Minggu, 07 September 2014

Batas Garis Keras

Batas Garis Keras

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Universitas Utara Malaysia
KORAN TEMPO, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kami mudik di luar waktu arus utama. Ketika banyak orang memilih menjelang perayaan hari besar, kami justru menikmatinya pada waktu yang tak merayakan apa-apa selain mengunjungi keluarga.

Hanya, setelah tak lama mereguk udara kampung halaman, saya merasa aneh dengan bapak dan adik-adik yang tak pergi ke surau terdekat. Ketika ditanya, jawabannya pendek, "Cinkrang"! Lema terakhir adalah sebutan bagi celana yang berada di atas lutut yang dipilih oleh kaum Salafi untuk meneladani cara berpakaian Nabi secara murni.

Benar! Ternyata surau telah diambil alih oleh kaum Salafi, yang berjenggot, berjubah putih, bersorban, dan menolak pujian menjelang sembayang berjemaah. Tiba-tiba, pesona langgar raib. Padahal, sebelum pindah ke rumah baru ini, kami tinggal di sebuah kampung transisi, Kenayan, Yogyakarta, yang ramah dengan bacaan salawat dan terjemahannya dalam bahasa Jawa. Salah seorang jemaah yang membawakan pujian dengan logat lokal dan Arab tak fasih justru hadir jauh emosional. Malah, kami lebih mudah akrab. Sedangkan di kampung baru, perasaan asing menyergap, meskipun ada satu-dua orang yang mencoba bertukar sapa.

Untungnya, di sela-sela menanti subuh, pujian masih terdengar sayup-sayup dari surau lain terdekat di dusun yang sama. Syahdan, langgar tersebut dulu dimakmurkan oleh orang kampung yang merawat tradisi dengan menikmati pujian dan barzanji. Malah, ia berdiri lewat sumbangan warga yang tak terkait dengan aliran tertentu. Malangnya, setelah dikelola oleh kaum Salafi, rumah Tuhan ini tak ramah dengan kebiasaan lama. Amalan apa pun yang tak sejalan dengan keyakinan mereka diberangus.

Betapapun kepengurusan takmir berada di tangan mereka, segelintir warga sekitar masih rela datang. Seorang lelaki tua dengan songkok hitam, baju batik, dan sarung tak hirau dengan pesona budaya Arab. Ia hadir dengan keluguannya. Sementara itu, salah seorang jamaah pemurnian tak hanya mengenakan jubah untuk dirinya, bahkan anak kecilnya yang masih di bawah lima tahun pun telah berkain dan bersongkok layaknya anak dari keluarga Saudi. Betapa magisnya sehelai baju bagi pengikut Salafi!

Di tengah kerisauan ideologi keras menerabas batas, ada fenomena unik. Salah seorang dari mereka membuka suara tentang pekerjaannya selepas menunaikan salat magrib berjemaah. Betapapun ia adalah tipikal Salafi, istrinya membawa diri seperti jiran dusun yang lain: berkepala terbuka dan hanya bergaun biasa, daster. Malah, sekali waktu, seorang perempuan bercadar terlihat mengendarai sepeda motor dengan cukup laju di jalan beraspal tak jauh dari rumah, Ngaglik, Sleman. Aha!

Pemandangan serupa tak ada di negeri asal Salafi, Arab Saudi. Namun, warga lokal punya cara tersendiri untuk melawan gerakan pemurnian. Mereka tak datang ke surau dan, kalaupun segelintir yang lain berjemaah, mereka hadir dengan kearifan sendiri, yakni bersongkok hitam dan berbatik. Malah sebagian lain hanya berkaos dan bercelana jins. Sementara itu, pada hari Jumat, para pelajar masih berseragam sekolah saat menunaikan kewajiban. Rakyat setempat pun tak terganggu dengan banyaknya orang luar yang beraliran Wahabi mendatangi masjid mereka, karena batas telah kukuh bahwa di sana orang ramai mesti menerima perbedaan dan berbagi. Kalau tidak, siapa pun harus pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar