Kembali
ke Ontel
Heri Priyatmoko ; Alumnus
Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2014
Beberapa
hari terakhir, di stasiun pengisian bahan bakar umum, kita miris dan nanar
menyaksikan kendaraan bermotor mengular begitu panjang sampai di bahu jalan.
Peristiwa tersebut acap terulang di negeri yang dilimpahi sumber daya alam
ini. Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak senantiasa disambut dengan
kepanikan warga. Warga rela mengantre berjam-jam dan diguyur sengatan sinar
mentari yang terik. Apes jika Premium kadung kandas dan pasokan datang
terlambat. Alhasil, banyak dari mereka mengisi kendaraan roda dua dengan
Pertamax ketimbang gagal berangkat beraktivitas.
Setiap
kali fenomena itu berulang, saya langsung teringat dosen saya, Suyatno
Kartodirdjo, yang berangkat ngantor memakai sepeda ontel. Dia pensiun ngontel
di usia yang ke-70 gara-gara terjatuh dan tulang di tubuhnya bermasalah.
Meski bergelar doktor dan lulusan Australia National University pada 1983,
lelaki yang bertanggal lahir 17 Agustus 1939 tersebut tidak malu mengayuh
sepeda dari rumahnya ke kampus ataupun menghadiri seminar sebagai pembicara
di Kota Solo.
Salah
satu murid terbaik Indonesianis Anthony Reid itu menganggap bike to work
adalah manifestasi sikap hidup sederhana dan upaya menjaga kebugaran tubuh.
Dan, itu ternyata terbukti benar. Raganya rapuh lantaran usia yang menua.
Namun kesehatan dan daya tangkapnya terhitung masih lumayan alias belum pikun
kendati usianya sudah senja.
Jauh
sebelum kampanye bike to work digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah,
sejarawan sepuh itu bersama-sama para buruh pemakai sepeda kayuh sudah
mengkampanyekan untuk hemat energi dan mengurangi beban emisi udara yang kian
tinggi. Di Kota Solo dan Yogyakarta, misalnya, jumlah orang yang ngontel
tidak sedikit. Mereka yang berasal dari pinggiran kota memilih ngontel
lantaran banyak teman kerja mereka yang bersepeda, selain menghemat
pengeluaran. Rasa grusa-grusu belum melanda hati mereka sepenuhnya. Berbeda
dengan warga kota yang terengah-engah berpacu dengan waktu. Agar tidak
terlambat dan menghindari kemacetan, mereka siasati berangkat lebih awal.
Fenomena
migran ulang-alik memang ditandai dengan sepeda kayuh. Pada jam-jam tertentu
pengguna sepeda ontel berjalan beriringan menuju luar kota karena mereka
menerapkan konsep nglajo alias pulang-pergi. Jangan salah, para pengayuh
sepeda ini merupakan bagian kelompok yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi
perkotaan.
Sayangnya,
tindakan mulia mereka yang menghemat energi ini justru diperlakukan bak anak
tiri di jalan raya. Selain tiadanya fasilitas jalur sepeda yang
memadai-jikalau ada malah sering untuk tempat parkir mobil-banyak pengendara
mobil dan sepeda motor merebut hak mereka di jalan raya. Padahal, mereka
sudah berusaha bertahan menyelinap di antara asap knalpot dan debu serta
berebut jalur dengan pemakai alat transportasi bermesin.
Pada
masa silam, pit ontel pernah menjadi kegemaran dan gaya hidup bangsawan-priayi
yang meniru kaum Eropa yang bercokol di Hindia Belanda. Sepeda merupakan
gantinya kuda. Lalu bunyi tromol dan lonceng yang berdenting nyaring bikin
pengayuhnya bangga. Kini, orang yang berangkat glidig (bekerja) dengan ontel
dianggap orang yang kalah dan berstatus sosial rendah. Sewaktu memimpin Kota
Solo, presiden terpilih Joko Widodo rajin menggelar mider praja (blusukan)
dengan bersepeda ontel bersama bawahannya. Sekarang, sudah saatnya Jokowi
menjungkirbalikkan persepsi yang salah ke yang benar, bahwa bike to work
adalah upaya hidup sehat dan hemat energi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar