Tiga
Janji Disruption
dan
Relevansi Keterampilan Manusia
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
LIPUTAN6.COM,
31 Oktober
2017
Beberapa hari ini, banyak
orangtua yang mulai mencemaskan masa depan pekerjaan anak-anaknya. Mungkin
salah satunya disebabkan oleh beredarnya kolom saya, yang melaporkan
pekerjaan-pekerjaan yang akan hilang akibat peristiwa disruption.
Apalagi kemudian kita dikepung
rangkaian berita mulai dari penutupan sejumlah gerai toko, pengurangan tenaga
kerja di sektor perbankan dan elektronifikasi jalan tol.
Tetapi baiklah, saya perlu
mengingatkan Anda bahwa PHK bukanlah selalu menjadi pilihan. Demikian pula, pekerjaan yang hilang selalu
akan diikuti dengan lapangan kerja baru, dalam platform dan dunia yang
berbeda.
Jadi, kalau kita memahami the
whole process of disruption (bukunya bisa Anda temui di toko buku), maka Anda
akan paham bahwa disruption memberikan 3 janji.
Pertama, disruption akan
mengakibatkan hampir semua pemain-pemain lama atau cara-cara lama menjadi
obsolete (usang). Jadi yang akan terkena dampak utamanya adalah yang obsolete
dan yang tak cepat berubah.
Mereka yang tak henti-hentinya
menyalahkan pihak lain, dan terus bersekutu dengan regulator untuk
membentengi diri, akan kehabisan waktu untuk mendisrupsi diri.
Kedua, disruption, kendati
mematikan incumbents yang tak berubah, akan selalu menciptakan dua jenis
pasar (dan tentu saja lapangan pekerjaan baru) yang lebih besar: Low-End
Market (pasar untuk segmen menengah ke bawah bahkan kelompok pra sejahtera
dengan produk-produk yang harganya jauh lebih murah) dan New Market (melalui
bisnis dan tawaran-tawaran baru).
Ketiga, kendati besar
ancamannya, perusahaan atau lembaga-lembaga incumbent punya kesempatan
melakukan self disruption. Masalahnya, apakah ini sudah menjadi bagian dari
strategi Anda?
Indonesia Butuh Role Model
Setiap proses perubahan selalu
memunculkan harapan. Seperti saat dunia berkenalan dengan otomotif. Ribuan
ekor kuda tidak bisa dijual oleh peternak dan bengkel-bengkel kereta kuda
mati. Orangtua yang anak-anaknya hanya dilatih untuk pekerjaan itu pun
gelisah.
Namun pada saat itu, kita
menyaksikan munculnya jutaan pekerjaan baru dari sektor otomotif, mulai dari
produksi mobil, dealership, asuransi kecelakaan, kredit kepemilikan mobil,
bengkel, sampai konstruksi jalan dan jasa parkir kendaraan.
Tetapi ada hal menarik yang
bisa kita pelajari, jarang sekali incumbent yang benar-benar rela mereposisi
diri melakukan self disruption.
Anda tahu yang saya maksud:
Bukanlah pabrik-pabrik es batu yang menemukan teknologi lemari es, melainkan
perusahaan berbasiskan elektronika. Bahkan di Kodak, ketika Steven Sasson menemukan
kamera digital pertama, karir dan temuannya pun dibunuh oleh para seniornya.
Produk baru itu tidak diberi
alokasi modal karena dianggap sebagai ancaman. Manusia merasa lebih tentram
bila ia dikalahkan lawan dari luar ketimbang disingkirkan temuan sendiri dari
rekan kerja.
Hal-hal seperti ini juga marak
disini, sehingga membuat perusahaan besar terperangkap masa lalunya, a past
success trap. Padahal disruption berada dalam platform baru dan manusia
dituntut keluar dari platform lamanya.
Jadi kita butuh role model
dalam perjalanan disruption ini. Sebab satu jenis pekerjaan hilang tidak
selalu harus diikuti dengan hilangnya semua pekerjaan. Kecuali Anda sendiri
yang membiarkannya terjadi.
Barangkali ini mirip dengan
perjalanan PT. Telkom yang bisnis telepon kabelnya memudar, namun cepat
mengembangkan Telkomsel melalui anak perusahaan, yang terpisah dan
menggunakan surplusnya untuk meremajakan diri.
Tentu saja regulator punya
peran di sini. Bisnis telepon seluler dibuka dengan cara dan perizinan penanganan
yang berbeda dengan telepon kabel. Sebab teknologi dan business model-nya
memang tidak sama sebangun. Yang satu hanya bisa dipakai untuk percakapan,
yang satunya berada di angkasa raya yang kaya kesempatan baru.
Logika seperti ini harusnya
dijalankan oleh para pemangku kepentingan dewasa ini, dalam menangani
business online. Sayangnya kesadaran ini belum tumbuh di sini.
Kita membutuhkan role model
dalam menghadapi masa-masa yang tidak mudah ini. Tanpa role model, maka
perusahaan yang terdisrupsi hanya semakin mengeluh dan terperangkap dalam
kegelapan.
Teknologi hanya dipakai untuk
melakukan engagement dengan pelanggan, bukan mendisrupsi diri sehingga tetap
kompetitip.
Semuanya memang masih
memerlukan waktu. Namun ada baiknya kita perkaya referensi acuan kita untuk
mendisrupsi diri. Kalau untuk teknologi dan riset, sebagai role model saya
sarankan Anda menengok PT. PP, yang menggunakan teknologi 3D Printing untuk
mengubah peta bisnis konstruksi.
PT. PP juga memperbaiki talent
management dan business process-nya terkait disruption. Tentang hal ini Anda
bisa membacanya dalam buku Tomorrow is Today yang diterbitkan oleh Mizan.
Namun, dalam menghadapi ancaman
PHK, saya kira Anda bisa melihat ke Jasa Marga, yang hari ini menjalankan
gerakan nasional nontunai yang semula dikhawatirkan akan menciptakan
pengangguran baru.
Kekhawatiran itu terletak pada
hilangnya pekerjaan di pintu-pintu tol yang jumlahnya sekitar seribu orang.
Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan semua perusahaan pengguna teknologi
lainnya akan mengikutinya.
Saya melihat Jasa Marga bisa
menjadi referensi Anda, karena dalam menghadapi ancaman elektronifikasi, Jasa
Marga justru menggunakan ancaman itu sebagai peluang untuk memindahkan seribu
petugasnya ke lokasi-lokasi pekerjaan yang jauh lebih manusiawi.
Tanpa elektronifikasi
pegawai-pegawai itu kemungkinan akan terus bekerja di dalam kubik kecil yang
tak dilengkapi toilet, dekat dengan asap knalpot kendaraan yang lalu lalang,
dan terancam nyawanya oleh kecelakaan lalu lintas yang melaju kencang di
sekitarnya.
Tanpa itu pula, mungkin
perusahaan tidak mampu melihat potensi talenta dari SDM-nya yang setelah
dipetakan, banyak yang memiliki kualifikasi bagus untuk bekerja di kantor
pusat atau anak-anak perusahaannya.
Jasa Marga mengembangkan transformasi
SDM ke dalam lima pilihan. Mulai dari pindah ke kantor pusat, anak
perusahaan, sampai menjadi mitra usahanya.
Sekali lagi, Indonesia
membutuhkan role model untuk menyelamatkan masa depan tenaga-tenaga kerja
yang terancam masa depannya.
Secara fisik mereka semua
kemungkinan masih bisa bekerja, yang berubah adalah teknologi. Dan yang sulit
diubah adalah mindset-nya.
Jadi tugas semua pihak adalah
mengambil tindakan agar dua hal ini terpenuhi. Pertama, membuat bisnis dan
produknya relevan di mata pelanggan. Kedua, membuat keterampilan kerja
SDM-nya juga relevan untuk terus bekerja selagi muda.
Semakin banyak yang bisa
memberikan teladan, maka selamatlah perekonomian kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar