Jumat, 05 September 2014

Petani dan Jokowi-JK

Petani dan Jokowi-JK

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
MEDIA INDONESIA, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BEBAN yang dipikul sektor pertanian kian berat. Di satu sisi, sektor ini menampung lebih sepertiga tenaga kerja. Di sisi lain, selama bertahun-tahun sektor ini tumbuh rendah, sekitar setengah rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor manufaktur yang digadang-gadang menyerap banyak tenaga kerja jauh panggang dari api. Akibat surplus tenaga kerja, kemiskinan menumpuk di sektor pertanian. BPS mencatat, dari total jumlah penduduk miskin 28,28 juta orang pada Maret 2014, sekitar 63% tinggal di desa yang sebagian besar petani.

Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 yang dirilis BPS, 1 Juli lalu, mencatat pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rerata hanya Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan. Logis bila sektor pertanian tidak menarik buat tenaga kerja terdidik, terutama kaum muda. Menurut Sensus Pertanian 2013, lebih sepertiga pekerja sektor pertanian berusia di atas 54 tahun. Sektor pertanian terancam mengidap gerontrokrasi.

Selama reformasi, sektor pertanian dipinggirkan. Politik pembangunan dan anggaran menjauh dari pertanian. Pertanian dinilai tidak lagi penting. Padahal, sejarah negara-negara maju seperti AS dan Jepang mengajarkan tak ada negara yang ekonominya maju dan stabil tanpa ditopang pertanian. Meskipun ekonomi mereka sudah tidak bergantung pada pertanian, tidak sertamerta pertanian ditinggalkan. Justru pertanian diperkuat dengan aneka perundangan. Ini terjadi karena pertanian ditempatkan sebagai persoalan bangsa-negara.

Presiden-wakil presiden terpilih, Jokowi-JK, berjanji menempatkan pertanian pada posisi penting. Dalam visi, misi, dan program aksi mereka, Jokowi-JK menguraikan sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha, membangun irigasi/embung, mencetak 1 juta lahan baru, mendirikan bank pertanian, dan mendorong industri pengolahan. Akankah sektor pertanian kembali ditempatkan sebagai persoalan bangsa-negara? Di sinilah penting kehadiran seorang presiden propetani.

Sejarah mencatat ada sejumlah presiden yang propetani. Pertama, Abraham Lincoln. Presiden ke-16 Amerika Serikat itu jadi pemersatu Amerika. Ia membebaskan perbudakan di AS pada 1863. Bekas petani ini menilai pertanian menempati posisi yang khusus. Di hadapan Wisconsin State Agricultural Society, 30 September 1859, ia mengatakan, “Agricultural fairs are becoming an institutions of the country. They are useful in more ways than more. They bring us together, and thereby make us better acquinted and better friends than we otherwise would be.”

Tidak seperti sektor lain, bagi Lincoln, tidak ada proses produksi yang secanggih sektor pertanian: padat ilmu dan teknologi, mulai awal sampai akhir. Lincoln memberi pelajaran pentingnya pertanian diurus di atas landasan hukum yang kuat. Pada 20 Mei 1862, ia menciptakan Homestead Act 1862, yang memberikan lahan 160 acre atau 65 ha per kaveling untuk petani. Homestead Act dipandang sebagai simbol demokrasi AS karena merombak struktur sosial warga. Per acre lahan dibayar US$1,25. Dana itu dipakai untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Atlantik dan Pasifik. Di tahun yang sama, Lincoln melahirkan Morrill Land Grant College Act 1862. UU ini melandasi berdirinya universitas-universitas yang awalnya berbasis pertanian. Keberadaan perguruan tinggi di tiap negara bagian adalah hasil Morril Act. Dengan dua UU itu Lincoln memberi modal tanah dan otak buat petani/pertanian (Pakpahan, 2012).

Kedua, Presiden AS Franklin D Rooselvelt (FDR). Ia mewarisi depresi ekonomi di awal 1930an akibat Wall Street rontok. Pengangguran membengkak, puluhan ribu perusahaan dan bank tutup, puluhan ribu orang bunuh diri, dan petani sengsara. Ia menawarkan agenda New Deal. Untuk melindungi petani, ia menciptakan 
Agriculture Adjustment Act (AAA) 1933. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan pertanian dari guncangan depresi ekonomi, terutama harga komoditas pertanian yang sangat rendah.AAA jadi dasar perbaikan harga. Caranya, antara lain, petani dibayar untuk membatasi areal pertaniannya dan pemerintah membeli hasil peternakan.

Kemudian ia menciptakan Commodity Credit Corporation (CCC) pada 1933. Harga-harga komoditas pertanian kembali merayap naik. Pada 1933-1937, harga komoditas pertanian meningkat dua kali lipat. Pada 1936 Mahkamah Agung AS menyatakan AAA ilegal. Meski begitu, FDR tak surut langkah.Ia teguh dengan pendirian dan usahanya mengangkat harkat dan derajat the forgotten men, istilah FDR untuk para petani, buruh dan orang kecil lainnya di satu pihak, dan menyelesaikan masalah makro secara keseluruhan. Kini, luas lahan per petani di AS sekitar 200 ha atau tiga kali luas lahan saat Homestead Act. Meski belum sembuh dari krisis keuangan, AS tetap negara adidaya, terutama di bidang pertanian (Pakpahan, 2004). Bahkan AS merupakan negara terkuat di bidang pertanian meski jumlah petaninya hanya 2%.

Ketiga, Presiden Taiwan era 1980-an, Lee Teng Hui. Ia seorang doktor ekonomi pertanian tangguh lulusan Cornell University, AS. Bagi dunia pertanian, Lee dikenang karena ia mampu memadukan pembangunan infrastruktur fisik dan regulasi di hampir seluruh kebijakan ekonomi yang diambilnya. Infrastruktur irigasi, listrik, air bersih, jalan, jembatan dan telekomunikasi jadi penghubung aktivitas ekonomi yang efisien. Secara khusus, ia meletakkan sektor pertanian sebagai basis ekonomi.

Selain menyederhanakan prosedur pajak, Lee memberi akses yang seimbang pada pelaku UKM terhadap sumber pendanaan (perbankan dan nonbank), juga memangkas pungli. Usaha besar, terutama di bidang pertanian, terkait erat pada UKM, baik dalam pasokan bakan baku maupun dalam kelancaran arus distribusi barang dan jasa. Teknologi yang dibangun tidak asal high tech, tapi didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif Taiwan. Lee berhasil mentransformasi ekonomi Taiwan secara mulus: dari berbasis pertanian ke industri yang tangguh. 
Kini, Taiwan bersama Hong Kong, Korea Selatan, dan Singapura jadi Asian Four Tigers. Lee jadi contoh yang baik dalam hal transformasi ekonomi.

Belajar dari tiga presiden propetani di atas, untuk kasus Indonesia, seorang presiden (terpilih) bisa disebut propetani apabila mau dan mampu melakukan tiga hal berikut. Pertama, merombak struktur sosial warisan kolonialisme. Distribusi dan penguasaan sumber daya agraria (lahan) makin timpang. Ini berujung pada konflik agraria yang akut, kemiskinan perdesaan, dan terbatasnya lapangan pekerjaan perdesaan. Tidak cukup melakukan reformasi agraria, presiden terpilih juga harus mengidentifikasi, menginventarisasi, dan merevisi peraturan perundangan yang masih mengakar/bersumber/berjiwa pada kolonialisme dan feodalisme.

Kedua, membuat UU perlindungan petani (setara AAA). UU No 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani yang ada jauh dari memadai.Usaha pertanian berisiko besar.Ketika terjadi bencana alam, hama, dan penyakit, negara harus menjamin petani tidak menderita. Lewat UU ini negara perlu menjamin bahwa struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik dalam negeri maupun internasional, merupakan struktur pasar yang adil. Selain itu, semua hal yang menambah biaya eksternal bagi petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian, perlu adanya landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani dapat dilaksanakan sebagai kewajiban dari negara.

Ketiga, UU restrukturisasi industri. Pertanian harus dijadikan basis ekonomi dan batu pijak pengembangan industri. Sejarah industrialisasi di Indonesia adalah industri yang memeras petani. Industrialisi justru menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Pembangunan ekonomi lebih menguntungkan sektor industri/perkotaan. Implikasinya, industrialisasi menyebabkan ketimpangan yang lebar antara sektor pertanian dan industri atau juga meningkatnya ketimpangan wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan. Melalui UU ini, Jokowi-JK harus mendorong berkembangnya industri yang berbasiskan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar