Dari
Korban Menjadi Penyintas
Hasibullah Satrawi ; Direktur
Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 September 2014
APA yang kurang dari
upaya penanganan dan pencegahan terorisme di Republik ini? Itulah pertanyaan
yang belakangan banyak ditemukan di ruang-ruang publik.
Setidaknya itu
berdasarkan pengalaman sempit penulis mengisi beberapa acara terkait dengan
persoalan terorisme mutakhir.
Pertanyaan seperti di
atas muncul karena di satu sisi, aparat dan lembaga terkait terorisme tampak
telah melakukan pelbagai macam kegiatan pencegahan bahkan juga penindakan
terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan jaringan terorisme. Namun, di
sisi lain, jaringan terorisme seakan tidak terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan
antiterorisme yang ada. Bahkan jaringan terorisme justru semakin liar dan
acap tak terkendali.
Kontroversi penyebaran
gerakan Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS/ISIL/IS) di negeri ini menjadi salah satu contoh mutakhir terkait
dengan ‘kekebalan’ jaringan terorisme dari upaya penanggulangan yang telah
dilakukan. Tak seperti kelompok teroris yang kerap melakukan gerakan bawah
tanah dengan identitas yang tertutup rapat, ISIS bahkan sempat tampil melakukan
deklarasi di mana-mana dan melakukan kampanye visual dengan muka yang terbuka!
Pemberdayaan korban
Harus diakui bersama,
selama ini ada satu elemen yang kurang diberdayakan dan diberikan peran
secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme, yaitu komunitas-komunitas
korban bom terorisme. Kalaupun ada sebagian dari korban yang dilibatkan, hal
itu lebih bersifat personal dan cenderung ‘itu-itu saja’.
Padahal, korban
terorisme di negeri ini berjumlah ratusan orang dan tersebar di banyak
komunitas. Sebagai contoh, saat ini ada sekitar 200-an korban bom yang masuk
database Aliansi Indonesia Damai (Aida) dan sudah diverifikasi. Di luar sana,
masih banyak lagi korban bom yang masih dalam tahapan verifi kasi.
Secara
teori, setiap korban mempunyai potensi yang sama untuk menyadarkan semua
pihak terkait dengan dampak aksi terorisme, mengingat mereka menjadi korban
dari kejahatan yang kurang lebih sama.
Oleh karena itu, sejatinya
bangsa ini mempunyai ratusan ‘pasukan perdamaian’ untuk menghadapi ancaman
terorisme di pelbagai macam bentuknya. Sangat disayangkan, pasukan itu acap
terabaikan dan hanya segelintir dari mereka yang diberdayakan untuk
menyadarkan masyarakat luas terkait dengan dampak terorisme. Setidaknya ada
dua hal yang harus dilakukan secara bersama-sama ke depan untuk
mengoptimalkan peran korban terorisme.
Pertama, memberdayakan
para korban, baik secara mental, semangat, maupun wawasan, termasuk membekali
mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi. Pemberdayaan seperti
itu teramat sangat penting untuk dilakukan. Di satu sisi, para korban
mempunyai pengalaman dan kisah yang akan sangat strategis bila digunakan
untuk menyadarkan semua pihak dari ancaman terorisme, khususnya para korban
yang sudah bisa ‘berdamai’ dengan tragedi yang dialami atau bahkan sampai
pada tahap memaafkan para pelaku terorisme.
Di sisi lain, para
korban terdiri dari latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan profesi
yang berbeda-beda. Bagi para korban dari kalangan aktivis, contohnya,
berbicara di ruang publik sebagai narasumber mungkin tidak menjadi persoalan.
Namun, kondisi itu akan sangat berbeda dengan para korban yang sebelumnya
tidak biasa berbicara di ruang publik dan formal.
Oleh karena itu,
pemberdayaan para korban dimaksudkan untuk membekali mereka dengan
teknik-teknik komunikasi dan presentasi, hingga para korban mempunyai
kemampuan yang sama untuk mengambil peranan strategis dalam upaya menghadapi
ancaman terorisme melalui kisah-kisah mereka.
Pada akhir 2013 lalu,
Aida pernah melakukan pemberdayaan seperti di atas. Para korban diberikan
pelatihan khusus terkait dengan teknik komunikasi dan presentasi sebelum
mereka membagikan kisahnya kepada anak-anak siswa di sejumlah sekolah. Hasilnya
sangat menggembirakan dan sungguh luar biasa; para korban yang awalnya tidak
biasa berbicara di depan umum sebagai narasumber secara perlahan mulai
terbiasa. Bahkan presentasi para korban dari latar belakang yang berbeda-beda
seperti di atas mempunyai kekhasan tersendiri. Dengan bahasa tubuh yang
natural, mereka tak jarang mampu memberikan pesan yang lebih jelas dan lebih
mudah dipahami.
Hal itu terlihat jelas
dari kesaksian sebagian siswa pascaacara berlangsung. Sejumlah siswa
mengatakan bahwa mereka baru menyadari kesalahan para teroris setelah bertemu
dan mendengar langsung kisah yang diberikan para korban. Padahal, sebelum
mendengarkan presentasi para korban, sebagian siswa mengaku memaklumi apa
yang dilakukan para teroris sebagai balasan atas ketidakadilan global
terhadap umat Islam.
Kedua, memenuhi
hak-hak korban. Sesuai dengan ketentuan konstitusi, negara berkewajiban
melindungi warganya dan mencukupi kebutuhan mereka yang tidak mampu. Terlebih
lagi bagi warga negara yang menjadi korban aksi kejahatan seperti terorisme.
Meski demikian, sejauh
ini para korban terorisme acap tidak mendapatkan hakhaknya. Bahkan menurut
pengakuan dari sebagian korban, pada waktu kejadian bom, tak sedikit dari
mereka yang harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis
karena menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah.
Dalam konteks seperti
itu, pengesahan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) No 13 Tahun 2006 tentang
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi sebuah keterdesakan yang
semestinya mendapatkan dukungan dari semua pihak. RUU itu menjamin adanya
bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis bagi para
korban terorisme dan korban pelanggaran HAM berat (Pasal 6).
Tentu RUU itu tidak
akan mampu menyelesaikan semua masalah yang harus dihadapi para korban
terorisme, termasuk pemenuhan hakhaknya. Namun, RUU tersebut setidaknya bisa
memberikan jaminan medis bagi para korban, khususnya pada saat-saat baru
terjadi sebuah ledakan bom, hingga tidak perlu ada korban bom lagi yang harus
menunggu berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis.
Menjadi penyintas
Pemberdayaan dan
pemenuhan hak korban sebagaimana di atas menjadi sebuah keharusan untuk
mendorong para korban menjadi penyintas, hingga para korban dapat secara
optimal berperan (dan bisa diperankan) dalam upaya menghadapi persoalan
terorisme ke depan.
Meminjam kaidah hukum
Islam yang sangat kesohor, faqidus
syai'i la yu'thihi (orang yang tidak memiliki sesuatu tak mungkin bisa
memberikan sesuatu tersebut kepada pihak lain), kaidah hukum itu sedikit
banyak relevan dengan sejumlah persoalan internal korban yang ada saat ini.
Selama persoalan internal yang ada belum terselesaikan, hampir mustahil
mereka dapat berperan secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman
terorisme.
Semua ini tentu
membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya pemerintah, hingga para
korban tidak terlalu disibukkan dengan persoalan ‘internal’ mereka. Dengan
demikian, para korban bisa melangkah maju keluar untuk mengambil peranan
dalam upaya membangun Indonesia yang damai dari terorisme.
Keterlibatan para
penyintas dalam menghadapi ancaman terorisme ke depan teramat penting. Selain
karena korban bisa membagikan kisahnya, sebagaimana di atas, juga karena
jaringan terorisme seakan tidak pernah mau hengkang dari bumi Indonesia.
Bahkan jaringan itu semakin intens menjadikan anak-anak muda sebagai target
regenerasi.
Para penyintas bisa
menjadi ‘pasukan alternatif ’ dalam perang panjang melawan jaringan
terorisme, khususnya di saat negara seakan mati kutu dalam menghadapi
jaringan kejahatan tersebut. Dengan keterlibatan dan peran dari para
penyintas, bangsa ini diharapkan mampu memukul mundur sekaligus mengusir
terorisme keluar dari teritorium Indonesia, bukan justru Indonesia yang terus
terdesak oleh ancaman terorisme di pelbagai macam bentuk dan kelompoknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar