Minggu, 07 September 2014

Nasionalisme dan Teknologi 2.0

Nasionalisme dan Teknologi 2.0

M Fauzi Sukri  ;   Pemerhati Masalah Sosial Politik
REPUBLIKA, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di Youtube, seorang yang di akhir namanya memakai sebutan yang diarab-arabkan 'al-Indonesi' menggemparkan politik Indonesia. Dengan memegang kertas putih yang tampak sesekali dilihatnya, dengan berbaju hitam dan beserban hitam, dengan landasan tauhid yang diyakininya tanpa keraguan secuil pun, dan didampingi oleh beberapa orang bersenjata senapan serbu, Abu Muhammad al-Indonesi mengajak warga (Islam) Indonesia untuk bergabung ke dalam Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau yang kemudian menjadi Negara Islam (IS).

Semua yang dilakukan oleh Abu Muhammad al-Indonesi ini atau orang-orang yang ada di sampingnya atau kelompok-kelompok serupa, di mungkinkan oleh kehadiran dan kemampuan teknologi web digital 2.0 (internet). ISIS memang ditolak hampir semua organisasi keagamaan di Indonesia dan Pemerintah Indonesia sudah melarangnya.

Namun, tampaknya semua hal ini tidak bakal menghilangkan ISIS dari kehidupan masyarakat Indonesia yang tersebar di dunia internet dengan bebas.

Sampai saat ini, kita masih bisa mendapatkan informasi, ajakan, dan berbagai hal tentang ISIS tanpa bisa dihalangi, termasuk oleh otoritas pemerintah.

Kalau kita melihat secara retrospektif ke masa awal perkembangan nasionalisme, sebagaimana dikatakan pakar politik gagasan nasionalisme Ben Anderson, kita juga disuguhi perkembangan teknologi komunikasi mutakhir: teknologi cetak dan moda transportasi modern yang memungkinkan perpindahan manusia dan pergerakan gagasan nasionalisme.

Teknologi cetak memungkinkan terstandardisasi bahasa tulis, produksi buku dan surat kabar, dan membentuk satu wilayah komunitas politik. "Keterkaitan esensial dari transportasi jarak jauh dan komunikasi kapitalis-cetak memberikan dasar bagi perkembangan pergerakanpergerakan nasionalisme pertama pada akhir abad ke-18," kata Ben Anderson (2002: 110).

Pada 1990-an, teknologi komputer dan internet, masih menurut Ben Anderson, menghasilkan "nasionalisme jarak jauh" (long distance nationalism). Mereka "membangun sirkuit informasi komputer antar benua" melalui e-mail atau mailing list atau situs internet atau web content yang pada akhirnya memperkuat politikiden titas mereka. Mereka melakukan kerja politik etnisisasi dalam satu negara-bangsa.

Dalam beberapa kasus, mereka bisa mengirim uang untuk tujuan politik, membeli senjata perang, atau diplomasi politik internasional sebagai bentuk perjuangan nasionalisme berbasis etnis atau ras. Nasionalisme jarak jauh ini, seperti dikatakan Ben Anderson (2002), mampu "menciptakan sebuah politik yang serius yang pada saat yang sama tidak dapat di perhitungkan secara pasti". Para aktornya sering tidak bisa dikenai sistem hukum negara tempat mereka tinggal hidup, tidak perlu takut pada penjara, siksaan, atau kematian sebagaimana dialami oleh para pejuang nasionalisme pada awal abad lalu.

Pergolakan politik di Aceh dan Timor Timur beberapa tahun lalu, atau barang kali di Papua saat ini, sedikit banyak kegagalan dan keberhasilannya dipengaruhi oleh nasionalisme jarak-jauh dengan bantuan teknologi internet. Begitu juga, salah satu penyebab keruntuhan Soeharto, sedikit banyak juga disebab kan oleh kemampuan dan keampuhan teknologi internet yang digunakan oleh kelompok aktivis prodemokrasi.

Dan saat ini, seperti kelompok Abu Muhammad al-Indonesi di Indonesia, yang muncul pada abad XXI ini adalah semacam ultranasionalisme berbasis agama yang tampaknya bakal memiliki napas lebih panjang daripada nasionalisme berbasis ethnos tahun 1990-an yang sekarang sudah hampir tidak terdengar lagi. Mereka sangat sadar terhadap penting dan pengaruh teknologi mutakhir.

Internet yang mereka gunakan bukan hanya teknologi cetak termutakhir yang bisa dibilang tanpa batas, tapi juga secara bersamaan mampu menjadi teknologi penyebaran yang masif tiada henti. Video itu bisa menjadi semacam virus yang terus berpindah, bermutasi, dan bergerak terus menghampiri manusia.

Ini bukan teknologi cetak biasa yang digunakan para nasionalis awal pada abad ke-18, tapi teknologi yang juga mengikutsertakan masyarakat banyak menjadi penyebar sekaligus, dengan relatif sangat aman terhadap ancaman dan hukuman dari otoritas satu negara.
Teknologi web 2.0 mampu menjadi pencetak dan penyebar, layaknya sistem multilevel marketing yang canggih. Inilah yang sangat disadari oleh kelompok Abu Muhammad al-Indonesi.

Teknologi internet sudah sedemikian baik digunakan oleh kelompok Abu Muhammad al-Indonesi atau kelompok serupa. Teknologi 2.0 memang mampu melewati batas-batas geografis nasionalitas, tapi masih belum mampu meruntuhkan batas nasionalitas secara politis.

Kesatuan administrasi politik dan batas-batas kedaulatan teritorial negara masih belum tertembus, kecuali dengan perang di Irak atau Suriah. Inilah salah satu yang masih menggagalkan gerak Abu Muhammad al-Indonesi atau kelom pok serupa, tapi barang kali mereka akan menganggap ini sebagai tantangan.

Maka, secara politis Indonesia tidak perlu risau, tapi jangan pernah mengabaikan kemampuan dan keampuhan teknologi 2.0, sebagaimana teknologi cetak tidak pernah disadari dan diprediksi oleh kaum kolonialis bakal menggusur kekuasaan mereka yang sudah bertahun-tahun dibangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar