Deradikalisasi
di Saudi
dan
Masa Depan Salafi Wahabi
Irfan L Sarhindi ; Pengasuh Salamul Falah; Lulusan University College London; Associate
Researcher di Akar Rumput Strategic Consulting
|
DETIKNEWS,
31 Oktober
2017
Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dan
Salafi Wahabi telah sejak lama berdiri beriringan dalam suatu kerja sama dan
nota kesepahaman yang saling menguntungkan. Hubungan keduanya dapat dilacak
sejak abad ke-18 ketika Abdul Wahhab menemukan 'harapan' pada seorang ambisius
bernama Ibnu Saud. Ketika KSA 'bangkit' kembali di abad ke-20 --'terima
kasih' untuk Lawrence of Arabia-- dengan daerah kekuasaan meluas hingga ke
Tanah Hijaz, Salafi Wahabi mendapatkan sokongan legitimasi sebagai,
katakanlah, manhaj berpikir keislaman di kerajaan tersebut.
Tetapi belakangan ini, dunia
dikejutkan oleh pernyataan Putra Mahkota KSA, Pangeran Muhammad bin Salman,
ihwal kampanyenya membasmi ekstremisme dan radikalisme Islam. Pernyataan
tersebut disampaikan dalam Konferensi Future Investment Initiative di Riyadh.
"Kami ingin menjalani kehidupan normal, kehidupan di mana agama dan
tradisi kami diartikan sebagai toleransi," ujar Pangeran. Kepada The
Guardian, sang Putra Mahkota tersebut menegaskan bahwa ekspresi
ultrakonservatif Islam di Arab Saudi sudah 'tidak normal' dan 'membahayakan'
sehingga ia harus diputus dan dibasmi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Penegasan itu bukan semata
isapan jempol. Pada September pemerintah KSA telah menangkap 20 imam dan kaum
intelektual yang dianggap menyebarkan ekspresi ekstremisme Islam. Perempuan,
yang telah sejak lama didomestikasi atas dalih dalil-dalil agama, kini diberi
kesempatan di ruang-ruang publik. Contohnya, mereka kini diberi izin
mengemudi. Sewaktu di London saya beberapa kali berdiskusi dengan Arwa,
perempuan Saudi, yang diberi beasiswa oleh KSA untuk menempuh S2 di bidang
pendidikan. Suatu terobosan besar mengingat ultrakonservativisme Islam di
sana.
Terlepas dari semua itu,
pernyataan sang Putra Mahkota sontak menjadi headline di mana-mana. Sebagian
mengkaitkannya dengan pertanyaan akan bagaimana nasib Salafi Wahabi
selanjutnya? Pertanyaan tersebut menjadi relevan mengingat Salafi Wahabi,
dalam banyak kajian ilmiah, dianggap menawarkan ekspresi Islam yang (terlalu)
konservatif. Kampanyenya untuk memurnikan ajaran Islam dianggap bias dan
judgemental. Miskonsepsi atas klaim "pemurnian Islam" ala Salafi
Wahabi, menurut Azyumardi Azra, membikin ekspresi unik Islam Asia Tenggara
terkesan sinkretis dan "tidak orisinal". Lukens-Bull, di sisi lain,
menilai Islam murni yang ditawarkan Salafi Wahabi terlalu kaku; kering dari
apa yang disebut Azra sebagai flowery Islam. Tamim al-Ansary, sejarawan
Muslim asal Afghanistan, menyebut pemikiran Abdul Wahhab "terkesan
berlebihan dan obsesif".
Sehingga, ini membawa kita
kembali kepada pertanyaan: apakah yang dimaksudkan sang Putra Mahkota sebagai
deradikalisasi Islam di Arab Saudi adalah pembasmian Salafi Wahabi? Jika ya,
bagaimana kiranya reaksi di dalam Arab Saudinya sendiri, menimbang romansa KSA-Salafi
Wahabi selama berabad-abad? Lalu, bagaimana masa depan "kantor-kantor
cabang" Salafi Wahabi di pelbagai belahan dunia lainnya, wabil khusus,
di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita lihat 'pihak ketiga' di dalam romansa tersebut, yaitu
minyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa romansa KSA-Salafi Wahabi ditopang oleh
keberlimpahan minyak yang dimiliki oleh kerajaan tersebut. Oleh sebab
pemasukan dari minyaklah, KSA dapat mendukung upaya dakwah Salafi Wahabi
tidak hanya di dalam negeri tetapi bahkan ke pelbagai negara. Kalau Anda
pernah berhaji, Anda pasti akan pernah mendapat kesempatan 'dibagi' buku-buku
kajian agama gratis. Isinya tentu saja kajian dari sudut pandang Salafi
Wahabi.
Dengan sumber pendanaan yang
melimpah, Salafi Wahabi dapat dengan mudah membangun sekolah dan perguruan
tinggi di sini dan di sana. Sewaktu menghadiri Konferensi Transformational
Business Network Asia September lalu, Ummi Waheeda binti Abdurrahman,
pemimpin Ponpes Nurul Iman Bogor, bercerita bagaimana ia ditawari sejumlah
uang dengan catatan bersedia menyuruh santri-santri perempuan bercadar dan
mengganti kurikulum ajar di sana dengan kurikulum Salafi Wahabi.
Namun begitu, kita tahu bahwa
hari-hari ini KSA terancam oleh semakin berkurangnya cadangan minyak yang
mereka miliki. Mereka tidak bisa lagi menyandarkan ekonomi mereka pada
minyak. Itu sebabnya sang Raja melawat ke sana ke mari, berinvestasi di sini
dan di sana. Rupanya, Putra Mahkota menyadari bahwa ekspresi
ultrakonservativisme Islam di Arab Saudi dapat menjadi hambatan ambisi
pemerolehan sumber-sumber pendapatan lain; termasuk ambisi membangun kota
megapolitan nan futuristik.
Tetapi, apakah benar yang
dimaksud sang Putra Mahkota, sebagai Islam yang radikal adalah Salafi Wahabi?
Kalau dilihat dari pernyataannya, Pangeran sama sekali tidak menyebut istilah
Salafi Wahabi. Ini tidak mengejutkan karena kawan-kawan saya yang secara ideologis
menganut Salafi Wahabi tidak mau disebut Salafi Wahabi juga. Tetapi, yang
menarik adalah pernyataan sang Pangeran bahwa "Saudi tidak seperti ini
sebelum 1979. Arab Saudi dan kawasan mengalami kebangkitan setelah 1979...
Semua yang kita lakukan adalah kembali ke jati diri kita: Islam moderat yang
terbuka pada semua agama dan kepada dunia dan semua tradisi dan semua
orang."
Dari sana, kita bisa melihat
bahwa bagi sang Pangeran, Arab Saudi pada mulanya adalah moderat. Mengingat
hubungan Salafi Wahabi dan Arab Saudi telah ada sejak awal, maka bagi Putra
Mahkota, Salafi Wahabi sudah (cukup) moderat. Kedua, baginya, ekspresi Islam
di Arab Saudi mengeras pasca revolusi Iran 1979 itu. Alhasil, boleh jadi yang
dimaksud dari memoderatkan Arab Saudi bukanlah 'menjinakkan' Salafi Wahabi
secara keseluruhan, tetapi lebih kepada ekspresi keislaman yang tidak sesuai
dengan misi KSA. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana 20 imam dan intelektual
yang ditahan adalah mereka yang dianggap berafiliasi dengan Ikhwanul Mukminin
dan/atau yang menentang kebijakan KSA terkait boikot Qatar dan serangan ke
Yaman. Ikhwanul Mukminin sendiri adalah organisasi yang dilarang di KSA.
Sehingga, kemudian, agak sulit
untuk menganggap bahwa janji Putra Mahkota ini akan memberikan dampak "negatif"
terhadap "kantor-kantor cabang" Wahabi di seluruh penjuru dunia.
Selain karena Putra Mahkota yakin Salafi Wahabi pada dasarnya moderat, tetapi
juga karena dia sepertinya hanya peduli pada kondisi di dalam negeri saja.
Tujuannya jelas: menyelamatkan marwah dan ekonomi KSA sebagai anggota G20.
Tetapi, bahkan kalaupun
kampanye ini memang menyangkut ultrakonservativisme Salafi Wahabi dan
kepedulian mencakup seluruh "kantor cabang" Salafi Wahabi di
seluruh dunia, kita tahu bahwa "kantor-kantor cabang" ini
sepertinya tidak lagi terlalu tergantung pada KSA dan minyaknya. Di Indonesia
misalnya, Salafi Wahabi dianggap sangat mahir dalam optimalisasi internet,
sehingga mereka bisa mendapatkan kapital yang cukup untuk operasional dakwah
mereka dari sana. Dengan demikian, ada kecenderungan bahwa kampanye sang
Putra Mahkota ini tidak akan terlalu direspons oleh ustad-ustad
"galak" itu secara sami'na wa
atho'na. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar