Menjaga
Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah dan IMF
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM Faculty Member of Bank Indonesia Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2017
DANA Moneter Internasional
(IMF) baru saja menerbitkan laporan dan proyeksi perekonomian terbarunya
tentang perekonomian global, World Economic Outlook: Seeking Sustainable
Growth, Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, dirilis 10 Oktober 2017.
Intinya, pertumbuhan ekonomi
global baru akan beranjak naik sedikit dari 3,6% (2017) menjadi 3,7% (2018).
Itulah yang mereka sebut 'pemulihan jangka pendek'.
Namun, dalam periode yang lebih
panjang, pertumbuhan ekonomi belum bisa diakselerasi lebih cepat.
Perekonomian global masih terjal.
Proyeksi tersebut lebih baik
0,1% untuk kedua tahun tersebut (2017 dan 2018) jika dibandingkan dengan
proyeksi sebelumnya yang dilakukan pada April dan Juli 2017.
Perbaikan ekonomi tersebut,
meski amat kecil, didasarkan pada data investasi, perdagangan, dan kondisi
produksi industri.
Data kuantitatif itu juga
diperkuat dengan data kualitatif berupa tingkat kepercayaan dunia bisnis dan
konsumen (business and consumer confidence) yang menguat.
Secara lebih spesifik, IMF
menyebut beberapa negara dan kawasan yang pertumbuhan ekonominya sedikit
melebihi ekspektasi, seperti zona euro, Jepang, Tiongkok, emerging euro
(negara-negara Eropa 'lapis kedua'), dan Rusia.
Kinerja mereka mampu mengompensasi
tiga negara besar yang tampil lebih lemah daripada ekspektasi, yakni Amerika
Serikat, Inggris, dan India.
Namun, secara umum,
perekonomian global memang masih enggan beranjak jauh.
Tren inflasi dan suku bunga
Yang menarik, IMF juga
melaporkan banyak negara mengalami inflasi rendah, yang mengindikasikan
lesunya perekonomian sehingga sulit diharapkan untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Pernyataan itu penting untuk
digarisbawahi mengingat selama ini suka terjadi salah interpretasi bahwa
inflasi rendah merupakan hal yang selalu baik. Belum tentu.
Jika inflasi rendah itu selalu
baik, tentu akan menyebabkan meningkatnya gairah belanja. Jika itu terjadi,
hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Inilah yang terjadi di Indonesia
pada saat ini: ketika inflasi bisa ditekan rendah ke 3,58% (year on year
Oktober 2017), tetapi kenapa pertumbuhan ekonomi triwulan III/2 2017 hanya
5,06%? Jawabannya ialah karakteristik inflasi rendah kali ini lebih mengarah
ke lesunya orang berbelanja.
Hal itu bisa disebabkan unsur
ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi, yang menyebabkan orang enggan
berbelanja atau menunda belanjanya.
Bisa juga masyarakat mulai
tercekam oleh agresivitas pemerintah dalam menarik pajak, untuk mengatasi
shortfall (penerimaan pajak meleset dari target).
Itulah sebabnya, dalam kasus
AS, Kepala The Fed Janet Yellen begitu menginginkan agar inflasi mencapai 2%.
Dalam beberapa tahun terakhir,
inflasi AS selalu di bawah 2%.
Namun, saat ini, keinginan itu
tercapai. Inflasi AS saat ini 2,2%.
Akibatnya, pasar merespons
positif data itu dan ikut menyumbang rally di Bursa Efek New York (NYSE)
sehingga Dow Jones index mencapai rekor baru di atas 23.500.
Dalam kasus lain yang lebih
ekstrem, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) juga tidak suka jika terjadi
deflasi (inflasi negatif) karena hal itu tidak memberi insentif produsen
untuk menambah kapasitas produksi, yang berarti ekspansi ekonomi.
Pendek kata, data inflasi yang
lemah juga berimplikasi pada permintaan (demand) dan ekspansi kapasitas
produksi yang lemah, alias pertumbuhan ekonomi rendah.
Karena itu, inflasi yang
terlalu rendah juga perlu dihindari.
Itulah sebabnya Bank Indonesia
juga tidak bisa untuk terus-menerus menurunkan suku bunga acuannya karena ada
keterbatasan ruang gerak.
Jika suku bunga acuan terus
diturunkan, selain belum tentu efektif untuk menurunkan suku bunga kredit
perbankan (yang diharapkan dapat mendorong ekspansi kredit), juga berisiko
terjadinya pelemahan rupiah.
Penurunan suku bunga deposito
lebih lanjut malah bisa memicu orang untuk mengalihkan aset mereka ke
pembelian dolar AS.
Di sisi lain, negara maju
seperti AS justru kini terus berupaya menaikkan suku bunga mereka untuk
menuju ke ekuilibrium baru.
Suku bunga sebelum krisis 2008
di AS mencapai 6%, lalu diturunkan hingga 0,25%, dan kini 1,25%, yang
diharapkan kembali naik menuju 2%.
Satu-satunya kandidat Kepala
The Fed yang baru, Jerome Powell, dipastikan akan melanjutkan kebijakan Janet
Yellen.
Dia harus terus menaikkan suku
bunga secara bertahap, untuk menormalkan kondisi moneter AS.
Suku bunga yang terlalu rendah
hanya menyebabkan likuiditas di pasar uang menjadi terlalu berlebihan (excess
supply).
Itu merupakan dampak
quantitative easing pada periode Ben S Bernanke.
Sesuai dengan teori John
Maynard Keynes (1936), hal itu bisa menyebabkan terjadinya aksi spekulasi
(speculative motive) yang menimbulkan gelembung di pasar finansial (financial
bubbles).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
Selanjutnya IMF juga
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
IMF menaikkan proyeksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% (diproyeksikan April 2017) menjadi
5,2%.
Perlu dicatat, bahwa proyeksi
IMF tersebut diumumkan sebelum BPS mengumumkan pencapaian pertumbuhan ekonomi
triwulan III 2017 yang 'hanya' 5,06%.
Jika tahu data terbaru
tersebut, bisa jadi IMF membuat proyeksi yang lebih konservatif, misalnya
5,1%.
Di kawasan Asia Tenggara,
pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2% tersebut masih di bawah Filipina (6,6%),
Vietnam (6,3%), Malaysia (5,4%), tetapi berada di atas Thailand (3,7%) dan
Singapura (2,5%).
Proyeksi terbaru pertumbuhan
ekonomi 2017 sebesar 5,2% tersebut persis sama dengan versi pemerintah.
Proyeksi terhadap negara-negara
ASEAN juga sama.
Sebaliknya pada 2018,
perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,3%, atau sedikit lebih rendah daripada
proyeksi pemerintah 5,4%.
Menurut IMF, sedikit kenaikan
pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan meningkatnya permintaan
dari Tiongkok dan Eropa.
IMF memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Tiongkok tahun ini 6,8%, atau lebih baik daripada sebelumnya.
Namun, harus diakui, bahwa bagi
Indonesia, pertumbuhan ekonomi Tiongkok 6,8% sesungguhnya tidak berarti
banyak bagi kita dan kawasan ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Malaysia,
Filipina, dan Vietnam).
Level itu praktis masih jauh di
bawah double digit sebagaimana dialami Tiongkok selama delapan tahun
berturut-turut 2001-2008.
Level setinggi itu tidak
mungkin diulang Tiongkok lagi karena situasi kini telah berbeda jauh.
Tiongkok memang masih bisa
menjaga surplus perdagangan mereka, tetapi tidak mungkin bisa menaikkannya
lagi seperti periode sebelumnya karena biaya produksi yang terus meningkat,
seiring dengan level pendapatan penduduk mereka yang meninggi.
PDB per kapita Tiongkok kini
sudah mencapai US$9.000, atau tidak bisa dibilang murah lagi untuk menjadi
negara basis produksi.
Vietnam diam-diam mulai
mengintai peluang itu sebagai negara basis produksi (host country)
berikutnya.
Kunci pencapaian pertumbuhan
ekonomi bagi Indonesia ialah belanja masyarakat (consumption expenditure).
Inilah komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) terbesar kita. Konsumsi
(C) menyumbang 57%, yang jauh di atas investasi (I), belanja modal pemerintah
(G) maupun surplus ekspor (X-M).
Data terakhir surplus ekspor
hingga Oktober 2017 mencapai US$10 miliar.
Hal itu berkontribusi pada
kenaikan cadangan devisa yang kini mencapai rekor tertinggi, hampir US$130
miliar.
Tingginya cadangan devisa itu
diharapkan dapat meredam kemungkinan terjadinya depresiasi rupiah yang
disebabkan kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2017 nanti.
IMF memproyeksikan belanja
konsumsi masyarakat tetap bisa tumbuh 5%.
Seperti diketahui, akhir-akhir
ini komponen ini tergelincir ke level sedikit di bawah 5%.
Idealnya, agar pertumbuhan
ekonomi bisa mencapai level yang normal untuk kasus Indonesia (6% ke atas),
belanja konsumsi juga harus dijaga pertumbuhannya, setidaknya 6%.
Karena itu, Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati harus bisa menjaga ritme APBN 2017 pada bulan terakhir 2017
ini.
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% terhadap
PDB.
Sebaliknya APBN 2017 disusun
dengan asumsi defisit 2,92% terhadap PDB.
Memang ada wacana agar defisit
tersebut dapat diturunkan, misalnya menjadi sekitar 2,5% saja.
Namun, dalam kondisi sekarang
tampaknya hal tersebut sangat sulit dilakukan.
Penurunan defisit memang masih
mungkin dicapai, misalnya dengan melemahnya penyerapan anggaran, sebagaimana
sering terjadi selama ini.
Namun, hal itu bukanlah hal
yang ideal karena Presiden Jokowi sedang sangat berhasrat untuk mendorong
pembangunan infrastruktur, yang anggarannya mendekati Rp400 triliun.
Karena itu, kalaupun defisit
bisa ditekan, saya duga angkanya masih sekitar 2,7% terhadap PDB.
Pada titik ini belanja modal
dan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah tetap dapat dijaga meski dengan
kecepatan yang tidak maksimal.
Artinya, energi untuk menghela
pertumbuhan ekonomi tidaklah bisa dilakukan secara 100%.
Akibatnya, saya duga
perekonomian Indonesia 2017 akan tumbuh 5,1%, atau sedikit di bawah proyeksi
pemerintah dan IMF (5,2%).
Tidak apa meleset sedikit,
karena di sisi lain kita tetap dapat menyokong APBN yang berkelanjutan
(sustainable).
Yang juga tak kalah penting:
kita tetap bisa memelihara asa untuk tumbuh lebih tinggi, sedikitnya 5,3%
pada 2018, sebagaimana ekspektasi pemerintah dan IMF. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar