Kepemimpinan
Baru
Asep Salahudin ; Dekan
Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 04 September 2014
|
SIAPA yang harus
menjadi pemimpin? Pertanyaan ontologis itu sudah banyak didedah bukan saja
oleh kaum agamawan, melainkan juga oleh para filsuf. Jawaban yang dikedepankan
tidak hanya berwatak teoretis, tidak sedikit yang berangkat dari pengalaman
praksis, bahkan banyak juga yang utopis, termasuk di dalamnya kepercayaan
universal yang menautkan kepemimpinan pada sosok mesianistik ‘ratu adil’.
Yang berhak menjadi
pemimpin sebut saja ialah mereka yang punya pengetahuan mendalam, dapat
menangkap yang terungkap di permukaan sekaligus punya kemampuan menyimak yang
ada di dalam, pengetahuan esensial dan yang eksidental dapat diterka (Plato).
Kaum aristokrat yang keluar sebagai manusia pilihan dan tercerahkan di tengah
masyarakatnya (Aristoteles). Memiliki kecerdikan selincah kancil dan kalau
bisa, dapat ‘mengelabui’ dengan sempurna tatapan manusia biasa, berperangai
seganas serigala (Machiavelli). Menyatu dengan pengalaman dialektis dan
keringat massa (Marx).
Yang lainnya menerakan
bahwa pemimpin itu khitahnya mesti berjangkar pada kekuatan moralitas
(Immanuel Kant). Cermat memberikan ruang bagi tumbuhnya demokrasi deliberatif
dengan mengembangkan argumentasi diskursif rakyatnya (Habermas). Memiliki
kemampuan untuk meme ngaruhi dan membujuk orang lain (incuding) (Edwin A Locke). Stephen R Copey menyebutnya dalam
empat hal yang harus dimiliki pemimpin: pathfinding
(perintis jalan), aligning
(penyelaras langkah), empowerment
(pemberdaya), dan modeling (menjadi
suri teladan).
Kalau mengambil
kriteria agama dan kearifan lokal, akan muncullah prasyarat itu berupa sikap
diri yang selalu menjunjung tinggi kejujuran, transparansi, kecerdasan, dan
amanah (Muhammad SAW). Kepercayaan mencantumkan kepemimpinan dalam kualitas
batin seseorang seperti tampak dalam sekian peribahasa dan atau literasi
risalah serat masa silam yang terwariskan.
Sebut saja dalam Serat Sastra Gendhing atau Astabratha yang mensyaratkan kemampuan
menegakkan keadilan dalam sosok seorang pemimpin yang dilambangkan dalam
kearifan alam yang penuh simbol, yakni bumi, geni, banyu, bayu, langit,
surya, candra, dan kartika. Ketika ditarik dalam etika publik dirumuskan
dalam ungkapan semacam jer basuki mawa
beya; rawe-rawe rantas, malang-malang putung; dan tut wuri handayani.
Sekian firman Tuhan,
misalnya dalam Quran, meletakkan kepemimpinan itu tak ubahnya dalam filsafat
Yunani pada kekuatan nalar dan otoritas yang dibilang Ibnu Taimiyyah dalam
diksi al-`ilm dan al-quwwat itu.
Kita simak semisal hikayat Thalut, `Sesungguhnya
Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengaruniakan kepadanya
kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-`ilm wa al-jism)' (QS Al-Baqarah:
247); Yusuf, `Dan ketika dia (Yusuf)
telah dewasa, Kami memberikan kepadanya kebijaksanaan dan `ilm' (QS
Yusuf: 22); Dawud dan Sulaiman: `Maka
Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada
Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan
kebijaksanaan dan `ilm' (QS Al-Anbiya': 79). `Dan sungguh Kami telah memberikan `ilm kepada Dawud dan Sulaiman'
(QS Al-Naml: 15).
Konteks hari ini
Dalam konteks
Indonesia hari ini, kita mendapatkan pemimpin baru yang berbeda secara
diametral dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya, yaitu Jokowi (dan Jusuf
Kalla). Sosok itu tidak lahir dari rahim kelompok elite atau latar orangtua
ningrat, tapi manusia biasa dengan kehidupan yang sangat sederhana, dari
lingkungan yang jauh dari kategori mewah.
Termasuk generasi
pascareformasi. Tidak pernah memangku jabatan pada masa negara despotik Orde
Baru dan apalagi zaman pergerakan. Meniti sebagai Wali Kota Surakarta,
Gubernur Jakarta, dan kemudian diusung PDIP untuk RI-1 dipasangkan dengan
seorang tua yang sudah berpengalaman dalam pemerintahan, H Jusuf Kalla.
Nyaris lima tahun yang
lalu tidak ada yang mengenal nama Jokowi. Tentu melalu media massa dan cara
kerja blusukan yang menjadi antitesis dari kepemimpinan sebelumnya.Jokowi
dengan cepat melejit menjadi tokoh nasional yang dipercakapkan publik dan
akhirnya mengalahkan caloncalon presiden yang telah lama malang melintang di
dunia perpolitikan dan telah lama juga mempersiapkan diri untuk menghadapi
kontestasi demokrasi Pilpres 2014.
Jokowi datang tidak
menjual `tubuh', tapi menawarkan `jiwa'.`Ada'
kepemimpinannya tidak
diletakkan pada pencitraan, ketampanan, dan pesona luaran, tapi lebih pada
`kepolosan' dan kesediaannya menyatu dengan napas rakyat yang dalam hal ini
dilambangkan dengan politik blusukan yang telah dilakukannya ketika menjadi
wali kota dan gubernur, atau istilah Merleau-Ponty dalam Phenomenology of Perception, blusukan sebagai persentuhan diri
dengan `dunia nyata' secara intim dan terlibat.
Transformasi blusukan
Tentu setelah menjadi
presiden harus ada revitalisasi terhadap kinerja blusukan.Blusukan setelah
menjadi presiden harus ditransformasikan menjadi lebih sistemis, masif, dan
terstruktur. Pintu masuk transformasinya ialah strategi kebudayaan yang
diacukan ke revolusi mental. Langkah operasionalnya, seperti diterakan
Karlina Supelli, ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga
negara (citizenship), sejak dini
anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga
negara ini ‘menubuh’ yang dilandaskan pada kebangsaan Indonesia bukan
didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan, atau budaya tertentu.
Kita sepakat revolusi
mental inilah yang sangat dihajatkan negeri kepulauan hari ini. Pembenahan
sumber daya manusia terutama sisi karakter, moralitas dan akhlak mulia. Dalam
istilah Joko Widodo sendiri, “Nation
building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan
institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang
menjalankan sistem ini.
Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan,
selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tidak akan membawa
kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh salah
pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.”
Revolusi belum selesai
yang selalu didengungkan Bung Karno hakikatnya tidak berkaitan dengan fisik,
tapi kepada absennya keutamaan budi. Nation
and character building. Revolusi mental diandaikan menjadi revolusi jilid
dua. Revolusi untuk melanjutkan cita-cita besar Bung Karno: mewujudkan negara berdikari secara
ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Revolusi mental yang
bisa menghentikan laju korupsi yang nyaris telah mengimpit kita, mengurai
kesengkarutan birokrasi yang sudah rusak, melayani masyarakat dengan ikhlas
sekaligus mempercepat negeri kepulauan ini sampai pada tujuan
pendiriannya.Revolusi mental yang dalam praksisnya sudah seharusnya tidak
banyak lagi diacukan pada pidato verbalistis penuh omong kosong dan
kepurapuraan, tidak juga pada penataran berbusa-busa yang hanya menghabiskan
anggaran negara, tapi langsung kepada jantung pokok keteladanan dari para
pengelola kekuasaan.
Menitipkan harapan
Kepada pasangan Jokowi
dan Jusuf Kalla, mandat rakyat disematkan. Di tangan keduanya kedaulatan
negeri ini dititipkan. Rakyat sudah sangat lama memimpikan kabinet yang dapat
bekerja penuh kesungguhan, profesional, tidak rakus, dan hanya berkhidmat
kepada kepentingan khalayak. Masyarakat sudah kenyang dengan segenap perilaku
presiden dan wakil presiden yang terlampau sering bikin kebijakan hanya untuk
mengejar politik pencitraan. Rakyat sudah muak dengan perilaku kaum birokrat
yang alih-alih memberikan pelayanan prima, justru bertindak tak ubahnya kaum
kolonial terhadap jajahannya.
Selamat bekerja. Tidak
perlu memburu pujian, lakukan tindakan politik harian untuk selekasnya
mewujudkan negara kesejahteraan dengan ikhlas maka rakyat akan berbaris di
belakang Anda walaupun para petualang politik dan politikus hitam akan terus menghadang.
Jangan sekali-kali mempermainkan sumpah jabat an apalagi menggeser sumpah
menjadi sampah, murka rakyat lebih menyakitkan ketimbang taktik politisi yang
licik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar