Jumat, 05 September 2014

Selamat Pak JK!

Selamat Pak JK!

Reza Indragiri Amriel  ;   Mantan Ketua Delegasi Indonesia, Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia; Anggota Asosiasi Psikologi Islami
SINAR HARAPAN, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Jusuf Kalla (JK) adalah pusat perhatian Indonesia, bahkan dunia. Sebuah bunga rampai berisikan komentar sekian banyak orang tentang the real president masih saya simpan rapi, apalagi di dalamnya ada tanda tangan asli JK. Saya jadikan buku itu sebagai salah satu koleksi yang akan diwariskan ke Menza, Vinza, Aza, dan Diza.

Di sela halaman buku itu terselip selembar cue card yang digunakan JK saat menjadi pembawa acara dalam Jalan Keluar di salah satu stasiun televisi swasta. Aslinya, cue card itu hanya selembar kertas yang bahkan dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja di panggung. Tapi, beberapa masa dari sekarang, saya yakini kertas yang sama akan menjadi sesuatu yang bersejarah.

Berkesempatan duduk berhadapan dalam jet pribadi JK membuat saya tergugah melongok lebih dalam isi hatinya. Jelas, sebutan "menyingsing senja" tidak tepat disandarkan ke tokoh sekaliber JK. Dengan semangatnya yang menyala-nyala, JK tetap berada pada usia menyingsingkan lengan baju. Jangan anggap manusia lanjut usia (manula) menjadi serbatuna.

Dengan pengetahuan plus kearifan yang dipunyai, JK memang masih layak mengadu peruntungan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Saya mendaulatnya sebagai negarawan. Bahkan satu dua jengkal lagi, saya akan menahbiskannya sebagai Bapak Bangsa.

Ya, kalau JK maju menjadi RI-1, saya akan dukung dia tanpa ragu. Tapi ketika JK beradu kuat sebagai RI-2, saya terus terang merasa amat sangat gamang.

Semasa berduet dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK tampak digdaya. Hal yang paling memesona mata saya adalah ketika ia berhasil menghentikan tragedi berdarah di Ambon, Poso, dan Aceh.

Terlebih bagi orang-orang berusia—meminjam istilah Erik H Erikson—dewasa akhir, melihat anak cucu hidup damai tenteram rasanya sudah segala-galanya. Begitu pula ketika sesama anak bangsa rukun, mengesampingkan perbedaan, dan berikhtiar keras mencari simpul-simpul yang menyatukan. Itulah kebahagiaan.

Dalam konteks itulah saya berpandangan, Illahi rabbi sudah menempatkan JK di posisi yang demikian spesial. Kubangan darah dan belenggu kebencian dalam kurun tahunan antaranak di Ibu Pertiwi bisa JK hentikan. Seluruh pihak yang bertikai bisa menerima JK.

Ia ibarat pusat rotasi yang menarik semua energi yang awalnya tercerai-berai. Setelah semua kekuatan ditarik, ia stabilkan semua itu. Hasilnya adalah mandala: bentuk geometri simetris yang dibentuk peredaran energi-energi ke level yang begitu harmonis.

Pascakeluar dari istana wakil presiden (wapres), JK malah kian menjadi-jadi. Ia diangkat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), diberi amanah mengetuai Dewan Masjid Indonesia, menjadi ujung tombak perjuangan Pulau Komodo agar terdaftar dalam tujuh keajaiban dunia, dan sangat banyak lagi. Fantastis! Semua jabatan yang diberikan kepada JK setelah tak lagi menjabat sebagai wapres adalah wujud kepercayaan.

JK tidak perlu repot-repot melobi sana-sini dan kampanye begitu-begini untuk memperoleh tanggung jawab besar yang datang tak putus-putus. Semua pihak mendatangi JK, meminta solusi, mengharapkan ia memimpin kembali.

Seperti saya tulis di atas, "Bapak Bangsa”—setelah the real president—adalah gelar yang sangat mungkin dan tinggal menunggu waktu untuk dipersembahkan kepada JK.

Betapa sukacitanya mengakhiri hidup di dunia dengan nama yang begitu mulia di mata manusia dan insya Allah begitu pula di hadapan Zat yang Mahamencipta.

Sampai kemudian JK berlaga di ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan sebagai calon orang nomor satu, kecil hati saya rasakan. Bukan karena saya berpaling hati. Itu justru karena saya simpati kepada JK. Saya tidak rela JK terkecilkan (atau mengecilkan diri?) dalam predikat sebagai calon wapres.

Saya tak sampai hati melihat JK masih harus disingkap-singkap kelemahannya, diungkit-ungkit kekhilafannya, sebagai perlakuan yang dianggap alami dalam kancah politik. Sebagaimana saya tidak sudi mengabaikan akal sehat sendiri bahwa tak lain, JK yang sepantasnya menjadi nakhoda di biduk besar ini.

Meminta JK untuk mundur, jelas tak mungkin. Manusia dengan tabiat petarung ala Sultan Hasanuddin niscaya tidak mau mendengar saran macam itu. Untuk menjadi pemimpin politik, JK kembali masih harus meyakinkan banyak pihak akan reputasinya.

JK yang sudah berhasil memerankan diri sebagai sosok penyatu dan penyeimbang kepunyaan semua orang kini hanya mengisi satu panggung. Itu seakan menurunkan "kasta" diri sendiri. Semakin tak elok karena JK ternyata hanya diposisikan sebagai orang nomor dua.

Publik paham alasan JK yang diputuskan sebagai wapres. Ya, karena masyarakat tahu keterbatasan-keterbatasan presiden terpilih yang dipandang publik masih terlalu liliput untuk sebuah bangsa dengan potensi kejayaan yang sangat luar biasa ini.

Sang presiden terpilih berulang kali mengakui, sebagaimana dikutip media massa, JK punya prestasi di level negara bangsa, sementara ia baru sebatas mengelola kota. Tambahan, JK menegaskan bahwa sosok yang ia dampingi masih terlalu prematur untuk memimpin negara sebesar Indonesia.

"Hancur Indonesia!" begitu lugas JK. Alhasil, apabila konsisten dengan akal sehat, semuanya segaris dan terang benderang. Dalam duet kepemimpinan nasional yang disahkan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya JK yang didampingi, bukan mendampingi.

Betapapun kongres, munas, atau apalah namanya memutuskan berbulan silam JK sebagai cawapres, politik adiluhung semestinya melatari langkah partai-partai untuk menetapkan secara rendah hati bahwa JK adalah calon presiden (capres), bukan cawapres.

Sebaliknya, tatkala partai tetap bersikukuh memajukan JK sebagai cawapres semata-mata karena ia orang luar partai, ini dibaca khalayak sebagai strategi politik kekuasaan belaka.

Bahwa presiden Indonesia harus berasal dari orang dalam partai, apa boleh buat. Lagi-lagi rakyat dipertontonkan kepada realitas bahwa politik akal sehat bukan modal terdepan dalam memilih pemimpin.

Hasilnya, politik kebangsaan dikalahkan politik kekuasaan. Itu membuat berat kepala dan palak hati. Dari situlah, dengan segala ketulusan yang dipunya, saya ucapkan selamat kepada duet Jokowi-JK.

Kepada Pak Jokowi, saya titip amanah menjaga kursi Presiden Indonesia. Kepada Pak JK, saya sandangkan amanah menjaga bangsa Indonesia. Selamat bekerja untuk bapak berdua. Semoga istikamah! Wallahu a'lam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar