Melembagakan
Politik Oposisi
Romanus Ndau Lendong ; Akademisi
Universitas Bina Nusantara, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 September 2014
PASCAKEPUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Agustus 2014, wacana politik oposisi ramai
didiskusikan. Koalisi Merah Putih (KMP) penyokong Prabowo SubiantoHatta
Rajasa yang didukung tujuh partai dengan total 353 kursi di parlemen bertekad
untuk mengambil posisi sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Joko
WidodoJusuf Kalla (Jokowi-JK).
Tekad untuk beroposisi
tersebut patut diapresiasi dan dilembagakan demi menumbuhkan pemerintahan
demokratis di masa depan. Langkah itu tentu lebih prospektif bagi KMP untuk
membangun persepsi diri yang lebih positif sekaligus meraih simpati rakyat
ketimbang terus-menerus mempersoalkan keabsahan keterpilihan Jokowi-JK.
Pelembagaan politik
oposisi hendaknya diawali upaya meluruskan pemahaman atasnya. Rocky Gerung
(2001) menjelaskan bahwa politik oposisi merupakan nilai yang melekat pada
demokrasi itu sendiri. Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti
menerima pandangan filosofis bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus
berbuat salah. Untuk itu, segala keputusan yang dihasilkan harus terbuka
untuk diperdebatkan secara rasional dan argumentatif. Pada titik itu, politik
oposisi berperan untuk mencegah monopoli dan pemutlakan kebenaran oleh
sekelompok orang, terutama pemerintah, karena berpotensi melemahkan dan
mematikan demokrasi.
Dengan merujuk pada
konsep tersebut, sangat jelas telah berkembang salah paham tentang politik
oposisi selama ini. Politik oposisi dimaknai sebagai bentuk memermanenkan
rivalitas di antara berbagai kekuatan politik. Hal itu terlihat dari manuver
dan debat politik yang biasanya sangat emosional, beraroma kebencian, dendam,
dan kekerasan. Berkembang kesan bahwa politik oposisi tidak lebih dari
ledakan kekecewaan dan kemarahan para elite yang tidak siap dan ikhlas
menerima kekalahan dalam setiap kontestasi politik.
Bagi pemerintah yang berkuasa,
politik oposisi dicurigai sebagai ancaman yang setiap saat berpotensi
menggoyahkan bahkan menjatuhkan kekuasaannya. Atas dasar itu, pemerintah
biasanya berusaha untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik untuk
mendukungnya. Manuver Jokowi-JK tentang kesiapan untuk berkoalisi dengan
sebanyak mungkin partai merupakan implikasi dari pemahaman tersebut.
Cacat bawaan
Argumen yang mendasari
perlunya koalisi multipartai ialah terjaganya stabilitas politik dan
pemerintahan sehingga kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan. Akan tetapi,
secara historis, argumen tersebut sulit dipertahankan. Lipson Leslie (1964)
dalam bukunya The Democratic
Civilization mengingatkan bahwa kekuasaan itu penting, tapi berbahaya. Kekuasaan
koalisi multipartai, menurutnya, memiliki kompleksitas yang membingungkan. Sifat
dasar koalisi ialah longgar dan sementara. Soliditasnya sulit dijamin,
sebaliknya rentan konflik karena perbedaan kepentingan yang tidak selalu
mudah dicarikan solusinya.
Selanjutnya Leslie
menyebutkan tiga cacat bawaan koalisi multipartai, yakni lemah, lamban, dan
boros. Lemah karena soliditas koalisi dengan mudah mencair jika terjadi
perbedaan pandangan di antara anggota yang berujung pada penarikan dukungan
terhadap pemerintah. Lamban sebab proses pengambilan keputusan cenderung
bertele-tele dan harus harus
melibatkan begitu banyak elite partai. Boros karena koalisi meniscayakan
lahirnya kabinet gemuk sebab setiap anggota ingin mendapatkan posisi-posisi
strategis dalam pemerintahan.
Tak perlu penelitian
mendalam untuk mencocokkan apa yang diingatkan Leslie dengan realitas politik
di negeri ini, terutama pemerintahan S BY 10 tahun terakhir. Kabinet SBY-JK
(2004-2009) dan SBY-Boediono (2009-2014) didukung oleh koalisi gemuk
berturut-turut 73,3% dan 75,5%. Namun, stabilitas pemerintahan yang
diharapkan tidak terwujud. Megaskandal Bank Century, kasus BLBI, dan penaikan
harga BBM terus memicu konflik berkepanjangan. Kasus-kasus tersebut terus
dipolitisasi dan diperdebatkan secara luas, tapi tak ada kesungguhan untuk
menuntaskannya.
Di samping itu,
koalisi multipartai berpotensi menghambat gerakan antikorupsi. Salah satu
motif partai berkoalisi dalam pemerintahan ialah semangat untuk mengakses
sumber-sumber keuangan negara. Hal itu mudah dipahami mengingat rendahnya
kemandirian partai secara finansial yang menurut sebuah survei tidak lebih
dari 5%. Akibatnya, bukan saja gagal memberantas korupsi, koalisi partai
justru menyuburkannya. Keterlibatan kader-kader partai dalam kasus Hambalang,
impor daging sapi, e-KTP, dan sebagainya merupakan contohnya.
Jika demikian, membuka
ruang bagi politik oposisi jauh lebih sehat dan produktif ketimbang membangun
koalisi multipartai yang justru berpotensi menjebak pemerintah dalam berbagai
kesulitan. kesulitan.
Hambatan politik oposisi
Ada dua hambatan
serius bagi pelembagaan politik oposisi di negeri ini. Pertama, problem ideologis.
Politik oposisi yang sukses mengandaikan adanya perbedaan ideologi yang jelas
dan tajam di antara rezim dan oposisi. Soal itu menjadi hambatan serius di
Indonesia karena hampir semua partai (ke cuali partai Islam) menetapkan
Pancasila sebagai asas dan ideologi partai. Visi misi dan program yang
ditawarkan pun secara substantif sama, yakni mendorong penguatan ekonomi
rakyat, membangun dari desa, memajukan pendidikan, dan sebagainya.
Kedua, oposisi harus
secara total berada di luar rezim yang berkuasa. Kenyataannya, politik
oposisi itu hanya berada di tingkat pusat. Jadi sifatnya parokial, tidak
total. Banyak kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) yang berasal dari
partai Koalisi Merah Putih. Tentu sulit bagi mereka untuk mengabdi kepada dua
tuan (partai dan pemerintah pusat) secara adil di waktu bersamaan.
Lebih
sulit lagi mengharapkan agar kader dari Koalisi Merah Putih yang berada di
pemerintahan meletakkan jabatan mereka dan beralih menjadi kekuatan oposisi.
Dua persoalan tersebut
perlu didiskusikan secara luas dan berkelanjutan demi melembagakan dan
memperkuat politik oposisi yang ideal di masa depan. Motivasi beroposisi
harus dijauhkan dari anasir-anasir persaingan yang tidak sehat. Jokowi-JK
juga tidak perlu khawatir dengan politik oposisi jika motifnya berkuasa ialah
memberikan yang terbaik buat rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar