Kementerian
Etika dan Estetika
Agus Dermawan T ; Penulis
Buku-buku Kebudayaan dan Kesenian
|
KOMPAS,
05 September 2014
SAAT
ini negara dan masyarakat sedang ramai membicarakan kebudayaan. Diskusi ini
bertolak dari Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang sedang
disosialisasikan. Ini kemudian bercabang kepada persoalan apakah negara perlu
membuat Kementerian Kebudayaan secara khusus. Yang menarik, diskusi ini
berkelindan di tengah krisis mental yang sedang melanda di banyak lini.
Segunduk ihwal yang menyebabkan presiden terpilih Joko Widodo meneriakkan
revolusi mental berkali-kali.
Pemahaman
atas kebudayaan bisa diberangkatkan dari rumusan demikian. Pertama,
kebudayaan yang diartikan sebagai seluruh prestasi dari kehidupan bersama
dalam mengelola seluruh aspek yang ada, sebagaimana ilmu-ilmu sosial seperti
sosiologi dan antropologi merumuskan. Maka sistem pendidikan, sistem politik,
sistem ekonomi, dan aneka sistem lain adalah hasil dari kebudayaan. Semua
sistem itu dibentuk untuk menciptakan alur agar manusia berjalan di koridor
tata aturan taat asas, yang kemudian disebut sebagai etika.
Dengan
begitu, ilmu-ilmu sosial memandang kebudayaan lewat sisi etimologi kata
budaya, budi dan daya. Lalu, mendefinisikan kebudayaan sebagai himpunan keseluruhan dari semua cara
manusia berpikir (baik), berperasaan (baik), dan berbuat (baik) sehingga yang
dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat adalah segala sesuatu yang
baik-baik. Semua itu dikonsepkan untuk bisa dipelajari dan dialihkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, disertai pengembangan sesuai dengan
zamannya.
Kedua,
kebudayaan yang diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan penghalusan
pribadi dan masyarakat. Kata penghalusan di sini merupakan terjemahan dari
sani, yang artinya segala sesuatu yang rinci, indah, dan luwes. Itu adalah
sebuah kosa Nusantara lama yang merupakan awal dari kata seni. Kita tahu seni
mengacu kepada estetika. Apabila etika terpresentasi hanya sebagai sesuatu
yang abstrak, maka estetika bisa hadir sebagai yang abstrak dan yang konkret.
Titik kristal utama
Lalu
peta dari wilayah kebudayaan pun diaksentuasi oleh dua titik kristal utama,
yang masing-masing terletak di ujung sebuah garis. Kristal di kutub sini
disebut etika, yang memangku keluhuran pelaku sistem dan prestasi, sebagai
hasil pengawinan budi (baik) dan daya (besar). Sementara itu, kristal sebelah
sana adalah estetika, yang merupakan tanda, presentasi, representasi, dan
sekaligus dokumentasi dari keluhuran perilaku yang diwujudkan dalam keindahan
yang kemudian disebut sebagai kesenian.
Meski
memiliki perspektif yang sama untuk menuju muara keadaban dan peradaban,
etika dan estetika berdiri sendiri-sendiri. Keduanya akan selalu bertatap pandang
dan pada saatnya akan saling melengkapi dan mengoreksi.
Itu
sebabnya adalah benar ketika ada orang yang mengatakan bahwa rusaknya mental
sebagian bangsa Indonesia yang gemar nyopet, nyolong, korupsi, tidak patuh,
rusuh, berbuat cabul, omong kotor (di rumah, di internet, sampai di siaran
hiburan televisi) adalah presentasi dari rusaknya etika. Juga lunturnya
naluri berindah-indah yang menyebabkan joroknya desa, kampung, dan kota,
serta hilangnya sensibililitas masyarakat kepada keelokan adalah tanda dari
keroposnya estetika. Padahal, naluri dan potensi estetika bangsa
Indonesia—yang terkulminasi dalam ribuan jenis karya seni— bertumpuk
banyaknya.
Etika
akan hancur apabila estetika jadi pecundang. Estetika bisa lumat jika
kebusukan etika terus merembet. Sampai di sini, garis peradaban akan lapuk
dan tinggal kenangan.
Departemen khusus
Maka,
apabila negara ingin merevolusi mental dan memperbaiki budi pekerti
rakyatnya, sebuah departemen khusus yang mengurusi dan menguatkan garis
kebudayaan ini harus dibentuk pemerintahan Jokowi-JK. Departemen itu adalah Kementerian Etika dan Estetika yang
merupakan elaborasi dari Kementerian Kebudayaan. Sebuah ”kementerian darurat”
yang diyakini amat banyak pekerjaannya.
Semoga
kalkulasi efisiensi anggaran yang ditegas-tegaskan Jokowi bukan menjadi
hambatan mengingat tumbuhnya mental berkebudayaan tidak bisa dibandingkan
dengan uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar