Selamat
Pak JK!
Reza Indragiri Amriel ; Mantan
Ketua Delegasi Indonesia, Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia; Anggota
Asosiasi Psikologi Islami
|
SINAR
HARAPAN, 04 September 2014
Jusuf
Kalla (JK) adalah pusat perhatian Indonesia, bahkan dunia. Sebuah bunga
rampai berisikan komentar sekian banyak orang tentang the real president masih saya simpan rapi, apalagi di dalamnya
ada tanda tangan asli JK. Saya jadikan buku itu sebagai salah satu koleksi
yang akan diwariskan ke Menza, Vinza, Aza, dan Diza.
Di
sela halaman buku itu terselip selembar cue
card yang digunakan JK saat menjadi pembawa acara dalam Jalan Keluar di salah satu stasiun
televisi swasta. Aslinya, cue card
itu hanya selembar kertas yang bahkan dibiarkan tergeletak begitu saja di
atas meja di panggung. Tapi, beberapa masa dari sekarang, saya yakini kertas
yang sama akan menjadi sesuatu yang bersejarah.
Berkesempatan
duduk berhadapan dalam jet pribadi JK membuat saya tergugah melongok lebih
dalam isi hatinya. Jelas, sebutan "menyingsing
senja" tidak tepat disandarkan ke tokoh sekaliber JK. Dengan
semangatnya yang menyala-nyala, JK tetap berada pada usia menyingsingkan
lengan baju. Jangan anggap manusia lanjut usia (manula) menjadi serbatuna.
Dengan
pengetahuan plus kearifan yang dipunyai, JK memang masih layak mengadu
peruntungan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Saya mendaulatnya sebagai
negarawan. Bahkan satu dua jengkal lagi, saya akan menahbiskannya sebagai
Bapak Bangsa.
Ya,
kalau JK maju menjadi RI-1, saya akan dukung dia tanpa ragu. Tapi ketika JK
beradu kuat sebagai RI-2, saya terus terang merasa amat sangat gamang.
Semasa
berduet dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK tampak digdaya.
Hal yang paling memesona mata saya adalah ketika ia berhasil menghentikan
tragedi berdarah di Ambon, Poso, dan Aceh.
Terlebih
bagi orang-orang berusia—meminjam istilah Erik H Erikson—dewasa akhir,
melihat anak cucu hidup damai tenteram rasanya sudah segala-galanya. Begitu
pula ketika sesama anak bangsa rukun, mengesampingkan perbedaan, dan
berikhtiar keras mencari simpul-simpul yang menyatukan. Itulah kebahagiaan.
Dalam
konteks itulah saya berpandangan, Illahi
rabbi sudah menempatkan JK di posisi yang demikian spesial. Kubangan
darah dan belenggu kebencian dalam kurun tahunan antaranak di Ibu Pertiwi
bisa JK hentikan. Seluruh pihak yang bertikai bisa menerima JK.
Ia
ibarat pusat rotasi yang menarik semua energi yang awalnya tercerai-berai.
Setelah semua kekuatan ditarik, ia stabilkan semua itu. Hasilnya adalah
mandala: bentuk geometri simetris yang dibentuk peredaran energi-energi ke
level yang begitu harmonis.
Pascakeluar
dari istana wakil presiden (wapres), JK malah kian menjadi-jadi. Ia diangkat
sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), diberi amanah mengetuai Dewan
Masjid Indonesia, menjadi ujung tombak perjuangan Pulau Komodo agar terdaftar
dalam tujuh keajaiban dunia, dan sangat banyak lagi. Fantastis! Semua jabatan
yang diberikan kepada JK setelah tak lagi menjabat sebagai wapres adalah
wujud kepercayaan.
JK
tidak perlu repot-repot melobi sana-sini dan kampanye begitu-begini untuk
memperoleh tanggung jawab besar yang datang tak putus-putus. Semua pihak
mendatangi JK, meminta solusi, mengharapkan ia memimpin kembali.
Seperti
saya tulis di atas, "Bapak Bangsa”—setelah the real president—adalah
gelar yang sangat mungkin dan tinggal menunggu waktu untuk dipersembahkan
kepada JK.
Betapa
sukacitanya mengakhiri hidup di dunia dengan nama yang begitu mulia di mata
manusia dan insya Allah begitu pula di hadapan Zat yang Mahamencipta.
Sampai
kemudian JK berlaga di ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan sebagai
calon orang nomor satu, kecil hati saya rasakan. Bukan karena saya berpaling
hati. Itu justru karena saya simpati kepada JK. Saya tidak rela JK terkecilkan
(atau mengecilkan diri?) dalam predikat sebagai calon wapres.
Saya
tak sampai hati melihat JK masih harus disingkap-singkap kelemahannya,
diungkit-ungkit kekhilafannya, sebagai perlakuan yang dianggap alami dalam
kancah politik. Sebagaimana saya tidak sudi mengabaikan akal sehat sendiri
bahwa tak lain, JK yang sepantasnya menjadi nakhoda di biduk besar ini.
Meminta
JK untuk mundur, jelas tak mungkin. Manusia dengan tabiat petarung ala Sultan
Hasanuddin niscaya tidak mau mendengar saran macam itu. Untuk menjadi
pemimpin politik, JK kembali masih harus meyakinkan banyak pihak akan
reputasinya.
JK
yang sudah berhasil memerankan diri sebagai sosok penyatu dan penyeimbang
kepunyaan semua orang kini hanya mengisi satu panggung. Itu seakan menurunkan
"kasta" diri sendiri. Semakin tak elok karena JK ternyata hanya
diposisikan sebagai orang nomor dua.
Publik
paham alasan JK yang diputuskan sebagai wapres. Ya, karena masyarakat tahu
keterbatasan-keterbatasan presiden terpilih yang dipandang publik masih
terlalu liliput untuk sebuah bangsa dengan potensi kejayaan yang sangat luar
biasa ini.
Sang
presiden terpilih berulang kali mengakui, sebagaimana dikutip media massa, JK
punya prestasi di level negara bangsa, sementara ia baru sebatas mengelola
kota. Tambahan, JK menegaskan bahwa sosok yang ia dampingi masih terlalu
prematur untuk memimpin negara sebesar Indonesia.
"Hancur
Indonesia!" begitu lugas JK. Alhasil, apabila konsisten dengan akal sehat,
semuanya segaris dan terang benderang. Dalam duet kepemimpinan nasional yang
disahkan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya JK yang didampingi, bukan
mendampingi.
Betapapun
kongres, munas, atau apalah namanya memutuskan berbulan silam JK sebagai
cawapres, politik adiluhung semestinya melatari langkah partai-partai untuk
menetapkan secara rendah hati bahwa JK adalah calon presiden (capres), bukan
cawapres.
Sebaliknya,
tatkala partai tetap bersikukuh memajukan JK sebagai cawapres semata-mata
karena ia orang luar partai, ini dibaca khalayak sebagai strategi politik
kekuasaan belaka.
Bahwa
presiden Indonesia harus berasal dari orang dalam partai, apa boleh buat.
Lagi-lagi rakyat dipertontonkan kepada realitas bahwa politik akal sehat
bukan modal terdepan dalam memilih pemimpin.
Hasilnya,
politik kebangsaan dikalahkan politik kekuasaan. Itu membuat berat kepala dan
palak hati. Dari situlah, dengan segala ketulusan yang dipunya, saya ucapkan
selamat kepada duet Jokowi-JK.
Kepada
Pak Jokowi, saya titip amanah menjaga kursi Presiden Indonesia. Kepada Pak
JK, saya sandangkan amanah menjaga bangsa Indonesia. Selamat bekerja untuk bapak berdua. Semoga istikamah! Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar