Resistensi
Kawasan Timur Indonesia
Rudy Rahabeat ; Mahasiswa
Program S-2 Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 06 September 2014
Beberapa hari lalu, Ikatan Mahasiswa Indonesia
Timur yang sedang berstudi di Universitas Indonesia (UI) menggelar dialog
publik yang menghadirkan pembicara, di antaranya Profesor Bambang Shergi
Leksmono selaku mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UI).
Ada suatu keinginan kuat membangun sumber daya
manusia (SDM) di kawasan timur Indonesia agar semakin cerdas dan mampu
bersaing di kancah nasional maupun internasional.
Fakta membuktikan, bukan saja pada era Orde
Baru kawasan Indonesia timur terpuruk, bahkan pada era Reformasi sekalipun,
perhatian bagi Indonesia timur sesungguhnya belum mampu membuat kawasan ini
berkembang pesat.
Ada tanda-tanda perhatian pemerintah pusat
kepada daerah-daerah tertinggal sehingga dibentuk sebuah kementerian khusus
yang menangani daerah tersebut, tetapi fakta membuktikan, laju pertumbuhan
daerah-daerah di kawasan Indonesia timur tetap tertinggal.
Menarik mengikuti cara pandang para pembicara
dalam diskusi publik yang disinggung di atas. Ada yang menekankan pentingnya
kesungguhan warga masyarakat di Indonesia timur untuk berjuang dan
berkompetisi agar semakin maju.
Sebagai contoh dalam dunia perguruan tinggi,
jika ingin masuk universitas-universitas ternama di republik ini, orang-orang
Indonesia timur harus berusaha semaksimal mungkin agar dapat lolos tes masuk.
Ajakan ini kedengarannya bagus dan heroik, namun apakah benar semuanya?
Sebuah pertanyaan sederhana dapat diajukan,
apakah (calon) mahasiswa di Indonesia timur dapat bersaing dengan
rekan-rekannya di Indonesia barat yang dari segi fasilitas dan lingkungan
belajarnya boleh dikata sangat menunjang?
Jika kriteria yang sama dipakai menguji para
(calon) mahasiswa dari Indonesia timur dan Indonesia barat, apakah itu sesuai
asas-asas demokrasi, seperti keadilan sebagai salah satu pilar demokrasi yang
sejati?
Terhadap hal ini, saya teringat teori Jhon
Rawls tentang keadilan (theory of
justice). Menurutnya, dalam masyarakat demokratis, aspek keadilan sangat
diperlukan. Hal ini demi menjaga dominasi kuasa tertentu, utamanya di pasar.
Jika keadilan tidak ditegakkan, kelompok yang
kecil dan lemah pasti semakin terpuruk. Sebagai contoh, apakah adil jika Myke
Tyson disuruh bertanding dengan Elyas Pical atau timnas sepak bola Jerman
bertanding dengan timnas Indonesia? Di mana aspek keadilan dalam pertandingan
tersebut?
Pendapat seperti ini jika dirujuk kembali
kepada diskusi tentang kompetisi SDM di kawasan Indonesia timur bukan hendak
membenarkan sikap pasrah, asal-asalan, dan seadanya bagi orang-orang di
Indonesia timur untuk terus berjuang demi meningkatkan kualitas diri. Hal
yang hendak dikatakan, ada kesenjangan yang lebar antara kawasan Indonesia
timur dan Indonesia barat.
Untuk menjembataninya, perlu dibuat kebijakan
dan program khusus agar distribusi keadilan dapat dirasakan segenap warga
bangsa. Bukankah salah satu pemicu protes bahkan resistensi sebagian warga
bangsa di kawasan timur di Indonesia (utamanya Papua) adalah karena merasa
diperlakukan tidak adil oleh bangsanya?
Bukan rahasia umum jika hingga saat ini
diskusi tentang pentingnya kebijakan berbasis wawasan multikulturalisme
merupakan solusi bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Paradigma dan rezim
sentralisme sudah terbukti tidak relevan di republik ini.
Wawasan multikulturalisme yang dimaksud
mencakup semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Jika semua warga negara
tidak diberi keadilan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas, patut
dipertanyakan apakah kita masih menjadi bagian dari sebuah bangsa yang
disebut Indonesia? Apakah rasa solidaritas kebangsaan ini masih ada ataukah
telah sirna?
Ini sebuah pertanyaan fundamental di tengah
pergulatan bangsa yang tetap menjadikan nasionalisme (paham kebangsaan)
sebagai pengikat solidaritas masyarakat yang terbentang dari timur hingga
barat dalam sebuah teritori politik yang bernama Indonesia.
Ben Anderson pernah berkata, Indonesia adalah
komunitas terbayang (imagined community).
Namun, perkataan yang bernada kritis dan sinis itu tentu masih dapat
ditangkis jika aspek keadilan dan solidaritas sosial terus dipupuk dan
dirawat.
Dalam momentum pemerintahan yang baru
Jokowi-JK, kita berharap ada kebijakan-kebijakan khusus yang berkelanjutan
guna membangun kawasan Indonesia timur. Salah satu pesan kampanye Jokowi-JK
soal membangun Indonesia dari laut (maritim) dapat menjadi momentum baik bagi
masyarakat di Indonesia timur yang sebagian besar memiliki wilayah laut yang
luas.
Akankah perjuangan untuk adanya legitimasi
bagi provinsi-provinsi kepulauan akan ditopang pemerintahan yang baru?
Bagaimana pemerataan pembangunan dan distribusi keadilan terus terjadi di
kawasan timur Indonesia?
Tentu saja, ketika berbicara tentang
percepatan kawasan tertentu, sama sekali tidak mengabaikan kawasan lainnya.
Asumsi di balik kebijakan yang dimaksud adalah agar terjadi keseimbangan.
Pihak yang kuat membantu yang lemah. Itulah
solidaritas kebangsaan. Jika yang kuat tetap kuat dan yang yang lemah tetap
lemah bahkan dilemahkan, itulah tregedi kebangsaan.
Kompetisi ala pasar bebas kedengarannya hebat,
tetapi sesungguhnya menyimpan racun mematikan. Kompetisi yang tidak dilandasi
keadilan hanya tipuan ideologi kapitalisme yang ujungnya dominasi pemilik
modal semata, entah itu modal ekonomi, politik, budaya, intelektual, dan
sebagainya.
Penyongsongan pemerintahan Indonesia yang
baru—termasuk berbagai kebijakan regional dan global, seperti Pasar Bebas
Asia 2015—perlu disiasati dengan peneguhan kembali solidaritas kebangsaan,
perumusan kebijakan yang adil, kepemimpinan yang kuat dan solider dengan kaum
lemah, serta proteksi terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang bisa tergerus
ketika berhadapan dengan budaya asing.
Para mahasiswa, akademikus, cendekiawan,
politikus, birokrat, aktivis lembaga masyarakat sipil, tokoh agama dan tokoh
sosial budaya, seniman, petani, nelayan, buruh, serta seluruh komponen
masyarakat di Indonesia timur (dan barat) harus bersatu, bahu-membahu
melakukan “resistensi” untuk mengingatkan bangsa Indonesia bahwa kita masih
satu bangsa. Kita harus maju dan sejahtera bersama. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar