Para
Wartawan, Belajarlah!
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
20 November
2017
Tahun lalu beberapa media
online memberitakan adanya ilmuwan Indonesia yang dinominasikan untuk meraih
Hadiah Nobel. Para pembaca awam mungkin akan bergembira membaca berita
semacam ini. Tapi orang-orang yang bergelut di bidang riset akan berkerut
kening, atau malah tertawa terbahak-bahak.
Kalau wartawan yang menulis
berita itu mau sedikit rajin, ia bisa memerika situs Nobel Prize. Di situ
disebutkan bahwa nominasi dilakukan melalui proses undangan. Artinya, pihak
panitia yang akan mengundang peneliti ataupun institusi untuk menominasikan.
Lebih penting lagi, nominasi itu bersifat rahasia, dan akan dijaga selama 50
tahun. Maka, situs Nobel Prize menulis, kalau ada rumor tentang seseorang
yang dinominasikan, tentu itu sifatnya spekulasi saja.
Berita tentang nominasi Hadiah
Nobel untuk peneliti Indonesia itu pun sebuah rumor saja. Dari mana
sumbernya? Dari peneliti itu sendiri. Kita bisa bayangkan prosesnya. Si
peneliti mengirim tulisan rumor tentang dirinya sendiri, media online
memuatnya, tanpa melakukan pemeriksaan sama sekali.
Itu adalah kejadian berulang di
media kita. Sekitar 7 tahun lalu, sebuah stasiun TV menyebut seorang peneliti
Indonesia sebagai penemu sistem komunikasi 4G. Lagi-lagi orang yang paham
akan tertawa. Sistem komunikasi itu tidak ditemukan, tapi disepakati. Perlu
bertahun-tahun sampai berita ini berhasil diluruskan, termasuk oleh
ilmuwannya sendiri. Sebenarnya ia mungkin bisa meluruskannya pada saat proses
rekaman acara itu.
Sekitar dua tahun yang lalu
juga beredar berita tentang seorang tukang las di Bali yang mengaku berhasil
membuat lengan elektro-mekanik yang dikendalikan dengan gelombang otak. Ia
diberi gelar Iron Man. Wartawan yang datang meliput sibuk mengambil gambar
dan merekam klaim orang itu, tanpa memeriksa apakah alat yang dibuat dari
barang rongsokan itu benar-benar saling terhubung kabel-kabelnya.
Para wartawan kita banyak yang
buta soal informasi sains. Maka mereka dengan mudah menulis apa saja yang
mereka dengar. Bahkan mereka kadang tak perlu menulis. Mereka cukup menyalin
saja tulisan yang dikirim oleh narasumber. Beberapa wartawan berlagak cerdas
dengan sedikit mengubah tulisan narasumber itu seolah ia sudah melakukan
wawancara.
Menulis begitu saja informasi
dari narasumber itu terjadi karena wartawan tidak paham. Tapi itu belum
seberapa. Mereka meninggalkan sebuah proses yang sangat fundamental dalam
pemberitaan, yaitu pemeriksaan. Istilah teknisnya adalah check and recheck.
Periksa, dan periksa lagi. Istilah teknisnya saja cukup gamblang menjelaskan
proses berlapis yang diwajibkan untuk memeriksa informasi. Sementara, para
wartawan kita sekadar melakukan pemeriksaan sekali saja pun tidak.
Kebiasaan memuat berita tanpa
periksa ini makin menggila di media online. Media cetak punya keterbatasan
ruang pemuatan, sehingga secara alami akan terjadi seleksi terhadap jumlah
berita yang bisa dimunculkan. Media online tidak punya keterbatasan. Jadi
semua bisa dimuat. Terlebih, mereka seakan berlomba untuk cepat-cepat
memberitakan. Maka proses pemeriksaan berlapis tadi hampir pasti diabaikan.
Media online hidup dari jumlah
kunjungan pembaca. Maka bagi mereka seakan tidak penting lagi soal validitas
informasi yang mereka sampaikan. Yang lebih penting adalah berita itu dibaca
oleh banyak orang. Selebihnya, mereka tidak merasa perlu untuk bertanggung
jawab. Mentalitas ini kalau dibiarkan, adalah malapetaka dalam dunia pers.
Tidakkah kerja memeriksa
informasi ilmiah itu sebuah kerja yang sangat berat bagi wartawan? Kerja
berkualitas memang kerja berat. Justru itulah masalahnya. Wartawan kita hanya
ingin melakukan pekerjaan ringan, sambil lalu. Maka kualitas berita yang
mereka hasilkan adalah kualitas sampah.
Sebenarnya ini pun bukan kerja
yang sangat berat. Dengan adanya mesin pencari yang sangat canggih sekarang,
informasi akurat bisa didapat dalam hitungan detik. Ada ribuan orang menulis
soal informasi sains secara populer. Masalahnya, apakah para wartawan itu
orang-orang yang membaca? Saya khawatir mereka tidak membaca.
Menjadi wartawan mungkin hanya
bermakna sebagai kuli ojek (bukan lagi kuli tinta); sejak pagi sudah
pontang-panting naik ojek mengejar narasumber, dan itu dilakukan sepanjang
hari hingga tengah malam. Besoknya hal yang sama terulang lagi. Wartawan tak
punya kesempatan untuk belajar menambah pengetahuan. Atau, mereka memang tak
merasa perlu belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar