Kearifan
Lokal Mengatasi Bencana
Sri Mulyadi ;
Wartawan Suara Merdeka,
Anggota Forum Wartawan Peduli
Bencana Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 24 September 2014
KONSEP desa
bersaudara yang dikembangkan oleh BPBD Kabupaten Magelang, juga dimaksudkan
sebagai tindakan mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) atau gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
Contoh
kearifan lokal lain misalnya nataki atau cara yang diterapkan masyarakat
Dayak ketika membuka hutan. Sebelum membuka hutan mereka merobohkan pohon
atau semak belukar di sekeliling lokasi yang akan dibakar.
Ini
dimaksudkan sebagai batas agar api tak meluas ke areal lain yang bukan
dicadangkan untuk lahan pertanian. Contoh lain adalah smong yang dilakukan warga Kabupaten Semeulue. Jika terjadi gempa
kuat, disusul air laut yang surut, masyarakat di sana segera mencari tempat
tinggi.
Tindakan ini sebagai
bentuk antisipasi atau peringatan dini bahwa gempa akan diikuti terjadinya
tsunami. Sementara di Bali ada istilah tat twam asi; kamu adalah aku dan aku
adalah kamu. Hal ini dapat diartikan mengakui keberadaan dan menghormati
orang lain, sebagaimana menghormati diri sendiri.
Bisa juga
dimaknai bahwa dalam kondisi apa dan bagaimana pun, antarsesama tetap wajib
saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong Konsep itu, bagi warga
lereng Merapi bukan sesuatu yang baru. Dulu sewaktu dampak aktivitas Merapi
mengancam, warga akan mengungsi ke desa lain terdekat yang kondisinya aman
atau tak terjangkau luncuran awan panas.
Mereka
berlindung atau mengungsi ke saudara atau kerabat di desa tersebut. Seiring
perkembangan keadaan, jika terjadi erupsi mereka mengungsi ke
bangunan-bangunan publik seperti balai desa, sekolah, atau barak pengungsian,
dan lainnya. Padahal jika mengungsi ke barak pengungsian atau tempat umum,
biasanya fasilitas yang tersedia jauh dari memadai. Misalnya MCK, tempat
tidur, dan lainnya.
Untuk makan
pun tergantung ransum dari dapur umum. Sementara jika mengungsi di rumah
penduduk desa tetangga, mereka dapat mencukupi kebutuhan secara bersama.
Mengamankan Diri Pengalaman mengungsi ke desa tetangga pernah dialami oleh
warga Desa Sidorejo yang bersebelahan dengan Desa Balerante di Kecamatan
Kemalang, Klaten.
Ketika erupsi
tahun 2010, warga desa ini diarahkan oleh pemerintah daerah setempat untuk
mengamankan diri ke Depo Militer di Wedi, Klaten. Namun, sebagian warga dua
RT teratas di desa ini memilih mencari desa yang bersedia untuk menerima
mereka.
Hal ini dengan
pertimbangan mereka tidak ingin pengalaman mengungsi pada erupsi 2006
terulang. Tahun 2006, warga desa di lereng Merapi wilayah Klaten dipaksa
mengungsi oleh pemerintah daerah ketika situasi belum dirasa penting untuk
mengungsi.
Selain itu,
kondisi pengungsian yang dikelola oleh pemerintah jauh dari layak. Sebagian
warga Desa Sidorejo kemudian diterima oleh Pemerintah Desa Manjung, Kecamatan
Ngawen, Klaten. Di desa ini warga Desa Sidorejo dapat mengamankan diri dengan
lebih layak karena bisa mengelola diri sendiri secara mandiri.
Selama
mengungsi, warga Sidorejo bisa tetap melakukan kegiatan rutin sehari-hari di
tempat asal, karena lokasinya tidak jauh. Anak-anak juga bisa tetap
bersekolah di desa setempat. Bahkan, karena selama mengungsi mereka sangat
dekat dengan warga, sewaktu status Merapi dinyatakan aman, diadakan acara
perpisahan ketika warga Sidorejo akan pulang ke desanya. Dikembangkan Dari
kenyataan itu, bukan berarti konsep pengungsian yang dipusatkan di suatu
tempat tidak efektif dan manusiawi.
Jika
dilaksanakan dan dipersiapkan dengan baik, langkah tersebut juga dapat
diterapkan. Seperti dialami warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten.
Desa Balerante ini terletak sekitar 4-5 kilometer dari puncak Merapi atau masuk
Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Pada erupsi tahun 2010, warga diarahkan
mengungsi ke Depo Militer di Wedi, Klaten.
Sebagai
langkah antisipasi, Pemerintah Desa Balerante yang sudah memiliki data desa
dan masuk program Sistem Informasi Desa (SID) dalam komputer, membawa
komputer ke lokasi pengungsian. Jainu, sebagai Kepala Urusan Pemerintahan
Desa Balerante yang merupakan salah satu penggagas SID dan bisa
mengoperasikan komputer, berinisiatif membuka kantor desa darurat di barak
pengungsian.
Hasilnya, kantor
desa darurat di pengungsian bisa banyak membantu pelayanan kepada warganya.
Data desa juga bisa dengan mudah disediakan untuk pihak/organisasi
kemanusiaan yang datang mencari data untuk memberikan bantuan kemanusiaan.
Manfaat SID dalam situasi darurat itu berlanjut ketika proses ganti rugi
ternak warga korban Merapi.
Ada beberapa
dusun di Desa Balerante yang terdampak luncuran awan panas. Sebagian rumah
hancur dan ternak mati. Ganti rugi ternak dari pemerintah pusat saat itu
antara lain mensyaratkan adanya bukti dokumen kependudukan setempat. Dengan
data di SID, pemerintah desa bisa menyediakan data/bukti kependudukan yang
disyaratkan, sehingga proses ganti rugi terselesaikan lebih cepat dibanding
desa lain.
Berdasar
pengalaman itu, pengungsian ke rumah warga desa saudara maupun ke tempat
penampungan khusus atau fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, tempat
ibadah, atau lainnya, sebenarnya dapat ditempuh. Namun konsep desa bersaudara
mempunyai nilai lebih. Khususnya dari sisi kemandirian, kelayakan,
kenyamanan, kesehatan, keamanan, kebersamaan.
Dengan
demikian jika kini BPBD Kabupaten Magelang terus mengembangkan konsep desa
bersaudara secara lebih memadai dan terpadu, jelas merupakan langkah positif
yang layak didukung semua pihak terkait. Tindakan itu disamping tetap menjaga
atau mengembangkan kearifan lokal, memupuk rasa persaudaraan, seluruh warga
di lereng Merapi secara otomatis juga ikut terlibat atau berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana.
Menurut
pencetus gagasan konsep desa bersadara, Drs Joko Sudibyo MT, Kabid
Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Magelang , kini jika Merapi erupsi
dan mengancam, warga desa di lereng Merapi wilayah Kabupaten Magelang telah
siap untuk ìtinggal sementara” di desa saudara yang telah ditetapkan bersama
. Satu desa di wilayah KRB bisa dipasangkan dengan satu atau beberapa desa di
wilayah penyangga yang lebih aman, tergantung jumlah dan kapasitas
masingmasing desa.
Tahun ini,
BPBD Kabupaten Magelang telah menfasilitasi 19 desa di KRB III untuk ”disaudarakan”
dengan 43 desa penyangga sebagai desa saudara. Pembentukan desa bersaudara
tersebut didukung dengan telah ditandatanganinya nota kesepakatan bersama
antara 19 desa KRB III dengan 43 desa penyangga. Rencana kontijensi sudah
disiapkan sebagai antisipasi dampak erupsi Merapi, yakni di KRB III atau
daerah yang berjarak kurang dari sepuluh kilometer dari puncak gunung.
Kedua jika
mencapai radius 15 kilometer, dan kalau dampak luncuran awan panas
diperhitungkan hingga 20 kilometer. Pada letusan di tahun 2010, dampak
ancaman pernah ditetapkan hingga 20 kilometer dari puncak. Di wilayah
Kabupaten Magelang, 19 desa berada di KRB III, tersebar di tiga kecamatan. Di
Kecamatan Dukun delapan desa, Srumbung delapan desa, dan Sawangan tiga desa.
Keseluruhan
penduduk di lokasi itu, berdasar data di BPBD setempat, jumlahnya 53.494
jiwa. Pada radius 15 kilometer jumlah yang terancam 45 desa, dan masih
tersebar di tiga kecamatan tersebut. Di antara desa tersebut, ”persaudaraan”
yang telah dilakukan secara intensif adalah Desa Ngargomulyo, Kecamatan
Dukun, dengan Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan.
Desa
Ngargomulyo berada sekitar enam kilometer dari puncak Merapi, sementara
Tamanagung letaknya sekitar 18 kilometer dari puncak Merapi. Kedua desa itu
difasilitasi BPBD Kabupaten Magelang dan United Nations Development Programme
(UNDP ) telah melakukan pemetaan sumber daya (personel, peralatan, logistik,
sarana prasarana/fasilitas pengungsian) yang dimiliki oleh masing-masing
desa, serta berembuk untuk menjadi pengungsi dan penerima pengungsi yang
baik, sesuai kapasitas masing-masing.
Sementara
pemerintah akan menutup kekurangan kebutuhan sumber daya yang telah disusun
oleh kedua desa yang telah bersaudara tersebut.
Rencana
kontijensi sudah disusun, bahkan geladi pun juga telah dilakukan, melibatkan
sekitar 150 KK warga dan 150 petugas. Bahkan warga Ngargomulyo telah memiliki
cadangan dana penanggulangan bencana.
Cadangan itu
berupa sapi yang dikelola kelompok masing-masing. Jumlahnya 2-3 ekor sapi per
RT dan dikelola oleh 21 RT, dengan nilai sekitar lebih dari Rp 150 juta.
Sehingga jika terjadi bencana warga desa bersangkutan telah mampu menangani
masalah yang dihadapi. Paling tidak untuk jangka waktu tertentu.
Kemandirian Warga
Apa yang
dilakukan warga di lereng Merapi wilayah Kabupaten Magelang itu, telah
mencerminkan kepedulian dan kesiapan manakala harus hidup berdampingan dengan
ancaman bencana. Bahkan mereka telah menentukan solusi dalam mengurangi
risiko bencana sekaligus menyelamatkan diri.
Pada
detik-detik awal terjadinya bencana memang ”milik” masyarakat sendiri,
sehingga mereka perlu dilatih, difasilitasi, ditingkatkan kapasitasnya untuk
dapat menyelamatkan diri bersama keluarga, sebelum pertolongan dari pihak
lain datang.
Jika konsep
desa bersaudara yang telah dirintis tersebut terus dipertahankan dengan
pembaharuan data tentang kapasitas, rencana kontijensi, pengulangan geladi,
sistem informasi desa, didukung saling bersilaturahmi, desa bersangkutan
layak menyandang predikat tangguh.
Artinya,
mereka telah mampu menyelamatkan diri secara swadaya dan swadana manakala
muncul ancaman bencana. Sementara pihak terkait seperti BPBD Kabupaten
Magelang dan provinsi, sukarelawan, pejabat setempat, dan lembaga lain, bisa
memantau sekaligus memberi masukan dan dukungan jika diperlukan.
Konsep desa
bersaudara itu ke depan dapat dikembangkan di wilayah lain yang punya potensi
ancaman sama seperti warga di lereng Gunung Slamet, Sinabung, Kelud,
Krakatau, dan lainnya. Di sisi lain juga bisa dikembangkan di daerah yang
potensi ancaman bencananya berbeda. Misalnya di kawasan rawan banjir lahar
dingin atau luapan sungai, longsor, dan lainnya. Tentunya dengan sosialisasi
dan tahapan yang memadai.
Intinya,
persaudaraan itu dimaknai sebagai bentuk munculnya rasa kebersamaan,
persatuan, dan gotong royong. Serta terjalinnya suatu hubungan timbal-balik
antarwarga yang disatukan oleh rasa saling menyayangi, memberi, menerima, dan
kasih-mengasihi.
Selanjutnya,
bisa dilakukan evaluasi atau inovasi. Misalnya, jika pengungsian ke warga
desa saudara tidak mencukupi, bisa dipindahkan ke lokasi penampungan khusus
yang pembangunannya juga difasilitasi BNPB, atau tempat lain. Dengan catatan
fasilitas yang disediakan lebih memadai dibanding jika mengungsi di tempat
kerabat atau desa penanyangga. Dengan berkembangnya konsep kemandirian warga
itu, paling tidak kekurangan pihak pemangku kepentingan di bidang
penanggulangan bencana, dapat terbantu.
Bila ditambah
keterlibatan dunia usaha secara memadai maka gerak terpadu menuju ketangguhan
bangsa menghadapi bencana, secara bertahap tetapi pasti akan tercapai. Paling
tidak, mitigasi atau serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana, akan lebih memasyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar