Batas
Garis Keras
Ahmad Sahidah ; Dosen
Universitas Utara Malaysia
|
KORAN
TEMPO, 06 September 2014
Kami mudik di luar waktu arus utama. Ketika
banyak orang memilih menjelang perayaan hari besar, kami justru menikmatinya
pada waktu yang tak merayakan apa-apa selain mengunjungi keluarga.
Hanya, setelah tak lama mereguk udara kampung
halaman, saya merasa aneh dengan bapak dan adik-adik yang tak pergi ke surau
terdekat. Ketika ditanya, jawabannya pendek, "Cinkrang"! Lema terakhir adalah sebutan bagi celana
yang berada di atas lutut yang dipilih oleh kaum Salafi untuk meneladani cara
berpakaian Nabi secara murni.
Benar! Ternyata surau telah diambil alih oleh
kaum Salafi, yang berjenggot, berjubah putih, bersorban, dan menolak pujian
menjelang sembayang berjemaah. Tiba-tiba, pesona langgar raib. Padahal,
sebelum pindah ke rumah baru ini, kami tinggal di sebuah kampung transisi,
Kenayan, Yogyakarta, yang ramah dengan bacaan salawat dan terjemahannya dalam
bahasa Jawa. Salah seorang jemaah yang membawakan pujian dengan logat lokal
dan Arab tak fasih justru hadir jauh emosional. Malah, kami lebih mudah
akrab. Sedangkan di kampung baru, perasaan asing menyergap, meskipun ada
satu-dua orang yang mencoba bertukar sapa.
Untungnya, di sela-sela menanti subuh, pujian
masih terdengar sayup-sayup dari surau lain terdekat di dusun yang sama.
Syahdan, langgar tersebut dulu dimakmurkan oleh orang kampung yang merawat
tradisi dengan menikmati pujian dan barzanji. Malah, ia berdiri lewat
sumbangan warga yang tak terkait dengan aliran tertentu. Malangnya, setelah
dikelola oleh kaum Salafi, rumah Tuhan ini tak ramah dengan kebiasaan lama.
Amalan apa pun yang tak sejalan dengan keyakinan mereka diberangus.
Betapapun kepengurusan takmir berada di tangan
mereka, segelintir warga sekitar masih rela datang. Seorang lelaki tua dengan
songkok hitam, baju batik, dan sarung tak hirau dengan pesona budaya Arab. Ia
hadir dengan keluguannya. Sementara itu, salah seorang jamaah pemurnian tak
hanya mengenakan jubah untuk dirinya, bahkan anak kecilnya yang masih di
bawah lima tahun pun telah berkain dan bersongkok layaknya anak dari keluarga
Saudi. Betapa magisnya sehelai baju bagi pengikut Salafi!
Di tengah kerisauan ideologi keras menerabas
batas, ada fenomena unik. Salah seorang dari mereka membuka suara tentang
pekerjaannya selepas menunaikan salat magrib berjemaah. Betapapun ia adalah
tipikal Salafi, istrinya membawa diri seperti jiran dusun yang lain:
berkepala terbuka dan hanya bergaun biasa, daster. Malah, sekali waktu, seorang perempuan
bercadar terlihat mengendarai sepeda motor dengan cukup laju di jalan
beraspal
tak jauh dari rumah, Ngaglik, Sleman. Aha!
Pemandangan serupa tak ada di negeri asal
Salafi, Arab Saudi. Namun, warga lokal punya cara tersendiri untuk melawan gerakan
pemurnian. Mereka tak datang ke surau dan, kalaupun segelintir yang lain
berjemaah, mereka hadir dengan kearifan sendiri, yakni bersongkok hitam dan
berbatik. Malah sebagian lain hanya berkaos dan bercelana jins. Sementara
itu, pada hari Jumat, para pelajar masih berseragam sekolah saat menunaikan
kewajiban. Rakyat setempat pun tak terganggu dengan banyaknya orang luar yang
beraliran Wahabi mendatangi masjid mereka, karena batas telah kukuh bahwa di
sana orang ramai mesti menerima perbedaan dan berbagi. Kalau tidak, siapa pun
harus pergi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar