Menyoal
Visi Transportasi Gubernur Anies
Tulus Abadi ; Ketua Pengurus Harian YLKI;
Anggota Dewan
Transportasi Kota Jakarta periode 2010-2013
|
MEDIA
INDONESIA, 21 November 2017
BELUM seumur jagung Anies
Baswedan memimpin Jakarta. Tentu belum banyak kebijakan publik yang bisa
ditelurkan. Selain soal penutupan Alexis, dengan segala hiruk pikuknya, plus
berhasil bernegosiasi dengan sekelompok masyarakat yang emoh menjual lahannya
untuk dilewati jalur MRT. Alih-alih Gubernur Anies justru mengusung wacana
untuk menghidupkan kembali keberadaan sepeda motor di koridor
Soedirman-Thamrin, yang selama beberapa tahun terakhir ini ditutup aksesnya.
Gubernur Anies menegaskan bahwa
jalan di Jakarta harus bisa diakses semua pengguna kendaraan. Bukan hanya
milik kendaraan roda empat. Pengguna sepeda motor martabatnya sama dengan
martabat pengguna roda empat, begitu tandas Gubernur Anies.
Jika konteksnya hanya masalah
akses, apa yang dinyatakan Gubernur Anies itu tak salah-salah amat. Kota
Jakarta memang milik semua lapisan. Oleh karenanya harus bisa diakses semua
lapisan pula. Namun, sayangnya, pernyataan Gubernur Anies minus ideologi,
minus keberpihakan, dan minim sentuhan kebijakan transportasi publik yang
bersifat universal.
Beberapa alasan berikut ini
menjawab fenomena kebijakan transportasi Anies terkait dengan sepeda motor.
Pertama, Jakarta harus bisa diakses semua, tentu sepakat. Akan tetapi, kenapa
hanya sepeda motor yang diberikan ‘karpet merah’. Masih banyak moda
transportasi yang digunakan warga Jakarta, seperti bajaj, atau bahkan bemo
dan sepeda.
Di negara-negara Eropa seperti
di Belanda, Denmark, dan Jerman, pengguna sepeda diberikan akses yang sangat
kuat. Di Belanda, penggowes sepeda merupakan raja jalanan yang sangat
dihormati dan diberikan perlindungan hukum khusus. Jika Gubernur Anies memang
seorang universalis, becak pun harus diberikan akses dan beroperasi di Jalan
Soedirman-Thamrin. Batalkan itu Perda No 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban
Umum yang melarang becak beroperasi di Jakarta. Pada titik ini Gubernur Anies
akhirnya terjebak pada pemikiran dan kebijakan yang sangat kapitalistik
karena hanya berpihak pada kepentingan ekonomi industri otomotif belaka.
Kedua, Gubernur Anies juga
tidak mengakomodasi pemahaman manajemen transportasi publik bahwa hierarki
dalam bertransportasi yang paling bermartabat ialah pejalan kaki dan atau
penggowes sepeda karena kedua pelaku inilah pengusung transportasi yang
berkelanjutan; nirpolusi, nirkecelakaan, dan nirsubsidi oleh negara.
Bandingkan dengan pengguna
kendaraan bermotor yang penyumbang utama polusi dan kerusakan lingkungan,
tinggi kecelakaan lalu lintas, dan rakus terhadap subsidi. Lihatlah fakta,
pengguna sepeda motor dominan terlibat kecelakaan lalu lintas (laka lantas),
76%, dari total laka lantas. Per tahun 31 ribu orang Indonesia meninggal
karena laka lantas, dan 71% melibatkan pengguna sepeda motor. Pada titik ini
Gubernur Anies melihat eksistensi sepeda motor hanya dengan kacamata kuda.
Ketiga, Gubernur Anies gagal
paham bahwa selama ini hanyalah sepeda motor yang belum dikendalikan. Sepeda
motor praktis diistimewakan, buktinya saat three in one, motor tidak berlaku.
Ganjil-genap sepeda motor juga dikecualikan. Bahkan pada kebijakan terbaru,
yakni jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) pun sepeda motor tidak
termasuk. Jika tak mau dibatasi aksesnya, boleh saja, tapi pada sepeda motor
harus diberlakukan salah satu instrumen pengendalian dimaksud, bisa
ganjil-genap dan atau ERP. Sekali masuk ke jalan ber-ERP diberlakukan tarif
Rp5.000-Rp10 ribu per sekali lewat. Mau?
Saat ini, menurut data Badan
Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), jumlah perjalanan di Jabodetabek
mencapai hampir 41 juta trip, dan 25 juta trip berada di Jakarta. Jumlah
kendaraan bermotornya mencapai 13,9 juta unit untuk sepeda motor dan 4,6 juta
unit untuk kendaraan mobil pribadi. Sepeda motor sudah menjadi raja jalanan
untuk semua lini jalan di Jakarta, termasuk di gang-gang sempit sekalipun.
Dalam skala nasional, tidak
kurang dari 30%-35% kendaraan bermotor pribadi dimiliki warga Jabodetabek.
Mengacu pada konfigurasi tersebut, diperlukan upaya pembatasan dan
pengendalian kendaraan pribadi secara radikal. Dampak sosial atas dominannya
penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta bukan hanya kemacetan. Kerugian
sosial ekonomi akibat kemacetan itulah yang begitu dahsyat. Kerugian
kesehatan diperkirakan mencapai Rp38,5 triliun yang digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit akibat polusi, bahkan stres. Pemborosan bahan bakar minyak
diprediksi mencapai Rp29,7 triliun.
Di sisi lain, memperkuat peran
angkutan umum massal juga harus menjadi keniscayaan. Wujudkan akses angkutan
umum massal yang nyaman, aman, cepat, dan tarif terjangkau. Sterilkan jalur
Trans-Jakarta agar waktu tempuhnya memenuhi target yang ditetapkan. Hilangkan
lintasan sebidang pada jalur KRL, commuter line. Dua kebijakan itulah yang
mau tidak mau harus ditempuh Gubernur Anies Baswedan.
Dengan demikian, upaya untuk
membuka akses Jl Sudirman-Thamrin untuk pengguna sepeda motor adalah langkah
mundur. Tengoklah kota-kota besar di dunia lain, adakah sepeda motor yang
menyemut seperti di Jakarta? Adalah sangat lucu jika Gubernur Anies
memerintahkan Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta untuk melakukan redesain
pembangunan trotoar di Jl Sudirman-Thamrin agar bisa diakses sepeda motor.
Alamak, di mana pun fungsi trotoar ya untuk pejalan kaki, bukan pemotor.
Regulasi kita pun meneguhkan hal itu. Jika hal ini benar-benar terwujud, akan
menjadi bahan tertawaan dunia.
Dalam menata transportasi dan
tata kota yang bermartabat dan manusiawi, seyogianya Gubernur Anies merujuk
pada pengalaman empiris berikut ini. Pertama, pendapat Penalosa, mantan Wali
Kota Bogota, Kolombia, menyatakan kota yang beradab adalah jika orang kayanya
mau naik angkutan umum dan orang miskinnya tidak bermimpi memiliki kendaraan
pribadi.
Pendapat kedua, PM Singapura
Goh Chok Tong, menandaskan bahwa mobil (dan sepeda motor) itu seperti
kolesterol dalam tubuh kita. Kolesterol sangat diperlukan, tapi jika
berlebihan akan menyumbat peredaran darah ke jantung. Kini, level kendaraan
pribadi di Jakarta bak superkolesterol yang menyumbat semua lini aliran darah
dalam bermobilitas.
Seharusnya visi semacam inilah
yang diusung dan dikembangkan seorang Anies Baswedan. Bukan saja untuk
mengatasi gurita kemacetan, melainkan juga untuk mewujudkan Jakarta sebagai
kota yang bersih, sehat, aman, dan manusiawi bagi warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar