Minggu, 07 September 2014

Resistensi Kawasan Timur Indonesia

Resistensi Kawasan Timur Indonesia

Rudy Rahabeat  ;   Mahasiswa Program S-2 Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Beberapa hari lalu, Ikatan Mahasiswa Indonesia Timur yang sedang berstudi di Universitas Indonesia (UI) menggelar dialog publik yang menghadirkan pembicara, di antaranya Profesor Bambang Shergi Leksmono selaku mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UI).

Ada suatu keinginan kuat membangun sumber daya manusia (SDM) di kawasan timur Indonesia agar semakin cerdas dan mampu bersaing di kancah nasional maupun internasional.

Fakta membuktikan, bukan saja pada era Orde Baru kawasan Indonesia timur terpuruk, bahkan pada era Reformasi sekalipun, perhatian bagi Indonesia timur sesungguhnya belum mampu membuat kawasan ini berkembang pesat.

Ada tanda-tanda perhatian pemerintah pusat kepada daerah-daerah tertinggal sehingga dibentuk sebuah kementerian khusus yang menangani daerah tersebut, tetapi fakta membuktikan, laju pertumbuhan daerah-daerah di kawasan Indonesia timur tetap tertinggal.

Menarik mengikuti cara pandang para pembicara dalam diskusi publik yang disinggung di atas. Ada yang menekankan pentingnya kesungguhan warga masyarakat di Indonesia timur untuk berjuang dan berkompetisi agar semakin maju.

Sebagai contoh dalam dunia perguruan tinggi, jika ingin masuk universitas-universitas ternama di republik ini, orang-orang Indonesia timur harus berusaha semaksimal mungkin agar dapat lolos tes masuk. Ajakan ini kedengarannya bagus dan heroik, namun apakah benar semuanya?

Sebuah pertanyaan sederhana dapat diajukan, apakah (calon) mahasiswa di Indonesia timur dapat bersaing dengan rekan-rekannya di Indonesia barat yang dari segi fasilitas dan lingkungan belajarnya boleh dikata sangat menunjang?

Jika kriteria yang sama dipakai menguji para (calon) mahasiswa dari Indonesia timur dan Indonesia barat, apakah itu sesuai asas-asas demokrasi, seperti keadilan sebagai salah satu pilar demokrasi yang sejati?

Terhadap hal ini, saya teringat teori Jhon Rawls tentang keadilan (theory of justice). Menurutnya, dalam masyarakat demokratis, aspek keadilan sangat diperlukan. Hal ini demi menjaga dominasi kuasa tertentu, utamanya di pasar.

Jika keadilan tidak ditegakkan, kelompok yang kecil dan lemah pasti semakin terpuruk. Sebagai contoh, apakah adil jika Myke Tyson disuruh bertanding dengan Elyas Pical atau timnas sepak bola Jerman bertanding dengan timnas Indonesia? Di mana aspek keadilan dalam pertandingan tersebut?

Pendapat seperti ini jika dirujuk kembali kepada diskusi tentang kompetisi SDM di kawasan Indonesia timur bukan hendak membenarkan sikap pasrah, asal-asalan, dan seadanya bagi orang-orang di Indonesia timur untuk terus berjuang demi meningkatkan kualitas diri. Hal yang hendak dikatakan, ada kesenjangan yang lebar antara kawasan Indonesia timur dan Indonesia barat.

Untuk menjembataninya, perlu dibuat kebijakan dan program khusus agar distribusi keadilan dapat dirasakan segenap warga bangsa. Bukankah salah satu pemicu protes bahkan resistensi sebagian warga bangsa di kawasan timur di Indonesia (utamanya Papua) adalah karena merasa diperlakukan tidak adil oleh bangsanya?

Bukan rahasia umum jika hingga saat ini diskusi tentang pentingnya kebijakan berbasis wawasan multikulturalisme merupakan solusi bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Paradigma dan rezim sentralisme sudah terbukti tidak relevan di republik ini.

Wawasan multikulturalisme yang dimaksud mencakup semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Jika semua warga negara tidak diberi keadilan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas, patut dipertanyakan apakah kita masih menjadi bagian dari sebuah bangsa yang disebut Indonesia? Apakah rasa solidaritas kebangsaan ini masih ada ataukah telah sirna?

Ini sebuah pertanyaan fundamental di tengah pergulatan bangsa yang tetap menjadikan nasionalisme (paham kebangsaan) sebagai pengikat solidaritas masyarakat yang terbentang dari timur hingga barat dalam sebuah teritori politik yang bernama Indonesia.

Ben Anderson pernah berkata, Indonesia adalah komunitas terbayang (imagined community). Namun, perkataan yang bernada kritis dan sinis itu tentu masih dapat ditangkis jika aspek keadilan dan solidaritas sosial terus dipupuk dan dirawat.

Dalam momentum pemerintahan yang baru Jokowi-JK, kita berharap ada kebijakan-kebijakan khusus yang berkelanjutan guna membangun kawasan Indonesia timur. Salah satu pesan kampanye Jokowi-JK soal membangun Indonesia dari laut (maritim) dapat menjadi momentum baik bagi masyarakat di Indonesia timur yang sebagian besar memiliki wilayah laut yang luas.

Akankah perjuangan untuk adanya legitimasi bagi provinsi-provinsi kepulauan akan ditopang pemerintahan yang baru? Bagaimana pemerataan pembangunan dan distribusi keadilan terus terjadi di kawasan timur Indonesia?

Tentu saja, ketika berbicara tentang percepatan kawasan tertentu, sama sekali tidak mengabaikan kawasan lainnya. Asumsi di balik kebijakan yang dimaksud adalah agar terjadi keseimbangan.

Pihak yang kuat membantu yang lemah. Itulah solidaritas kebangsaan. Jika yang kuat tetap kuat dan yang yang lemah tetap lemah bahkan dilemahkan, itulah tregedi kebangsaan.

Kompetisi ala pasar bebas kedengarannya hebat, tetapi sesungguhnya menyimpan racun mematikan. Kompetisi yang tidak dilandasi keadilan hanya tipuan ideologi kapitalisme yang ujungnya dominasi pemilik modal semata, entah itu modal ekonomi, politik, budaya, intelektual, dan sebagainya.

Penyongsongan pemerintahan Indonesia yang baru—termasuk berbagai kebijakan regional dan global, seperti Pasar Bebas Asia 2015—perlu disiasati dengan peneguhan kembali solidaritas kebangsaan, perumusan kebijakan yang adil, kepemimpinan yang kuat dan solider dengan kaum lemah, serta proteksi terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang bisa tergerus ketika berhadapan dengan budaya asing.

Para mahasiswa, akademikus, cendekiawan, politikus, birokrat, aktivis lembaga masyarakat sipil, tokoh agama dan tokoh sosial budaya, seniman, petani, nelayan, buruh, serta seluruh komponen masyarakat di Indonesia timur (dan barat) harus bersatu, bahu-membahu melakukan “resistensi” untuk mengingatkan bangsa Indonesia bahwa kita masih satu bangsa. Kita harus maju dan sejahtera bersama. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar