Tokoh
Pelintas Batas Itu Telah Tiada
Musdah Mulia ; Ketua Umum Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP)
|
KOMPAS,
21 November
2017
Djohan Effendi adalah nama yang
tak asing di kalangan pemerhati dialog agama; bukan hanya di Indonesia,
melainkan juga di mancanegara. Kegigihan dan ketekunannya merajut perdamaian
melalui dialog di antara berbagai penganut agama membuat dirinya pantas
disebut tokoh Pelintas Batas.
Di kalangan pemikir Islam
progresif, Djohan disejajarkan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
dan Ahmad Wahib. Mereka juga disebut pemikir neomodernis Islam.
Pada hari Jumat, 17 November,
sekitar pukul 22.00 waktu Geelong, Melbourne, ia berpulang ke rahmatullah,
tepatnya di Nursing Home McKellar, Centre Geelong, Melbourne, Australia,
didampingi putra-putrinya yang sudah lama bermukim di sana.
Djohan lahir di Kandangan,
Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939. Setelah menamatkan pendidikan dasar, atas
biaya ikatan dinas pemerintah, ia melanjutkan ke pendidikan guru agama (PGA)
di Banjarmasin. Setelah itu ia masuk Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)
Yogyakarta, lalu IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (tamat 1970). Di sana ia
mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Djohan merenungkan sejumlah
konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir,
kebebasan manusia, dan kekuasaan Tuhan. ”Itu nyaris menggoyahkan keimanan
saya.”
Djohan memulai kariernya di
lingkungan Kementerian Agama sebagai pegawai Departemen Agama Amuntai,
Kalimantan Selatan (1960-1962). Berturut-turut jabatannya adalah Staf
Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta (1972-1973), Staf Pribadi
Menteri Agama (1973-1978), Peneliti Utama Depag (sejak 1993), Staf Khusus Sekretaris
Negara/Penulis Pidato Presiden (1978-1995), Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Agama (1998-2000), dan terakhir sebagai Menteri
Sekretariat Negara (2000-2001).
Meskipun Djohan pegawai negeri
sipil, ia selalu bersikap kritis terhadap pemerintah dan negara. Ia bersama
Gus Dur dan sejumlah pemuka agama dari beberapa agama mendirikan Indonesian
Conference on Religions for Peace (ICRP), suatu organisasi lintas agama yang
memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pemenuhan hak kebebasan beragama bagi
semua warga negara tanpa kecuali. ICRP dikenal sebagai organisasi yang amat
kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang diskriminatif atas nama
agama.
Demikian pula ketika dikaryakan
ke Sekretariat Negara. Kehadirannya di Sekretariat Negara khusus untuk
membantu menyusun pidato mantan Presiden Soeharto. ”Kesepakatannya, saya
jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui.” Itu prinsipnya.
Pribadi terbuka
Djohan sosok yang tak banyak
bicara. Ia lebih suka mendengar. Di sisi lain, ia sangat terbuka, mudah
akrab. Sikap itu sudah berakar sejak kecil. Selain mengaji, Djohan kecil
keranjingan baca biografi tokoh dunia. Ketekunan itu diwariskan ibunya yang,
sekalipun pedagang kecil, getol membaca.
Ketika pengembaraan
intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku Ahmadiyah
karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito,
dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah
yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Sejak itu ia dekat dengan
orang-orang Ahmadiyah.
Pada 1992 ia meraih gelar ahli
peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar.
Pidato pengukuhannya: ”Pembangunan Kehidupan Beragama dalam Perspektif Negara
Pancasila”. Dalam pidato itu Djohan menyinggung keberadaan kelompok penganut
minoritas yang sering mendapat perlakuan tidak adil, seperti Khonghucu dan
Bahai. Ia pernah disuruh menghapus bagian pidato itu, tetapi ia tidak mau.
Ketika Tarmidzi Taher menjadi
menteri agama (1993-1998), Djohan ”dikucilkan” di lingkungan Kementerian
Agama. Kariernya sebagai penulis pidato presiden pun tamat ketika ia ”nekat”
mendampingi Gus Dur ke Israel, 1994. Kunjungan ditentang keras sejumlah
kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, ikut
menyesalkan.
Kulturalis
Tahun 1995 Djohan pindah ke
Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong,
Victoria. Disertasinya ”Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda
NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU”.
Dari segi pemikiran, Djohan
memang dekat dengan Gus Dur. Keduanya ”bermazhab” kulturalis dan sama-sama
penganjur inklusivisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan
Djohan di Forum Demokrasi (Gus Dur sempat lama jadi ketuanya). Tak heran, Djohan
kemudian menjadi salah satu menteri dalam kabinet Gus Dur.
Satu hal yang perlu dicatat
dari pemikiran Djohan adalah pembangunan bidang agama. Menurut dia,
pembangunan kehidupan beragama di Indonesia belum memiliki konsep yang jelas.
Bagi Djohan, tanpa penjelasan konseptual tentang kata agama, arah pembangunan
bisa kabur.
Ketika menjabat Kepala Badan
Litbang Departemen Agama, ia sering mengingatkan para peneliti: ”Kita harus
menjunjung tinggi integritas dan obyektivitas. Jangan mengorbankan integritas
sekadar mencari credit point. Mengorbankan integritas kepenelitian adalah aib
yang menodai kepercayaan dan mungkin pula kehormatan yang melekat dalam
jabatan kepenelitian.”
Bagi saya, ia adalah tokoh yang
dapat diteladani bukan hanya dalam kebersahajaan dan kesederhanaan hidup,
melainkan juga dalam kegigihan menegakkan prinsip keadilan bagi semua warga
negara tanpa kecuali. Dia adalah tokoh lintas agama dan pejuang kemanusiaan
yang sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar