Kamis, 04 September 2014

Kembali ke Ontel

Kembali ke Ontel

Heri Priyatmoko  ;   Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
KORAN TEMPO, 03 September 2014

                                      
                                                      

Beberapa hari terakhir, di stasiun pengisian bahan bakar umum, kita miris dan nanar menyaksikan kendaraan bermotor mengular begitu panjang sampai di bahu jalan. Peristiwa tersebut acap terulang di negeri yang dilimpahi sumber daya alam ini. Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak senantiasa disambut dengan kepanikan warga. Warga rela mengantre berjam-jam dan diguyur sengatan sinar mentari yang terik. Apes jika Premium kadung kandas dan pasokan datang terlambat. Alhasil, banyak dari mereka mengisi kendaraan roda dua dengan Pertamax ketimbang gagal berangkat beraktivitas.

Setiap kali fenomena itu berulang, saya langsung teringat dosen saya, Suyatno Kartodirdjo, yang berangkat ngantor memakai sepeda ontel. Dia pensiun ngontel di usia yang ke-70 gara-gara terjatuh dan tulang di tubuhnya bermasalah. Meski bergelar doktor dan lulusan Australia National University pada 1983, lelaki yang bertanggal lahir 17 Agustus 1939 tersebut tidak malu mengayuh sepeda dari rumahnya ke kampus ataupun menghadiri seminar sebagai pembicara di Kota Solo.

Salah satu murid terbaik Indonesianis Anthony Reid itu menganggap bike to work adalah manifestasi sikap hidup sederhana dan upaya menjaga kebugaran tubuh. Dan, itu ternyata terbukti benar. Raganya rapuh lantaran usia yang menua. Namun kesehatan dan daya tangkapnya terhitung masih lumayan alias belum pikun kendati usianya sudah senja.

Jauh sebelum kampanye bike to work digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah, sejarawan sepuh itu bersama-sama para buruh pemakai sepeda kayuh sudah mengkampanyekan untuk hemat energi dan mengurangi beban emisi udara yang kian tinggi. Di Kota Solo dan Yogyakarta, misalnya, jumlah orang yang ngontel tidak sedikit. Mereka yang berasal dari pinggiran kota memilih ngontel lantaran banyak teman kerja mereka yang bersepeda, selain menghemat pengeluaran. Rasa grusa-grusu belum melanda hati mereka sepenuhnya. Berbeda dengan warga kota yang terengah-engah berpacu dengan waktu. Agar tidak terlambat dan menghindari kemacetan, mereka siasati berangkat lebih awal.

Fenomena migran ulang-alik memang ditandai dengan sepeda kayuh. Pada jam-jam tertentu pengguna sepeda ontel berjalan beriringan menuju luar kota karena mereka menerapkan konsep nglajo alias pulang-pergi. Jangan salah, para pengayuh sepeda ini merupakan bagian kelompok yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan.

Sayangnya, tindakan mulia mereka yang menghemat energi ini justru diperlakukan bak anak tiri di jalan raya. Selain tiadanya fasilitas jalur sepeda yang memadai-jikalau ada malah sering untuk tempat parkir mobil-banyak pengendara mobil dan sepeda motor merebut hak mereka di jalan raya. Padahal, mereka sudah berusaha bertahan menyelinap di antara asap knalpot dan debu serta berebut jalur dengan pemakai alat transportasi bermesin.

Pada masa silam, pit ontel pernah menjadi kegemaran dan gaya hidup bangsawan-priayi yang meniru kaum Eropa yang bercokol di Hindia Belanda. Sepeda merupakan gantinya kuda. Lalu bunyi tromol dan lonceng yang berdenting nyaring bikin pengayuhnya bangga. Kini, orang yang berangkat glidig (bekerja) dengan ontel dianggap orang yang kalah dan berstatus sosial rendah. Sewaktu memimpin Kota Solo, presiden terpilih Joko Widodo rajin menggelar mider praja (blusukan) dengan bersepeda ontel bersama bawahannya. Sekarang, sudah saatnya Jokowi menjungkirbalikkan persepsi yang salah ke yang benar, bahwa bike to work adalah upaya hidup sehat dan hemat energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar