Heboh
Koalisi PKS-PDIP di Pilkada Jabar
Hersubeno Arief ; Jurnalis Senior; Mantan Wartawan Republika
|
REPUBLIKA,
31 Oktober
2017
Dunia maya sepanjang hari
kemarin (29/10) dihebohkan “rencana”
koalisi PKS-PDIP di Pilkada Jawa Barat
(Jabar). Banyak nitizen yang marah-marah, ngamuk, bahkan ada yang mengancam
“akan membumi hanguskan PKS” bila benar
berkoalisi dengan PDIP untuk Pilgub 2018.
Kehebohan itu dipicu berita di
sejumlah media online mengutip
pernyataan Netty Heryawan, istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan “Koalisi
PDIP-PKS terwujud, akan menghasilkan koalisi nasionalis-relijius
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/17/10/29/oyk8jw409-pdip-dan-pks-bisa-hasilkan-koalisi-nasionalisreligius.
Pernyataan Netty jika
dicermati, sesungguhnya sangat normatif. Netty menyebut bila itu terwujud,
maka dia akan ada di dalamnya, meskipun calon yang diusung, bukan dirinya.
Seperti kebanyakan kader PKS, Netty bersikap loyal apapun
keputusan pimpinan. Apalagi sebelumnya Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat
Nurwahid seperti dikutip media juga
menyatakan terbuka kemungkinan koalisi PKS-PDIP di pilkada Jabar.
Sesungguhnya tidak ada yang
salah dengan pernyataan Hidayat, maupun Netty. Sebagai politisi mereka
harus bersikap diplomatis, dan membuka
berbagai kemungkinan kerjasama dengan berbagai kekuatan politik lainnya.
Apalagi faktanya koalisi antara PKS-PDIP sudah banyak terjadi di level
pilkada. Yang terbaru pada pilkada Sulsel. PDIP memutuskan bergabung dengan
Gerindra,PKS, dan PAN mengusung Nurdin Abdullah.
Hanya saja di level nasional,
hubungan PDIP-PKS seperti minyak dengan air. Mereka tidak pernah bertemu
dalam satu kepentingan, termasuk dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertarungan
terakhir yang sangat keras terjadi dalam pembahasan Perppu ormas di DPR.
PKS bersama Gerindra dan PAN
yang nota bene partai pemerintah,
berada dalam kubu yang menolak. Sementara PDIP bersama partai koalisi
pendukung pemerintah mendukung.
Pertarungan Jokowi dan Meikarta
Mengapa wacana koalisi PKS-PDIP
di Jabar menjadi heboh? Setidaknya ada dua isu besar yang membuat pertarungan
politik Jabar ini menarik.
Pertama, pertempuran besar Jokowi menuju 2019. Kedua, adanya isu
kontroversi kota Meikarta.
Dua isu itu menjadikan pilkada
Jabar mirip dengan Pilkada DKI 2017, namun jauh lebih menarik dan panas.
Sebagai provinsi dengan jumlah
pemilih terbesar di Indonesia, PDIP dan Jokowi pasti akan berjuang
mati-matian untuk memenangkan pilkada Jabar. Mereka tidak mau lagi kecolongan
seperti di pilkada Banten, dan kekalahan yang menyakitkan di pilkada DKI.
Pada dua pilkada Jabar (2008, 2013) PDIP
selalu kalah. Pada Pilpres 2014 Jokowi juga kalah telak dari Prabowo
di Jabar.
Jabar bagi PDIP dan Jokowi adalah killing ground.
Selama dua periode, Jabar dipimpin oleh gubernur yang berasal dari PKS.
Melihat sejarahnya sejak Pemilu 1955, partai-partai Islam juga selalu mendominasi
perolehan suara. Jadi Jabar adalah wilayah “hijau” yang harus direbut.
Potensi partai koalisi
pendukung pemerintah untuk kembali kalah pada pilkada Jabar, juga sangat
besar. Sebagai provinsi yang berbatasan
dengan Jakarta, Jabar terkena imbas langsung pertarungan politik
Pilkada DKI 2017.
Banyak warga Jabar yang terlibat langsung
dalam perang di dunia maya, dan berbagai Aksi Bela Islam (ABI) yang berhasil
menumbangkan Ahok.
Pertarungan politik dengan
polarisasi serupa pilkada DKI, berpotensi terulang di Jabar. Indikasinya
terlihat cukup jelas ketika Nasdem mencalonkan Walikota Bandung Ridwan Kamil
Gerakan untuk memboikot Ridwan Kamil
bergema di media sosial, dan simpul-simpul gerakan Islam.
Kalkulasi semacam itulah yang
sejak awal sudah dibaca dengan cermat oleh PDIP dan Jokowi. Hal itu
menjelaskan mengapa kemudian Jokowi menawari Wagub Jabar Deddy Mizwar (Demiz)
untuk mencarikan parpol pengusung. Jokowi coba menerapkan strategi merangkul untuk mengalahkan musuh. Demiz
akhirnya diusung oleh koalisi Gerindra-PKS berpasangan dengan Ketua DPW PKS Jabar Achmad Syaichu.
Koalisi Gerindra-PKS adalah the
dream team bersama PAN berhasil menumbangkan Ahok. Melihat mood di kalangan
umat Islam, mereka berpotensi kembali mengulang kemenangan di Jabar.
Sayangnya di tengah jalan,
koalisi Gerindra-PKS terancam pecah. Manuver DPD Gerindra Jabar membuat
status Demiz-Syaichu menjadi tidak jelas.
Dalam kondisi seperti itulah
PDIP melakukan manuver. Mereka melakukan berbagai lobi yang intensif untuk
mendekati Netty Heryawan, termasuk juga mendekati Demiz. Pendekatan terhadap
Netty bahkan sudah berlangsung jauh sebelumnya.
PDIP dengan jeli melihat
peluang bahwa Netty sebagai istri seorang gubernur mempunyai jaringan luas,
dan potensial mendulang suara.
Setidaknya ada dua kalkulasi
politik mengapa PDIP melakukan manuver langsung menyerang ke jantung musuh
terberat mereka, PKS.
Pertama, melihat apa yang
terjadi di Jatim dan Sulsel, PDIP bersedia menurunkan posisi tawarnya dengan
mengusung calon lain yang dinilai potensial menang. Dengan begitu PDIP
terhindar dari kekalahan beruntun.
PDIP tetap mendapat keuntungan
melalui akuisisi politik dengan menjadikan salah satu kandidat sebagai
kadernya. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang nota bene kader PKB,
sudah berganti baju menjadi kader PDIP.
Koalisi semacam ini juga bisa
meredakan ketegangan politik dan polarisasi antara pendukung kelompok
nasionalis-relijius yang belakangan ini kembali mengental. Dalam konteks
Pileg dan Pilpres 2019 situasi semacam itu akan menguntungkan PDIP dan
Jokowi.
Kedua, dengan berhasil
merangkul Netty, atau Demiz maka PDIP dan Jokowi bisa memecah kekuatan umat.
Dengan begitu Ridwan Kamil calon yang
diusung oleh koalisi partai pemerintah
(Nasdem, PPP, PKB, dan Golkar) bisa melenggang dan memenangkan pertarungan.
Tugas utama Ridwan Kamil
mengamankan Jokowi pada Pilpres 2019, dan berbagai kepentingan pemerintah
pusat lainnya di Jabar.
Melihat keteguhan sikap Demiz,
dan loyalitas Netty sebagai kader PKS, skenario itu tampaknya akan sulit
terwujud. Netty sudah berkali-kali menolak, dan menegaskan sikapnya yang mengikuti garis partai.
Skenario itu juga pasti sudah
dibaca oleh pimpinan Gerindra, dan
PKS. Bila Gerindra dan PKS dapat menyatukan barisan, apalagi ditambah dengan
PAN yang sudah menyatakan akan mendukung Demiz, maka pengulangan kemenangan
seperti di Pilkada DKI sangat terbuka.
Jangan lupa di Jabar terdapat
kontroversi pembangunan kota Meikarta yang sejak awal ditentang oleh Demiz.
Meikarta akan menjadi sebuah isu panas seperti Reklamasi Pantai Utara
Jakarta. Isu ini bisa menyatukan simpul-simpul masyarakat madani.
Sikap Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan yang kembali “pasang
badan” dengan menghadiri topping off
tower Meikarta, semakin memperkuat
asosiasi bahwa Meikarta sama dengan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Bila calon yang didukung
pemerintah memenangkan pilkada Jabar, maka dipastikan pembangunan Meikarta
akan berlanjut. Bila sebaliknya, maka tarik menarik kepentingan seperti yang
terjadi antara pemerintah pusat c/q Luhut Panjaitan dengan Anies-Sandi bakal
terulang di Jabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar