Jumat, 05 September 2014

Kepemimpinan Baru

Kepemimpinan Baru

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SIAPA yang harus menjadi pemimpin? Pertanyaan ontologis itu sudah banyak didedah bukan saja oleh kaum agamawan, melainkan juga oleh para filsuf. Jawaban yang dikedepankan tidak hanya berwatak teoretis, tidak sedikit yang berangkat dari pengalaman praksis, bahkan banyak juga yang utopis, termasuk di dalamnya kepercayaan universal yang menautkan kepemimpinan pada sosok mesianistik ‘ratu adil’.

Yang berhak menjadi pemimpin sebut saja ialah mereka yang punya pengetahuan mendalam, dapat menangkap yang terungkap di permukaan sekaligus punya kemampuan menyimak yang ada di dalam, pengetahuan esensial dan yang eksidental dapat diterka (Plato). Kaum aristokrat yang keluar sebagai manusia pilihan dan tercerahkan di tengah masyarakatnya (Aristoteles). Memiliki kecerdikan selincah kancil dan kalau bisa, dapat ‘mengelabui’ dengan sempurna tatapan manusia biasa, berperangai seganas serigala (Machiavelli). Menyatu dengan pengalaman dialektis dan keringat massa (Marx).

Yang lainnya menerakan bahwa pemimpin itu khitahnya mesti berjangkar pada kekuatan moralitas (Immanuel Kant). Cermat memberikan ruang bagi tumbuhnya demokrasi deliberatif dengan mengembangkan argumentasi diskursif rakyatnya (Habermas). Memiliki kemampuan untuk meme ngaruhi dan membujuk orang lain (incuding) (Edwin A Locke). Stephen R Copey menyebutnya dalam empat hal yang harus dimiliki pemimpin: pathfinding (perintis jalan), aligning (penyelaras langkah), empowerment (pemberdaya), dan modeling (menjadi suri teladan).

Kalau mengambil kriteria agama dan kearifan lokal, akan muncullah prasyarat itu berupa sikap diri yang selalu menjunjung tinggi kejujuran, transparansi, kecerdasan, dan amanah (Muhammad SAW). Kepercayaan mencantumkan kepemimpinan dalam kualitas batin seseorang seperti tampak dalam sekian peribahasa dan atau literasi risalah serat masa silam yang terwariskan.

Sebut saja dalam Serat Sastra Gendhing atau Astabratha yang mensyaratkan kemampuan menegakkan keadilan dalam sosok seorang pemimpin yang dilambangkan dalam kearifan alam yang penuh simbol, yakni bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika. Ketika ditarik dalam etika publik dirumuskan dalam ungkapan semacam jer basuki mawa beya; rawe-rawe rantas, malang-malang putung; dan tut wuri handayani.

Sekian firman Tuhan, misalnya dalam Quran, meletakkan kepemimpinan itu tak ubahnya dalam filsafat Yunani pada kekuatan nalar dan otoritas yang dibilang Ibnu Taimiyyah dalam diksi al-`ilm dan al-quwwat itu. Kita simak semisal hikayat Thalut, `Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-`ilm wa al-jism)' (QS Al-Baqarah: 247); Yusuf, `Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya kebijaksanaan dan `ilm' (QS Yusuf: 22); Dawud dan Sulaiman: `Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan kebijaksanaan dan `ilm' (QS Al-Anbiya': 79). `Dan sungguh Kami telah memberikan `ilm kepada Dawud dan Sulaiman' (QS Al-Naml: 15).

Konteks hari ini

Dalam konteks Indonesia hari ini, kita mendapatkan pemimpin baru yang berbeda secara diametral dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya, yaitu Jokowi (dan Jusuf Kalla). Sosok itu tidak lahir dari rahim kelompok elite atau latar orangtua ningrat, tapi manusia biasa dengan kehidupan yang sangat sederhana, dari lingkungan yang jauh dari kategori mewah.

Termasuk generasi pascareformasi. Tidak pernah memangku jabatan pada masa negara despotik Orde Baru dan apalagi zaman pergerakan. Meniti sebagai Wali Kota Surakarta, Gubernur Jakarta, dan kemudian diusung PDIP untuk RI-1 dipasangkan dengan seorang tua yang sudah berpengalaman dalam pemerintahan, H Jusuf Kalla.

Nyaris lima tahun yang lalu tidak ada yang mengenal nama Jokowi. Tentu melalu media massa dan cara kerja blusukan yang menjadi antitesis dari kepemimpinan sebelumnya.Jokowi dengan cepat melejit menjadi tokoh nasional yang dipercakapkan publik dan akhirnya mengalahkan caloncalon presiden yang telah lama malang melintang di dunia perpolitikan dan telah lama juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi demokrasi Pilpres 2014.

Jokowi datang tidak menjual `tubuh', tapi menawarkan `jiwa'.`Ada' 
kepemimpinannya tidak diletakkan pada pencitraan, ketampanan, dan pesona luaran, tapi lebih pada `kepolosan' dan kesediaannya menyatu dengan napas rakyat yang dalam hal ini dilambangkan dengan politik blusukan yang telah dilakukannya ketika menjadi wali kota dan gubernur, atau istilah Merleau-Ponty dalam Phenomenology of Perception, blusukan sebagai persentuhan diri dengan `dunia nyata' secara intim dan terlibat.

Transformasi blusukan

Tentu setelah menjadi presiden harus ada revitalisasi terhadap kinerja blusukan.Blusukan setelah menjadi presiden harus ditransformasikan menjadi lebih sistemis, masif, dan terstruktur. Pintu masuk transformasinya ialah strategi kebudayaan yang diacukan ke revolusi mental. Langkah operasionalnya, seperti diterakan Karlina Supelli, ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship), sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’ yang dilandaskan pada kebangsaan Indonesia bukan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan, atau budaya tertentu.

Kita sepakat revolusi mental inilah yang sangat dihajatkan negeri kepulauan hari ini. Pembenahan sumber daya manusia terutama sisi karakter, moralitas dan akhlak mulia. Dalam istilah Joko Widodo sendiri, “Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. 
Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.”

Revolusi belum selesai yang selalu didengungkan Bung Karno hakikatnya tidak berkaitan dengan fisik, tapi kepada absennya keutamaan budi. Nation and character building. Revolusi mental diandaikan menjadi revolusi jilid dua. Revolusi untuk melanjutkan cita-cita besar Bung Karno: mewujudkan negara berdikari secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Revolusi mental yang bisa menghentikan laju korupsi yang nyaris telah mengimpit kita, mengurai kesengkarutan birokrasi yang sudah rusak, melayani masyarakat dengan ikhlas sekaligus mempercepat negeri kepulauan ini sampai pada tujuan pendiriannya.Revolusi mental yang dalam praksisnya sudah seharusnya tidak banyak lagi diacukan pada pidato verbalistis penuh omong kosong dan kepurapuraan, tidak juga pada penataran berbusa-busa yang hanya menghabiskan anggaran negara, tapi langsung kepada jantung pokok keteladanan dari para pengelola kekuasaan.

Menitipkan harapan

Kepada pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla, mandat rakyat disematkan. Di tangan keduanya kedaulatan negeri ini dititipkan. Rakyat sudah sangat lama memimpikan kabinet yang dapat bekerja penuh kesungguhan, profesional, tidak rakus, dan hanya berkhidmat kepada kepentingan khalayak. Masyarakat sudah kenyang dengan segenap perilaku presiden dan wakil presiden yang terlampau sering bikin kebijakan hanya untuk mengejar politik pencitraan. Rakyat sudah muak dengan perilaku kaum birokrat yang alih-alih memberikan pelayanan prima, justru bertindak tak ubahnya kaum kolonial terhadap jajahannya.

Selamat bekerja. Tidak perlu memburu pujian, lakukan tindakan politik harian untuk selekasnya mewujudkan negara kesejahteraan dengan ikhlas maka rakyat akan berbaris di belakang Anda walaupun para petualang politik dan politikus hitam akan terus menghadang. Jangan sekali-kali mempermainkan sumpah jabat an apalagi menggeser sumpah menjadi sampah, murka rakyat lebih menyakitkan ketimbang taktik politisi yang licik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar