Kamis, 04 September 2014

Perampingan Kabinet

Perampingan Kabinet

Ali Rif’an  ;   Peneliti Poltracking
KORAN TEMPO, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Tidak lama lagi, tepatnya 20 Oktober nanti, pasangan presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla akan diambil sumpahnya untuk menjadi nakhoda baru bagi kapal besar bernama Indonesia. Pekerjaan pokok Jokowi-JK menjelang pelantikan itu tentunya adalah penyusunan kabinet. Tak pelak, rencana Jokowi akan merampingkan kabinet pun terus menggelinding, bahkan menuai pro dan kontra.

Bukan hanya partai penyokong koalisi yang berbeda pandangan, tapi antara Jokowi dan JK juga sedikit berbeda. Tim Jokowi, misalnya, mengusulkan postur dan formasi kabinet yang saat ini 34 kementerian menjadi hanya 27 atau bahkan 24 kementerian saja. Sedangkan JK memandang tak perlu ada perubahan yang terlalu besar. Restrukturisasi besar memerlukan waktu lama, sehingga akan mengganggu roda pemerintahan (Tempo, 29/8).

Beda pandangan terkait dengan formasi kabinet merupakan hal yang lumrah. Namun, menurut saya, jika Jokowi mampu merampingkan kabinet, hal itu akan menjadi tradisi baru dalam peta penyusunan kabinet seusai reformasi. Sebab, satu hal yang tak pernah berubah dalam riuh rendah pergantian kabinet adalah formasinya yang selalu gemuk-atau dalam bahasa saya mengalami "obesitas". Jumlah menteri selalu lebih dari 30.

Misalnya, pada Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), jumlah menteri ada 34 orang. Sedangkan pada Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), jumlahnya terdiri atas 30 menteri. Kabinet Indonesia Bersatu I Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdiri atas 34 menteri. Begitu pula Kabinet Indonesia Bersatu II era SBY, yang juga 34 menteri. Bukan hanya itu, obesitas tersebut juga menjalar pada birokrasi dengan semakin banyaknya jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian. Bahkan pada pemerintahan SBY periode kedua ini, ditambahkan wakil menteri yang bertugas membantu kinerja menteri.

Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan formasi kabinet gemuk. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa jumlah kementerian bisa mencapai 34. Begitu pula seorang presiden memiliki kewenangan menunjuk wakil menteri. Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien, perampingan kabinet lebih banyak maslahatnya.

Pertama, perampingan kabinet dapat menghemat anggaran belanja negara. Dengan begitu, dapat dialihfungsikan pada hal-hal penting lainnya, seperti subsidi BBM, biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Kedua, semenjak otonomi daerah, watak pemerintahan pusat tidak lagi sentralistik. Ada kepala daerah yang berperan penting dalam membangun daerah masing-masing. Pada titik inilah, tugas-tugas dari kementerian pusat sudah banyak terbantu dengan adanya peran kepala daerah yang semakin kuat otoritasnya.

Ketiga, gemuknya formasi kabinet tidak menjamin kinerjanya membaik. Justru kabinet obesitas, selain menjadi beban APBN, dapat merepotkan presiden. Lihat saja bagaimana repotnya Presiden SBY ketika para pembantunya ada yang tersangkut korupsi. Sudah mendapat malu, SBY juga harus "mengernyitkan kening" untuk mencari penggantinya. Bahkan berdasarkan hasil survei Poltracking 2013, meski dengan postur kabinet yang gemuk, kinerja pemerintahan SBY-Boediono masih jauh dari harapan masyarakat. Sebab, hanya 40,5 persen masyarakat yang menyatakan puas atas kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan 51,5 persen lainnya menyatakan tidak puas dengan rincian 41,5 persen merasa kurang puas dan 10 persen sangat tidak puas. Sisanya, 8 persen, menyatakan tidak tahu.

Karena itu, Jokowi tidak perlu ragu-ragu merampingkan kabinet jika hal itu positif untuk penyegaran pemerintahan. Sebab, buat apa membuat kabinet dengan postur gemuk jika kinerjanya justru ramping? Hal tersebut malah sia-sia belaka. Menilik negara maju, seperti Amerika Serikat, jumlah kementeriannya hanya 15. Begitu pula di Jepang dan Korea Selatan, hanya 15.

Sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki hak prerogatif, Jokowi semestinya menggunakan pengaruhnya untuk merampingkan kabinet jika itu dipandang sangat perlu. Hal itu, sebagaimana dikatakan Steven Lukes (1974), menunjukkan bahwa inti dari kekuasaan adalah pengaruh. Perampingan kabinet pada awal pemerintahan menjadi hal yang realistis untuk dilakukan. Sebab, ketika perampingan dilakukan di pertengahan, hal itu akan mendatangkan banyak resistansi, selain mengganggu jalannya pemerintahan.

Akhir kata, bandul kabinet saat ini ada di tangan Jokowi, apakah akan diubah menjadi ramping ataukah tetap mengalami obesitas?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar