Perampingan
Kabinet
Ali Rif’an ; Peneliti
Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 03 September 2014
Tidak
lama lagi, tepatnya 20 Oktober nanti, pasangan presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf
Kalla akan diambil sumpahnya untuk menjadi nakhoda baru bagi kapal besar
bernama Indonesia. Pekerjaan pokok Jokowi-JK menjelang pelantikan itu
tentunya adalah penyusunan kabinet. Tak pelak, rencana Jokowi akan
merampingkan kabinet pun terus menggelinding, bahkan menuai pro dan kontra.
Bukan
hanya partai penyokong koalisi yang berbeda pandangan, tapi antara Jokowi dan
JK juga sedikit berbeda. Tim Jokowi, misalnya, mengusulkan postur dan formasi
kabinet yang saat ini 34 kementerian menjadi hanya 27 atau bahkan 24
kementerian saja. Sedangkan JK memandang tak perlu ada perubahan yang terlalu
besar. Restrukturisasi besar memerlukan waktu lama, sehingga akan mengganggu
roda pemerintahan (Tempo, 29/8).
Beda
pandangan terkait dengan formasi kabinet merupakan hal yang lumrah. Namun,
menurut saya, jika Jokowi mampu merampingkan kabinet, hal itu akan menjadi
tradisi baru dalam peta penyusunan kabinet seusai reformasi. Sebab, satu hal
yang tak pernah berubah dalam riuh rendah pergantian kabinet adalah formasinya
yang selalu gemuk-atau dalam bahasa saya mengalami "obesitas".
Jumlah menteri selalu lebih dari 30.
Misalnya,
pada Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001),
jumlah menteri ada 34 orang. Sedangkan pada Kabinet Gotong Royong Presiden
Megawati Soekarnoputri (2001-2004), jumlahnya terdiri atas 30 menteri. Kabinet
Indonesia Bersatu I Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdiri atas 34
menteri. Begitu pula Kabinet Indonesia Bersatu II era SBY, yang juga 34
menteri. Bukan hanya itu, obesitas tersebut juga menjalar pada birokrasi
dengan semakin banyaknya jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian.
Bahkan pada pemerintahan SBY periode kedua ini, ditambahkan wakil menteri
yang bertugas membantu kinerja menteri.
Pada
dasarnya, tak ada yang salah dengan formasi kabinet gemuk. Sebab, dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa
jumlah kementerian bisa mencapai 34. Begitu pula seorang presiden memiliki
kewenangan menunjuk wakil menteri. Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang
efektif dan efisien, perampingan kabinet lebih banyak maslahatnya.
Pertama,
perampingan kabinet dapat menghemat anggaran belanja negara. Dengan begitu,
dapat dialihfungsikan pada hal-hal penting lainnya, seperti subsidi BBM,
biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Kedua, semenjak otonomi daerah,
watak pemerintahan pusat tidak lagi sentralistik. Ada kepala daerah yang
berperan penting dalam membangun daerah masing-masing. Pada titik inilah,
tugas-tugas dari kementerian pusat sudah banyak terbantu dengan adanya peran
kepala daerah yang semakin kuat otoritasnya.
Ketiga,
gemuknya formasi kabinet tidak menjamin kinerjanya membaik. Justru kabinet
obesitas, selain menjadi beban APBN, dapat merepotkan presiden. Lihat saja
bagaimana repotnya Presiden SBY ketika para pembantunya ada yang tersangkut
korupsi. Sudah mendapat malu, SBY juga harus "mengernyitkan kening"
untuk mencari penggantinya. Bahkan berdasarkan hasil survei Poltracking 2013, meski dengan postur
kabinet yang gemuk, kinerja pemerintahan SBY-Boediono masih jauh dari harapan
masyarakat. Sebab, hanya 40,5 persen masyarakat yang menyatakan puas atas
kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan 51,5 persen lainnya menyatakan
tidak puas dengan rincian 41,5 persen merasa kurang puas dan 10 persen sangat
tidak puas. Sisanya, 8 persen, menyatakan tidak tahu.
Karena
itu, Jokowi tidak perlu ragu-ragu merampingkan kabinet jika hal itu positif
untuk penyegaran pemerintahan. Sebab, buat apa membuat kabinet dengan postur
gemuk jika kinerjanya justru ramping? Hal tersebut malah sia-sia belaka.
Menilik negara maju, seperti Amerika Serikat, jumlah kementeriannya hanya 15.
Begitu pula di Jepang dan Korea Selatan, hanya 15.
Sebagai
pemimpin tertinggi yang memiliki hak prerogatif, Jokowi semestinya
menggunakan pengaruhnya untuk merampingkan kabinet jika itu dipandang sangat
perlu. Hal itu, sebagaimana dikatakan Steven Lukes (1974), menunjukkan bahwa
inti dari kekuasaan adalah pengaruh. Perampingan kabinet pada awal
pemerintahan menjadi hal yang realistis untuk dilakukan. Sebab, ketika
perampingan dilakukan di pertengahan, hal itu akan mendatangkan banyak
resistansi, selain mengganggu jalannya pemerintahan.
Akhir
kata, bandul kabinet saat ini ada di tangan Jokowi, apakah akan diubah menjadi
ramping ataukah tetap mengalami obesitas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar