Penguatan
Kesadaran Kebangsaan (II)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
07 November
2017
Amat jujur dan terus terang
pengakuan historis Ali ini. Kesadaran keindonesiaan semisal Ali inilah yang beberapa tahun kemudian dikukuhkan di Batavia dalam Sumpah Pemuda
1928 yang terkenal itu. Saya berharap sebelum tahun 2030 kesadaran kebangsaan
semua suku di Indonesia, akan semakin menguat dan mendalam.
Dan dalam proses politik
kebangsaan yang dinamis selanjutnya, ungkapan (saya tidak tahu siapa
penciptanya): “Perang Aceh, cakap Minang, kuasa Jawa” dalam realitas sosial-politik tidak akan
berpengaruh lagi untuk menduduki posisi RI 1 atau RI 2 di Indonesia.
Siapa pun warga negara
Indonesia harus punya hak sama untuk berada pada posisi itu, dengan syarat
memenuhi kriteria sebagai negarawan petarung dengan visi keadilan yang tajam
dan jujur untuk meneruskan estafet kerja besar yang sedang dilancarkan oleh
Jokowi-JK sekarang ini.
Semua kita harus siap menerima
kedatangan seorang atau beberapa negarawan yang boleh jadi berasal dari Pulau
Miangas atau dari Pulau Rote, dari Ternate atau dari Pulau Ende untuk
memimpin Indonesia yang besar saat ini pada saatnya nanti .
Pertimbangan suku untuk memilih
pemimpin dalam perspektif semangat PI dan Sumpah Pemuda tidak relevan lagi.
Karakter yang kuat dan komitmen yang jujur kepada prinsip keadilan harus
dijadikan faktor utama dalam proses perpolitikan nasional kita untuk memilih
pemimpin puncak, dan semestinya juga pemimpin daerah.
Isu putra/putri daerah untuk
gubernur, bupati atau wali kota semestinya tidak mengemuka lagi. Dengan cara
ini proses integrasi nasional akan semakin mantap dan kuat. Bukankah semangat
dan idealisme yang serupa itu yang dulu dihidup-suburkan dalam PI dan Sumpah
Pemuda?
Dalam semangat demikian itulah,
Soekiman Wirjosendjojo (Jawa), Mohammad Hatta (Minang), Arnold Mononoetoe
(Manado), Ali Sastroamidjojo (Jawa), Muhammad Yamin (Minang), Amir
Sjarifuddin (Batak), Achmad Soebardjo (Jawa), J Leimena (Ambon), Iwa
Koesumasoemantri (Sunda), Sutan Sjahrir (Minang), Abdoelmadjid Djojoadingrat
(Jawa), dan sederetan panjang nama tokoh pemuda lainnya lebur menyatu menjadi
manusia Indonesia, melepaskan ego
primodialisme kedaerahannya masing-masing. Sungguh dahsyat dan dinamis proses
mengindonesia ini.
Seterusnya perlu kita kutip apa
kata Soekarno tentang makna kemerdekaan Indonesia, dan apa pula kata Mohammad
Hatta tentang akhir penjajahan sebagai sebuah kepastian. Soekarno dalam
naskah pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandung tahun 1930
berkata: “Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting, bagi pembaikan kembali
segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang
amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.” (lihat Soekarno, Indonesia
Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial. Yogyakarta:
Aditya Media-Pustep UGM, 2004, hlm. 88).
Dalam perspektif Bung Karno
ini, tanpa kemerdekaan, status rakyat Indonesia bukanlah sebagai manusia
penuh, tetapi diperlakukan sebagai setengah manusia yang tunamartabat.
Alangkah hina dan nistanya nasib manusia terjajah.
Sebelum itu pada 1928 di muka
Mahkamah Belanda di Den Haag, Mohammad Hatta menegaskan :”Bahkan penjajahan
Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakann (sic) suatu
kepastian. Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya
atau tidak. Dan janganlah Nederland memukau
diri, bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh egak sampai akhir zaman…
penduduk Indonesia yang terbilang jutaan disiksa atas nama bangsa Belanda dan
demi peradaban Belanda!” (Lihat Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, terjemahan
Hazil. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm 147. Cetak miring sesuai dengan
aslinya).
Akhirnya, sebuah pertanyaan
mendasar yang perlu disampaikan dalam situasi kekinian kita adalah: Apakah
bangsa ini sekarang sudah merdeka 100 persen, terbebas dari sistem penjajahan
di bidang ekonomi khususnya?
Jawabannya kita semua sudah maklum: belum! Dan situasi yang timpang dan
pincang ini harus diubah dengan kekuatan rakyat kita sendiri sekarang dan
seterusnya untuk sebuah rekonstruksi nasional yang adil, makmur,dan
bermartabat.
Kepemimpinan Jokowi-JK sudah
melangkah ke arah kemerdekaan 100 persen itu dengan segala kelemahan dan
kekurangan di sana sini, seperti masalah penegakan hukum yang masih lemah dan
upaya pemberantasan korupsi yang sering dipermainkan oleh sementara politisi
dan sebagian pengusaha yang tunapatriotisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar