Nama
sebagai Merek Politik
Muhidin M Dahlan ; kerani@warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2014
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pemasar inisial nama sendiri sebagai
sebuah merek politik. Tak ada yang menduga bahwa singkatan namanya, SBY,
seperti aksara biru yang tercetak di lambung roket yang melontarkan karier
politiknya setinggi yang barangkali ia pun tak pernah menduganya.
Jurnalis
yang memberikan inisial itu pertama kalinya. Dan anehnya, SBY tak menolaknya.
Pada 2004, inisial itu justru dipakainya sebagai bagian penting dari
propaganda pada alat-alat peraga kampanye.
Sadar
dengan nama "SBY" sebagai merek politik inilah, PDIP, yang menjadi
kompetitor politik pada Pemilu 2004 dan 2009, mencoba menyingkirkannya lewat
komentar-komentar di depan layar kaca. Misalnya, para fungsionaris PDIP emoh
menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai SBY, melainkan "Jenderal
Susilo". Tujuannya, agar publik tetap mengingatnya sebagai seorang
jenderal yang dibesarkan di barak-barak militer.
Namun
sejarah menghendaki lain. Justru merek "SBY" mampu mengantarkannya
mencapai titik karier paling puncak dalam pasar politik Indonesia dalam dua
kali pemilihan presiden langsung. Tuah nama ini melahirkan pengikut. Beberapa
tokoh partai mencoba mencari peruntungan dengan singkatan nama sebagai merek
politik. Pernah, suatu masa pada Pemilu 2009, pengusung Megawati
Soekarnoputri membuat singkatan "MSP". Tapi kita tahu "MSP"
berakhir hanya sebagai merek bibit padi, bukan merek politik yang membawa
berkah.
Ketua
Umum Golkar Aburizal Bakrie dengan penuh percaya diri menyingkat namanya
menjadi "ARB". Merek "ARB" terus digeber dalam iklan
politik enam purnama sebelum pendaftaran capres dibuka KPU. Dan nama
"ARB" itu, jangankan terdaftar dalam "buku kandidat" yang
disediakan KPU, malah terlempar dan nyungsep ke pasir beberapa pekan sebelum
hari "H" pendaftaran yang diawali peristiwa memalukan "boneka
Teddy Bear".
Ada
hal lain yang dilupakan para pengikut yang tak kreatif ini, bahwa singkatan
atau inisial nama sudah menjadi domain utama reserse untuk menyebut para
bromocorah di hadapan publik. MN, AM, AU, AM, adalah sejumlah nama inisial
yang diproduksi para reserse antirasuah untuk bromocorah.
Alhasil,
inisial nama, alih-alih membawa keberuntungan politik, malah menjadi bagian
dari kesialan hidup. Dan inisial "ARB" adalah salah satu merek
politik yang paling sial yang dilahirkan Pemilu 2014.
Mengambil
trek yang sama, tapi sedikit berbeda, Joko Widodo maju mengarungi karier
politiknya dengan akronim dan bukan singkatan. Akronim, sebagaimana
penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengambil dua atau lebih huruf dari
setiap kata yang diucapkan secara wajar.
"Jokowi"
adalah akronim sekaligus merek politik yang diusung Joko Widodo sejak membuka
palagan di Solo. Yang menarik, merek itu didapatkan secara natural dari
pelanggan mebelnya dari Prancis. Merek dari akronim ini, kita tahu kemudian,
melejit begitu cepat. Mula-mula di Solo, lalu mengejutkan Ibu Kota, dan pada
akhirnya, dalam waktu sesingkat-singkatnya, merek politik "Jokowi"
ini menjadi penguasa tertinggi RI.
"Jokowi",
di beranda politik terkini, bukan hanya berhenti menjadi sebuah akronim
belaka, tapi juga menjadi frasa dengan makna baru. Jokowi adalah kita yang
muda (Jaka=muda; we=kita). Jokowi adalah simpul kepemimpinan angkatan muda
yang menjadi pemegang lisensi penggerak kreativitas paling depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar