"Esteem
Economy",
Ketika
Setiap Orang Haus Pengakuan
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
20 November
2017
Iseng-iseng saya bertanya pada
ibu-ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah
Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?”
“Sering” jawab mereka.
Lalu apa yang dirasakan kalau
sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”?
Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah,
tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri.
Seorang pria menjawab, “Saya
yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak
tidurnya. Kalau tidak, gelisah.”
Begitulah Esteem Economy.
Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang
dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak
sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang
hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber.
Seperti yang ditulis oleh
pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak
belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.” Tetapi di dunia
cyber, kita belum punya intuisinya.
Manusia cyber mempunyai cara
sendiri dalam memenuhi rasa aman (safety needs) dan self esteem yang kita
pelajari sebagai Maslow Hierarchy of Needs. Dan foto-foto diri,
komplain-komplain kecil, share tentang sesuatu adalah objeknya.
Leisure Tanpa Tekanan, Esteem Sebaliknya
Benarkah manusia mencari
“leisure” dengan berekreasi? Sepertinya, leisure yang kita kenal di abad 21
benar-benar berbeda. Leisure yang dulu, digambarkan sebagai “menikmati waktu
hidup dan berekreasi“ kini berubah.
Para pekerja di Prancis dan
Italia di akhir abad 20 menikmati leisure economy. Pukul 15.30 mereka sudah
kongkow-kongkow menikmati happy hour di bar. Maka, begitu pemerintah
berencana menambah 30 menit saja waktu kerja per hari, mereka pun melawan
dengan demo besar dan sedikit kerusuhan.
Saya pun jadi ragu kalau akhir
pekan ratusan ribu mobil bergerak dari Jakarta ke arah Bandung untuk leisure.
Macetnya bisa 4-6 jam. Di Yogyakarta, mobil-mobil yang bergerak mencari rumah
makan termasuk ke Mie Jawa yang terletak di “kandang sapine mbah Gito”
sepertinya juga bukan untuk leisure.
Butuh satu-dua jam karena
macet. Antre makannya satu-dua jam lagi. Di kaleng-kaleng kerupuknya tertulis
kata ini: “sabar.”
Abad 19 kita mengenal leisure
class (Veblen, 1899), lalu di abad 20 menjadi experience economy (Joseph Pine
& Gilmore, 1998). Tetapi kini disebut esteem economy, kumpulan dari
manusia-manusia yang rindu pengakuan bahwa dia sudah sampai di sana.
Skylodge di Tebing Parang atau Selfie di Ponggok
Di usia 20-an, saya gemar
mendaki gunung. Maka berita tentang hotel gantung di Tebing Parang sungguh
menggoda. Namun begitu melihat cara menjangkaunya, saya harus tahu diri.
Berita dan foto-foto tentang
hotel gantung ini menjadi viral di jagat dunia maya. Persis seperti foto-foto
tentang padang bunga di Gunung Kidul yang pernah viral.
Tiap generasi punya needs yang
berbeda. Generasi saya butuh “leisure,” sedangkan millennials butuh esteem. Mereka mencari
share, “like” atau jempol karena difasilitasi medsos.
Ini persis dengan yang
dilakukan sebuah rumah makan tak jauh dari Rumah Perubahan.
Makanannya biasa saja. Tetapi,
tak henti-hentinya ibu-ibu muda berdatangan. Rupanya di situ ada foto
bangunan besar 3 dimensi. Mereka bisa bergaya melayang seakan-akan tengah berada
di atas gedung. Jadilah itu tempat selfie.
Ini cerita lain lagi. Di sebuah
meja kerja di suatu kantor duduk seorang pegawai perempuan. Wajahnya bete
sekali. Seharian tak mendapatkan “like” atau share dari foto-foto yang
diunggahnya. Ia pun merapihkan meja
dan menambah secangkir kopi panas yang asapnya mengepul. Lalu foto diunggah
di Facebook dengan caption: Good Morning ….kerja semangat!
Wajahnya berubah sumringah
ketika satu-persatu likes berdatangan. Temannya di seberang sana memberi
“likes,” padahal mereka tengah duduk berempat di meja makan sebuah restoran
mahal.
Namun keempatnya juga tengah
mencari esteem dengan membuka gadget mereka masing-masing. Pelayan restoran
datang menanyakan pesanan. Mereka lalu bersama-sama mengucapkan kalimat ini,
“foto dulu ya!”
Pelayanpun mengambil ponsel
mereka. Semua minta foto pakai ponsel masing-masing. Jadi fotonya empat kali.
Selesai difoto, mereka pesan makanan, lalu kembali membuka gadget, upload,
mencari esteem lagi.
Di desa Ponggok, Klaten, ada
proyek dana desa yang berhasil, berupa desa wisata. Sebuah embung besar
mereka bersihkan menjadi umbul untuk selfie di dalam air.
Pengunjung pun berebut datang
melakukan selfie di atas sepeda motor, bermain ayunan, pura-pura tengah
bekerja atau berkemah di dalam air. Alhasil, dari dana desa Rp 300 juta
(2015), BUMDES desa berpenduduk 2.300 jiwa ini tahun ini akan meraih
pendapatan Rp 15 miliar.
Untuk apa bersusah payah
menahan napas di dalam air? Anda tahu jawabannya.
Esteem Economy
Mendalami motif manusia memenuhi
kebutuhannya penting untuk memahami proses shifting perekonomian. Dunia
benar-benar disruptif. Motif memenuhi kebutuhan itu bergeser di peradaban
cyber. Manusia beradaptasi, bertahan dan berevolusi dengan motif pemenuhan
kebutuhan tadi.
Ditenggarai oleh kemampuan
bersembunyi (anonymity), dunia online seakan mampu memberikan rasa aman
(safety needs) bagi sebagian orang yang pemalu dan takut-takut dalam
interaksi tatap muka. Manusia bisa “mengambil foto” milik orang lain, mencuri
atau mengedit jati dirinya.
Orang-orang yang memiliki
“kelainan” di dunia riil, atau yang gemar menyebar fitnah ternyata sosoknya
tak semenakutkan tulisannya. Bahkan belum lama ini Ditreskrim Polri
mengumumkan sebagian besar adalah penakut yang jarang bergaul. Tetapi di
dunia cyber, dengan anonymitas itu bisa membuat mereka merasa nyaman dan
berani berkomunikasi.
Tetapi baiklah kita kembali ke
esteem economy. Dengan bergabung dalam komunitas online, kini manusia bisa
merasakan ”a sense of belonging.” Kata Aiken, “mendapatkan ‘liked’di Facebook
adalah wujud dari memenuhi needs for
esteem.
Bukan hanya itu. Mereka juga
bawel cari perhatian terhadap soal-soal kecil. Mulai dari soal toilet, sampai
taksi yang tak datang-datang saat hujan deras, pun dijadikan tulisan pendek,
sekedar komplain untuk mendapatkan esteem.
Dengan menyebarkan berita buruk
atau copas-copas tanpa memeriksa kebenarannya, manusia yang belum matang juga
ingin mendapatkan pengakuan bahwa ia lebih pandai atau tahu lebih dulu dari
yang lain.
Pusingkan? Begitulah esteem
economy. Manusia selalu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan berupa
share, like dan jempol. Bukan es krim.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar