Kamis, 11 September 2014

Refleksi Peringatan Tragedi 11 September 2001

Refleksi Peringatan Tragedi 11 September 2001

Sumiati Anastasia  ;   Kolumnis dan muslimah di Balikpapan
JAWA POS, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEJAK serangan teroris ke World Trade Center (WTC) di New York, AS, 11 September 2001, yang menewaskan sekitar 3 ribu orang, dunia terus dicekam terorisme. Negeri kita pun ikut merasakan ganasnya serangan para teroris. Kita ingat, 12 Oktober 2002, terjadi serangan teroris yang menebar bom di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Tercatat 202 korban kehilangan nyawa dan 209 lainnya mengalami luka-luka atau cedera. Kebanyakan korban merupakan wisatawan asing. Bom Bali I merupakan peristiwa terorisme terbesar dalam sejarah Indonesia.

Karena peristiwa itu, pemerintah menerbitkan UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Lalu, sebagai implementasi atas UU tersebut, dibentuklah Densus 88 Antiteror. Sejak itu hingga kini, Densus sudah menangkap 700 tersangka teroris dan lebih dari 60 lainnya ditembak mati, termasuk para gembongnya.

Toh, sejak Densus 88 dibentuk, hingga saat ini terorisme belum selesai. Simak saja berbagai serangan bom seperti bom di Kedubes Australia, 9 September 2004. Malahan, ada sekuel bom Bali I, yaitu bom Bali II pada 1 Oktober 2005, yang menewaskan 22 orang dan melukai 102 lainnya.

Meski bos para teroris, Osama bin Laden, sudah tewas dalam sebuah operasi militer AS di Kota Abbottabad, Pakistan, Mei 2011, tidak dengan sendirinya terorisme ikut mati. Gembong teroris di negeri kita seperti Dr Azhari dan Noordin M. Top juga sudah lama ditembak mati. Lalu, cukup banyak teroris yang ditangkap dan dieksekusi mati. Tetapi, teroris generasi baru selalu siap muncul dari kegelapan dan melancarkan teror kapan saja.

Malahan, hari-hari ini, dunia tengah menghadapi ancaman teror mengerikan dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab baru menyatakan perang terhadap ISIS. Di negeri kita pun, ISIS laku dan didukung sebagian kalangan.

Sebenarnya, sangat memprihatinkan manakala kita merenungkan bahwa pemikiran para teroris justru kian mendapat tempat di masyarakat kita. Contohnya, bom bunuh diri yang dulu kita nilai sebagai tindakan biadab dan terkutuk kini justru diyakini sebagai tindakan kepahlawanan demi membela agama (mati syahid).

Jelas ada yang salah jika tindak terorisme yang kekejamannya terhadap para korban melebihi batas kemanusiaan justru mendapat dukungan dan pembenaran dari sebagian khalayak kita. Itu jelas merupakan bentuk keberhasilan para konseptor terorisme di negeri ini dari sisi peperangan wacana. Bahkan, para konseptor terorisme di balik layar sampai sekarang terus bergentayangan. Mungkin mereka akan tertawa terkekeh karena mampu merebut hati dan pikiran sebagian warga kita sehingga mereka bisa dibujuk. Sebagian direkrut dan sebagian kecil akhirnya justru bangga menjadi teroris serta rela menggadaikan jiwanya untuk ajaran terorisme. Di sinilah kecerdikan teroris yang berhasil merebut hati dan pikiran sebagian orang.

Bahkan, bom bunuh diri merupakan tindakan yang sah menurut keyakinan para teroris, sebagaimana pernah dituturkan Imam Samudra. Ada kejahatan yang mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya. Bahkan, tindak kekerasan lewat bom itu dianggap sebagai bentuk perjuangan yang mulia atas nama agama, bahkan Tuhan.

Dalam buku karangan Mark Juergensmeyer, Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (University of California Press, 2000), kita diajak berusaha lebih menyelami pemikiran para pelaku bom bunuh diri. Dalam buku itu dibeberkan adanya konsep ’’cosmic war’’. Yakni, peperangan antara yang baik dan yang jahat. Para pelaku bom bunuh diri yakin bahwa mereka berjuang membela agamanya melawan dominasi jahat (dalam hal ini AS/Barat) sehingga cara perjuangan bom bunuh diri adalah sah.

Untuk menghadapi musuh, dibutuhkan sikap pengorbanan sebagai syuhada atau martir. Juergensmeyer menambahkan: ’’...suffering imparts the nobility of martyrdom... the image of cosmic war forge failure –even death– into victory’’. Jadi, mereka yang mati demi agama dan Tuhan dan membunuh musuh agama serta musuh Tuhan dianggap sebagai martir yang mati suci.

Bagi para teroris, setiap aksi mereka, termasuk di negeri kita, merupakan tindakan yang sah. Sebab, Indonesia saat ini sudah diletakkan dalam kondisi perang dengan kekuatan kolonialis (AS/Barat) yang menindas umat Islam. Bagi para teroris, perang semacam itu sungguh-sungguh nyata.

Karena itu, kita semua, mulai tokoh agama, umat, dan media, harus terus menyuarakan bahwa Islam sangat mengutuk segala bentuk kekerasan. Islam tidak punya tempat bagi terorisme. Islam itu ’’aslama’’, agama damai, agama rahmatan lil alamin, bukan laknatan lil alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar