Minggu, 07 September 2014

Melembagakan Politik Oposisi

Melembagakan Politik Oposisi

Romanus Ndau Lendong  ;   Akademisi Universitas Bina Nusantara, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PASCAKEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Agustus 2014, wacana politik oposisi ramai didiskusikan. Koalisi Merah Putih (KMP) penyokong Prabowo SubiantoHatta Rajasa yang didukung tujuh partai dengan total 353 kursi di parlemen bertekad untuk mengambil posisi sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Joko WidodoJusuf Kalla (Jokowi-JK).

Tekad untuk beroposisi tersebut patut diapresiasi dan dilembagakan demi menumbuhkan pemerintahan demokratis di masa depan. Langkah itu tentu lebih prospektif bagi KMP untuk membangun persepsi diri yang lebih positif sekaligus meraih simpati rakyat ketimbang terus-menerus mempersoalkan keabsahan keterpilihan Jokowi-JK.

Pelembagaan politik oposisi hendaknya diawali upaya meluruskan pemahaman atasnya. Rocky Gerung (2001) menjelaskan bahwa politik oposisi merupakan nilai yang melekat pada demokrasi itu sendiri. Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima pandangan filosofis bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus berbuat salah. Untuk itu, segala keputusan yang dihasilkan harus terbuka untuk diperdebatkan secara rasional dan argumentatif. Pada titik itu, politik oposisi berperan untuk mencegah monopoli dan pemutlakan kebenaran oleh sekelompok orang, terutama pemerintah, karena berpotensi melemahkan dan mematikan demokrasi.

Dengan merujuk pada konsep tersebut, sangat jelas telah berkembang salah paham tentang politik oposisi selama ini. Politik oposisi dimaknai sebagai bentuk memermanenkan rivalitas di antara berbagai kekuatan politik. Hal itu terlihat dari manuver dan debat politik yang biasanya sangat emosional, beraroma kebencian, dendam, dan kekerasan. Berkembang kesan bahwa politik oposisi tidak lebih dari ledakan kekecewaan dan kemarahan para elite yang tidak siap dan ikhlas menerima kekalahan dalam setiap kontestasi politik.

Bagi pemerintah yang berkuasa, politik oposisi dicurigai sebagai ancaman yang setiap saat berpotensi menggoyahkan bahkan menjatuhkan kekuasaannya. Atas dasar itu, pemerintah biasanya berusaha untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik untuk mendukungnya. Manuver Jokowi-JK tentang kesiapan untuk berkoalisi dengan sebanyak mungkin partai merupakan implikasi dari pemahaman tersebut.

Cacat bawaan

Argumen yang mendasari perlunya koalisi multipartai ialah terjaganya stabilitas politik dan pemerintahan sehingga kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan. Akan tetapi, secara historis, argumen tersebut sulit dipertahankan. Lipson Leslie (1964) dalam bukunya The Democratic Civilization mengingatkan bahwa kekuasaan itu penting, tapi berbahaya. Kekuasaan koalisi multipartai, menurutnya, memiliki kompleksitas yang membingungkan. Sifat dasar koalisi ialah longgar dan sementara. Soliditasnya sulit dijamin, sebaliknya rentan konflik karena perbedaan kepentingan yang tidak selalu mudah dicarikan solusinya.

Selanjutnya Leslie menyebutkan tiga cacat bawaan koalisi multipartai, yakni lemah, lamban, dan boros. Lemah karena soliditas koalisi dengan mudah mencair jika terjadi perbedaan pandangan di antara anggota yang berujung pada penarikan dukungan terhadap pemerintah. Lamban sebab proses pengambilan keputusan cenderung bertele-tele dan harus harus melibatkan begitu banyak elite partai. Boros karena koalisi meniscayakan lahirnya kabinet gemuk sebab setiap anggota ingin mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Tak perlu penelitian mendalam untuk mencocokkan apa yang diingatkan Leslie dengan realitas politik di negeri ini, terutama pemerintahan S BY 10 tahun terakhir. Kabinet SBY-JK (2004-2009) dan SBY-Boediono (2009-2014) didukung oleh koalisi gemuk berturut-turut 73,3% dan 75,5%. Namun, stabilitas pemerintahan yang diharapkan tidak terwujud. Megaskandal Bank Century, kasus BLBI, dan penaikan harga BBM terus memicu konflik berkepanjangan. Kasus-kasus tersebut terus dipolitisasi dan diperdebatkan secara luas, tapi tak ada kesungguhan untuk menuntaskannya.

Di samping itu, koalisi multipartai berpotensi menghambat gerakan antikorupsi. Salah satu motif partai berkoalisi dalam pemerintahan ialah semangat untuk mengakses sumber-sumber keuangan negara. Hal itu mudah dipahami mengingat rendahnya kemandirian partai secara finansial yang menurut sebuah survei tidak lebih dari 5%. Akibatnya, bukan saja gagal memberantas korupsi, koalisi partai justru menyuburkannya. Keterlibatan kader-kader partai dalam kasus Hambalang, impor daging sapi, e-KTP, dan sebagainya merupakan contohnya.

Jika demikian, membuka ruang bagi politik oposisi jauh lebih sehat dan produktif ketimbang membangun koalisi multipartai yang justru berpotensi menjebak pemerintah dalam berbagai kesulitan. kesulitan.

Hambatan politik oposisi

Ada dua hambatan serius bagi pelembagaan politik oposisi di negeri ini. Pertama, problem ideologis. Politik oposisi yang sukses mengandaikan adanya perbedaan ideologi yang jelas dan tajam di antara rezim dan oposisi. Soal itu menjadi hambatan serius di Indonesia karena hampir semua partai (ke cuali partai Islam) menetapkan Pancasila sebagai asas dan ideologi partai. Visi misi dan program yang ditawarkan pun secara substantif sama, yakni mendorong penguatan ekonomi rakyat, membangun dari desa, memajukan pendidikan, dan sebagainya.

Kedua, oposisi harus secara total berada di luar rezim yang berkuasa. Kenyataannya, politik oposisi itu hanya berada di tingkat pusat. Jadi sifatnya parokial, tidak total. Banyak kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) yang berasal dari partai Koalisi Merah Putih. Tentu sulit bagi mereka untuk mengabdi kepada dua tuan (partai dan pemerintah pusat) secara adil di waktu bersamaan. 
Lebih sulit lagi mengharapkan agar kader dari Koalisi Merah Putih yang berada di pemerintahan meletakkan jabatan mereka dan beralih menjadi kekuatan oposisi.

Dua persoalan tersebut perlu didiskusikan secara luas dan berkelanjutan demi melembagakan dan memperkuat politik oposisi yang ideal di masa depan. Motivasi beroposisi harus dijauhkan dari anasir-anasir persaingan yang tidak sehat. Jokowi-JK juga tidak perlu khawatir dengan politik oposisi jika motifnya berkuasa ialah memberikan yang terbaik buat rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar