Transportasi
Publik dan Kualitas Hidup
Rhenald Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 18 September 2014
Dulu,
dari rumah saya di kawasan Jatimurni, Bekasi, kalau hendak mengajar di kampus
Salemba, saya cukup berangkat dari rumah pukul 6.30 atau 07.00 pagi. Hanya
dalam satu setengah jam saya sudah tiba, dan masih bisa menghirup udara
segar. Lagi pula jalanan belum ramai. Ada macet, tapi tak seberapa.
Kalau
mau mengajar ke kampus Depok, dari Salemba kami hanya butuh waktu sekitar
satu jam. Paling hanya macet di perlintasan rel kereta api. Begitulah dilema
akademisi yang harus mengajar dan mengikuti rapat di dua lokasi kampus yang
berjauhan: satu di pusat Jakarta, satu lagi di Jawa Barat. Tetapi belakangan,
sebelum matahari terbit saya sudah ingin segera berangkat. Itu pun harus
melewati “jalan tikus”, menembus kampung yang kalau berpapasan dengan mobil
lain terpaksa kami harus masuk ke pekarangan rumah masyarakat. Kalau telat
sedikit dan matahari sudah naik, maka begitu masuk jalan tol, jalan sudah
super padat. Dan akibatnya saya terlambat berjam-jam. Bukan tambah sejam,
melainkan bisa tiga jam. Luar biasa! Itu berarti hari masih sekitar pukul
04.30.
Saya
tidak sendiri, saya lihat tetangga dan masyarakat sekarang juga sudah
meninggalkan rumahnya pagi itu. Ratusan motor bergerak cepat, sekali mobil
berhenti klakson marah langsung terdengar dari motor di belakang yang
jumlahnya, ampun, banyak sekali. Sebagian besar mereka hendak ke Jakarta. Apa
yang mendorong mereka berangkat pada pagi buta?
Dalam
suatu kesempatan, saya mendengar cerita mereka. Katanya, mereka yang tinggal
di kawasan penyangga Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Depok, atau Bekasi,
kalau berangkat pagi buta sangat memungkinkan tiba di kantor lebih cepat,
sejam saja. Jadi, sekitar pukul 05.30 sudah sampai. Setelah itu ada sebagian
dari mereka yang masih bisa sarapan, kemudian melanjutkan tidurnya 1,5-2 jam
di mobil atau di ruang kantor kalau pintu kantornya sudah buka. Sekitar pukul
08.00 mereka resmi mulai ngantor.
Mengapa
tidak berangkat pukul 06.00? Seperti kata saya tadi, mereka bilang, kalau
berangkat jam segitu, mungkin baru bisa sampai kantor pukul 09.00. Sesampai
di kantor kondisi fisik dan emosinya pasti lelah. Siapa yang tak lelah didera
kemacetan 2,5-3 jam di perjalanan? Belum lagi menghadapi tekanan dari rekan
kerja yang sinis melihat kita terlambat.
Saya
tercenung mendengar cerita mereka. Bagi Anda yang kurang yakin, silakan cek
di kantor-kantor. Mungkin belum banyak yang melakoni cara hidup seperti ini,
tetapi ada. Saya kira dalam beberapa waktu ke depan, kalau tak kunjung ada
perbaikan dalam layanan transportasi publik, jumlahnya pasti akan semakin
bertambah.
Celakanya,
waktu pulangnya kita tak bisa menghemat waktu selain pulang lebih malam
setelah sebagian besar orang sampai di rumah. Jadi hampir pasti semuanya tiba
di rumah dengan perut lapar dan kondisi fisik yang sudah lunglai. Sementara
rumah makan dan perpustakaan kompak pukul 22.00 sudah tutup. Padahal, mungkin
banyak orang yang membutuhkan layanan mereka justru di saat jalan sedang
macet-macetnya.
Dulu dan Sekarang
Itulah
fenomena perubahan sosial yang terjadi di depan mata. Sungguh merisaukan.
Kehidupan macam apa yang sebetulnya tengah dijalani oleh para pekerja yang
tinggal di kawasan penyangga Jakarta? Belum lagi para buruh yang hanya mampu
tinggal di rumah kontrakan yang sempit jauh dari kantor.
Baiklah,
saya tak ingin menyinggung soal produktivitas. Apalagi membandingkannya
dengan pekerja negara-negara tetangga yang setiap hari hanya menghabiskan
maksimal dua jam di jalan? Bukan itu yang membuat saya risau, melainkan apa jadinya
masa depan keluarga Indonesia?
Apa
jadinya dengan hubungan suami-istri (angka perceraian, konflik, dan KDRT) dan
anak-anak, yang setiap hari mungkin hanya bertemu satu-dua jam dengan orang
tuanya itu pun dengan kondisi fisik yang sudah sangat kelelahan. Dan, ingat
kian banyak suami-istri yang keduanya sama-sama bekerja.
Dulu,
mungkin kita masih mendengar cerita tentang keluarga yang rukun dan bahagia.
Setiap hari bisa menikmati makan malam dan berdoa bersama. Kini, berapa
banyak di antara mereka yang masih bisa makan malam bersama di ruang
keluarga? Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang memeriksa PR dan
mendampingi anak-anaknya belajar.
Kini,
berapa banyak di antara mereka yang masih punya waktu untuk melakukan hal
ini? Dulu mungkin kita masih mendengar ada orang tua yang kerap menceritakan
dongeng sebelum tidur pada anak-anaknya. Kini, berapa banyak di antara mereka
yang masih sempat menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anak-anaknya?
Sementara
semua yang saya tanyakan di atas masih dilakukan traditional parents di negara-negara maju. Inilah kegelisahan
saya sebagai orang tua sekaligus pendidik yang setiap hari berkawan dengan
anak-anak Anda, apakah di kampus atau lewat social media.
Backbone Transportasi
Sekarang
mari kita sejenak berangan-angan. Andai kita bangun jam 05.30, lalu
berolahraga 20-30 menit. Jam 06.00, masih sempat sarapan bersama anak-anak,
sebelum melepas atau mengantar mereka ke sekolah. Jam 06.30, mandi dan
bersiap-siap pergi ke kantor. Lalu, jam 08.00 sudah sampai kantor. Bagi Anda
yang tinggal di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi, dan bekerja di
Jakarta, mungkinkah itu terjadi? Mimpi!
Sebaliknya,
saya melihatnya sangat mungkin, dengan catatan, jangan pakai kendaraan
pribadi. Lupakan pula bus kota, antarkota atau antarprovinsi. Satu-satunya
moda yang memungkinkan Anda sampai ke kantor hanya dalam tempo satu jam
adalah kereta. Bentuknya bisa monorel, atau kereta rel listrik. Itu sebabnya
saya sangat jengkel ketika pembahasan monorel tertunda-tunda, bahkan
terhenti. Kita
jengkel ketika mendengar jalan tol baru enam ruas dikejar agar dibangun di
tengah kota. Semua itu sama sekali tidak akan membantu mengurai masalah yang
membuat kita menghabiskan begitu banyak waktu di jalan. Penambahan ruas jalan
tol tadi hanya akan merangsang masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi.
Belajarlah
dari negara-negara maju yang menjadikan kereta api sebagai backbone transportasi publik. Di sana, semua orang
lebih suka menyimpan mobilnya di garasi, atau di area parkir stasiun, dan
kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke kantor dengan kereta. Tapi,
jangan pembangunan rel dan keretanya diserahkan ke swasta. Semua mesti
dikerjakan dan dibiayai oleh pemerintah, sehingga tak perlu memikirkan kapan
investasinya bakal kembali. Ini bukan bisnis. Ini public service, yang menjadi tugas utama pemerintah untuk
menyediakannya. Jadi sudah tidak selayaknya lagi pemerintah memikirkan return on investment. Apa lagi uang untuk
membangun jaringan rel dan keretanya bukan uang pemerintah, tapi uang kita
yang dipungut melalui pajak. Bedakanlah antara mengurus return (yang menjadi hitungan kaum bisnis) dengan mengurus
keekonomian dan kesejahteraan (yang menjadi urusan negara).
Inilah
waktunya bagi pemerintah untuk kembali ke khitahnya. Ini soal meningkatkan
produktivitas pekerja, memperbaiki daya saing, meningkatkan kualitas hidup
keluarga, masa depan anak-anak dan kebahagiaan banyak orang. Kalau pemerintah
masih mau hitung-hitungan soal ini, sungguh bebal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar