebagai desa saudara. Pembentukan desa bersaudara tersebut didukung dengan telah ditandatanganinya nota kesepakatan bersama antara 19 desa KRB III dengan 43 desa penyangga. Rencana kontijensi sudah disiapkan sebagai antisipasi dampak erupsi Merapi, yakni di KRB III atau daerah yang berjarak kurang dari sepuluh kilometer dari puncak gunung.

Kedua jika mencapai radius 15 kilometer, dan kalau dampak luncuran awan panas diperhitungkan hingga 20 kilometer. Pada letusan di tahun 2010, dampak ancaman pernah ditetapkan hingga 20 kilometer dari puncak. Di wilayah Kabupaten Magelang, 19 desa berada di KRB III, tersebar di tiga kecamatan. Di Kecamatan Dukun delapan desa, Srumbung delapan desa, dan Sawangan tiga desa.

Keseluruhan penduduk di lokasi itu, berdasar data di BPBD setempat, jumlahnya 53.494 jiwa. Pada radius 15 kilometer jumlah yang terancam 45 desa, dan masih tersebar di tiga kecamatan tersebut. Di antara desa tersebut, ”persaudaraan” yang telah dilakukan secara intensif adalah Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, dengan Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan.

Desa Ngargomulyo berada sekitar enam kilometer dari puncak Merapi, sementara Tamanagung letaknya sekitar 18 kilometer dari puncak Merapi. Kedua desa itu difasilitasi BPBD Kabupaten Magelang dan United Nations Development Programme (UNDP ) telah melakukan pemetaan sumber daya (personel, peralatan, logistik, sarana prasarana/fasilitas pengungsian) yang dimiliki oleh masing-masing desa, serta berembuk untuk menjadi pengungsi dan penerima pengungsi yang baik, sesuai kapasitas masing-masing.

Sementara pemerintah akan menutup kekurangan kebutuhan sumber daya yang telah disusun oleh kedua desa yang telah bersaudara tersebut.

Rencana kontijensi sudah disusun, bahkan geladi pun juga telah dilakukan, melibatkan sekitar 150 KK warga dan 150 petugas. Bahkan warga Ngargomulyo telah memiliki cadangan dana penanggulangan bencana.

Cadangan itu berupa sapi yang dikelola kelompok masing-masing. Jumlahnya 2-3 ekor sapi per RT dan dikelola oleh 21 RT, dengan nilai sekitar lebih dari Rp 150 juta. Sehingga jika terjadi bencana warga desa bersangkutan telah mampu menangani masalah yang dihadapi. Paling tidak untuk jangka waktu tertentu.

Kemandirian Warga

Apa yang dilakukan warga di lereng Merapi wilayah Kabupaten Magelang itu, telah mencerminkan kepedulian dan kesiapan manakala harus hidup berdampingan dengan ancaman bencana. Bahkan mereka telah menentukan solusi dalam mengurangi risiko bencana sekaligus menyelamatkan diri.

Pada detik-detik awal terjadinya bencana memang ”milik” masyarakat sendiri, sehingga mereka perlu dilatih, difasilitasi, ditingkatkan kapasitasnya untuk dapat menyelamatkan diri bersama keluarga, sebelum pertolongan dari pihak lain datang.

Jika konsep desa bersaudara yang telah dirintis tersebut terus dipertahankan dengan pembaharuan data tentang kapasitas, rencana kontijensi, pengulangan geladi, sistem informasi desa, didukung saling bersilaturahmi, desa bersangkutan layak menyandang predikat tangguh.

Artinya, mereka telah mampu menyelamatkan diri secara swadaya dan swadana manakala muncul ancaman bencana. Sementara pihak terkait seperti BPBD Kabupaten Magelang dan provinsi, sukarelawan, pejabat setempat, dan lembaga lain, bisa memantau sekaligus memberi masukan dan dukungan jika diperlukan.

Konsep desa bersaudara itu ke depan dapat dikembangkan di wilayah lain yang punya potensi ancaman sama seperti warga di lereng Gunung Slamet, Sinabung, Kelud, Krakatau, dan lainnya. Di sisi lain juga bisa dikembangkan di daerah yang potensi ancaman bencananya berbeda. Misalnya di kawasan rawan banjir lahar dingin atau luapan sungai, longsor, dan lainnya. Tentunya dengan sosialisasi dan tahapan yang memadai.

Intinya, persaudaraan itu dimaknai sebagai bentuk munculnya rasa kebersamaan, persatuan, dan gotong royong. Serta terjalinnya suatu hubungan timbal-balik antarwarga yang disatukan oleh rasa saling menyayangi, memberi, menerima, dan kasih-mengasihi.

Selanjutnya, bisa dilakukan evaluasi atau inovasi. Misalnya, jika pengungsian ke warga desa saudara tidak mencukupi, bisa dipindahkan ke lokasi penampungan khusus yang pembangunannya juga difasilitasi BNPB, atau tempat lain. Dengan catatan fasilitas yang disediakan lebih memadai dibanding jika mengungsi di tempat kerabat atau desa penanyangga. Dengan berkembangnya konsep kemandirian warga itu, paling tidak kekurangan pihak pemangku kepentingan di bidang penanggulangan bencana, dapat terbantu.

Bila ditambah keterlibatan dunia usaha secara memadai maka gerak terpadu menuju ketangguhan bangsa menghadapi bencana, secara bertahap tetapi pasti akan tercapai. Paling tidak, mitigasi atau serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana, akan lebih memasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar