Kembali
ke Khitah Pers Profesional
Agus Sudibyo ; Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 06 September 2014
Pemilihan presiden 9 Juli 2014 benar-benar
telah menguji kredibilitas pers Indonesia. Muncul penilaian umum bahwa pers
menjadi bagian dari masalah. Pers dianggap turut memperkeruh suasana politik
meskipun harus diakui tetap ada media yang bersikap hati-hati dan
proporsional. Karena itulah, ketika pemilihan presiden telah selesai, kini
tiba saatnya untuk mengingatkan seluruh komunitas pers Indonesia tentang
pentingnya mengembalikan khitah pers profesional sebagai pilar keempat
demokrasi.
Dalam tatanan demokrasi modern, fungsi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dilengkapi dan dikontrol oleh pers
yang bebas dan profesional. Meskipun berada di luar sistem politik formal,
pers dianggap sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengontrol
jalannya kekuasaan. Pers adalah peniup peluit jika muncul indikasi
pelanggaran atau kecurangan dalam penyelenggaraan kekuasaan di semua lini dan
level pemerintahan. Demokrasi akan maju jika pers bebas menjalankan
fungsinya. Sebaliknya, pers juga harus senantiasa menjaga etika dan
profesionalismenya.
Mewujudkan komitmen tersebut pada saat ini
tentu bukan perkara yang mudah. Beban lebih berat justru ditanggung pers yang
telah mendukung atau bersimpati kepada pencalonan Jokowi. Kemenangan Jokowi
tidak lepas dari dukungan komunitas pers. Namun, begitu Jokowi menjadi
presiden, pers harus kembali menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tanpa
peduli siapa presidennya. Pers harus dapat menanggalkan simpati atau
preferensi pribadi kepada Jokowi. Lupakan gambaran Jokowi sebagai "wong
cilik" yang harus dibela! Begitu resmi menjadi presiden, Jokowi menjadi
bagian dari struktur kekuasaan yang harus diawasi.
Di sini posisi tim sukses dan pers perlu
dibedakan. Ketika Jokowi menjadi presiden, tim sukses tetap dapat
mendampinginya dengan menduduki jabatan strategis atau menjalankan
fungsi-fungsi ad hoc tertentu.
Namun, sebaliknya, pers yang bersimpati kepada Jokowi harus segera kembali
kepada posisinya sebagai pers profesional dan kritis terhadap kekuasaan.
Sistem demokrasi tak memberi tempat kepada pers yang partisan. Terjadi suatu
kemunduran serius jika lima tahun ke depan ada pers yang terus-menerus dan
tanpa reserve membela presidennya.
Yang dibutuhkan adalah pers yang mampu bersikap proporsional, kritis, dan
menjaga etika. Tranformasi dari pendukung calon presiden Jokowi menjadi
pengontrol Presiden Jokowi inilah uji kedewasaan dan kematangan berikutnya
yang harus dilalui pers Indonesia pada umumnya.
Di sisi sebaliknya, perlu ditegaskan bahwa
media massa dan wartawan yang selama ini mendukung Prabowo Subianto tidak
perlu menghilangkan sikap kritis kepada Jokowi. Publik justru akan
menertawakan mereka jika tiba-tiba berubah jadi memuji-muji Jokowi. Yang
harus dihilangkan dari diri mereka adalah kecenderungan menuduh tanpa dasar,
menghakimi, dan memfitnah. Yang mutlak harus ditambahkan dalam kinerja mereka
adalah disiplin verifikasi dan asas praduga tak bersalah. Sikap kritis dan
skeptis terhadap Jokowi justru harus tetap dipertahankan.
Bagaimana dengan Jokowi sendiri? Jokowi perlu
menyadari bahwa "bulan madu" dengan pers telah selesai begitu dia
resmi menjadi presiden. Selanjutnya, Jokowi harus siap mental menjadi sasaran
kritik pers, tak terkecuali pers yang telah mendukung pencalonannya. Dalam
hal ini, Jokowi perlu belajar dari Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Sebagai gubernur, Ali Sadikin sulit percaya kepada para bawahannya yang
selalu datang dengan laporan bertipe "asal
bapak senang".
Laporan itu selalu menyatakan penyelenggaraan
pemerintahan berjalan baik, meskipun kenyataannya sarat kekurangan dan
pelanggaran. Dalam mengevaluasi kinerja pemerintahannya, Ali Sadikin kemudian
lebih mengandalkan pemberitaan pers atau kritik lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Dia tidak alergi terhadap kritik pedas media atau LSM, bahkan menggunakannya
sebagai "audit-gratis"
kinerja pemerintahan. Dia tidak perlu menyewa auditor swasta, cukup dengan
menyimak kritik media dan LSM yang, meskipun tidak seratus persen benar,
tetap dapat digunakan sebagai tolok ukur.
Namun, sebaliknya, Bang Ali tak ragu-ragu
memperkarakan kritik yang serampangan atau menghakimi. Ali Sadikin sangat tegas terhadap media atau LSM yang
asal tuduh. Sikap yang demikian ini patut
menjadi rujukan Jokowi-Jusuf Kalla. Ambil sisi positif pemberitaan media
sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintah dan jangan ragu-ragu mempersoalkan
pemberitaan yang dianggap berlebihan dengan memanfaatkan otoritas Dewan Pers,
Komisi Pemilihan Indonesia, bahkan penegak hukum sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Pers. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar