Kamis, 25 September 2014

Hadirkan Fakta yang Benar

Hadirkan Fakta yang Benar

(Bag 2 dari 2)

Anas Urbaningrum  ;   Mantan Ketua Umum Partai Demokrat
KORAN SINDO, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JPU menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi politik, yaitu korupsi yang terjadi dalam lingkup kegiatan politik, dilakukan oleh aktor politik dan dibungkus dengan instrumen politik, serta terjadi dalam momen politik.

Tentu saja definisi ini bisa diperdebatkan. Definisi dari Universitas Princeton menyebut “political corruption is the use of legislated powers by government official for illegitimate private gain“. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa kegiatan ilegal baru dapat disebut korupsi politik jika terkait langsung dengan tugas-tugas resmi yang diemban (if the act is directly related to their official duties).

Korupsi politik menurut Arnold J Heidenheimer dari Washington University, adalah setiap transaksi antara kalangan swasta dengan kalangan sektor publik, di mana hal-hal yang seharusnya menjadi barang milik publik secara ilegal diubah menjadi pembayaran atau hadiah. Sementara terdakwa mendefinisikan korupsi politik sebagai perbuatan yang secara sengaja membuat kebijakan untuk publik menjadi kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu. Kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat dibelokkan untuk kepentingan pihak tertentu.

Namun, persidangan ini bukanlah forum untuk memperdebatkan apa definisi korupsi politik. Juga bukan untuk memperdebatkan apakah ada korupsi politik atau tidak. Ada ahli hukum yang berpendapat bahwa ada korupsi politik. Ada pula yang berpendapat bahwa korupsi politik tidak ada dalam konteks hukum. Jika konteksnya adalah debat khasanah istilah, korupsi politik bisa menjadi salah satu kekayaan khasanah untuk memberikan perspektif. Tetapi jika hendak diterapkan dalam penegakan hukum pidana korupsi, istilah tindak pidana korupsi politik harus dikembalikan pada aturan hukum yang sudah tersedia.

Adalah tidak pada tempatnya membuat istilah sendiri di dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana. Menurut penilaian terdakwa, kategori tindak pidana korupsi politik yang diterapkan pada perkara yang didakwakan oleh JPU adalah pengakuan secara terbuka bahwa dakwaan dan tuntutan kepada terdakwa bersifat politik dan penuh dengan nuansa politik, hal yang sejak awal dinyatakan sangat dihindari oleh JPU. Awalnya perkara ini adalah dinamika internal Partai Demokrat sejak penyelenggaraan kongres ke-2 di Bandung, yang berlanjut pada proses-proses konsolidasi dan kontestasi politik internal, termasuk di tingkat lokal.

Inilah yang ujungnya melahirkan desakan terbuka dari Jeddah kepada KPK untuk segera memperjelas status hukum saya. Desakan Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu segera ditindaklanjuti secara internal dengan pengambilalihan wewenang ketua umum oleh Majelis Tinggi. Pada saat yang bersamaan, beredar sprindik atas nama Anas Urbaningrum ke publik dan menjadi pemberitaan yang luas, sebelum akhirnya terbit Sprindik KPK 22 Februari 2013.

Amat jelas bahwa penetapan tersangka tidak bisa dilepaskan dari dinamika dan faksionalisme internal di Partai Demokrat, termasuk bagaimana tangan-tangan kekuasaan bekerja. Oleh karena itulah yang sesungguhnya didakwa dan dituntut oleh JPU dalam perkara ini adalah peristiwa politik demokrasi bernama Kongres Partai Demokrat, yang di dalamnya ada kompetisi dan kontestasi politik antarcalon ketua umum dengan segala dinamikanya.

Kompetisi dan kontestasi politik internal inilah, yang dijalankan menurut AD/ART dan Tata Tertib Kongres, ada penanggung jawab, ada panitia pengarah (SC), ada panitia pelaksana (SC), ada peserta kongres, ada pembiayaan kepanitiaan dan pemenangan dari setiap kelompok kontestan, serta ada hasil kongres sebagai bagian dari sistem dan kelembagaan Partai Demokrat secara utuh, yang berusaha didekati dan dipaksakan menjadi peristiwa korupsi politik. Meskipun JPU menyatakan di dalam surat tuntutan bukan mengadili kongres, amat jelas ini adalah mengadili kongres atau tepatnya mengadili sepertiga kongres.

Mengapa? Karena yang diadili adalah salah satu saja dari kontestan Kongres Partai Demokrat di Bandung. Jika dilihat bahwa terdakwa pada saat itu adalah penyelenggara negara, karena juga masih menjadi anggota DPR, pada saat yang sama kontestan yang lain adalah ketua DPR dan menteri yang juga dalam kategori penyelenggara negara. Semua tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa proses konsolidasi dan penggalangan dalam pemenangan menggunakan cara dan pendekatan yang sama. Tidak ada perbedaan yang substansial dan signifikan dengan yang dilakukan oleh tim relawan terdakwa.

Bahkan, internal Partai Demokrat saat itu bisa melihat ada calon ketua umum (kontestan) yang jauh lebih gebyar proses penggalangan dan metode pemenangannya. Kalau yang disasar hanya satu orang kontestan, apalagi secara khusus dicari-cari dan dipaksakan kesalahan secara hukum pidana korupsi politik, tentu hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah politik. Di dalam surat tuntutan secara khusus juga disebut bahwa karena bukan kongres yang diajukan ke persidangan, sehingga bukan panitia kongres yang harus dihadirkan, tetapi adalah tim pemenangan Anas Urbaningrum dalam pencalonan sebagai ketua umum.

Sehingga jelas kiranya pihak-pihak mana yang harus dimintai keterangan dan dihadirkan di persidangan. Kalimat ini adalah penegasan bahwa sejak awal telah terjadi pengkhususan kepada Anas Urbaningrum dan sekaligus memagari atau membentengi agar tidak masuk dan menyentuh pihak-pihak yang sesungguhnya secara objektif hukum menjadi pihak yang sama dan serata dengan terdakwa, tetapi secara politik tidak boleh tersentuh oleh proses hukum yang terkait dengan kongres.

Pada saat disebut bahwa bukan panitia kongres yang dihadirkan tentu yang dimaksudkan adalah panitia pengarah yang ketuanya adalah Edhie Baskoro Yudhoyono, karena faktanya telah dihadirkan Didik Mukriyanto, ketua panitia pelaksana kongres yang juga telah diperiksa sebagai saksi pada saat proses penyidikan. Padahal, siapa pun yang mengerti tentang penyelenggaraan kongres pasti melihat panitia pengarah sebagai pihak yang paling paham tentang seluruh rangkaian acara dan bagaimana penyelenggaraannya.

Persidangan ini semakin berwarna politik ketika sejak awal surat dakwaan dibuka dengan kalimat imajiner bahwa sejak 2005 terdakwa sudah berniat dan mempersiapkan diri untuk menjadi calon presiden. Dakwaan dan tuntutan makin beraroma politik ketika surat tuntutan ditutup dengan nasihat politik agar terdakwa rela berkorban seperti Wisanggeni dalam konteks kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014. Meskipun terdakwa tidak bisa ikut dalam kontestasi Bharatayuda Pilpres 2014, pengorbanannya menjadikan keunggulan Pandawa dalam Perang Bharatayuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar