Penguatan
Kantor Kepresidenan
Asvi Warman Adam ; Peneliti
Senior LIPI
|
KOMPAS,
05 September 2014
PERDEBATAN
tentang kegemukan atau kerampingan kabinet mendatang hanya mempersoalkan
berapa orang akan jadi menteri (dan wakil menteri) dan berapa sektor yang
dapat digabungkan. Yang tidak disinggung adalah kenyataan bahwa jumlah
pegawai di berbagai kementerian itu tetap sama.
Apabila
jumlah kementerian dikurangi, belum tentu akan lebih hemat. Kalau alasan
perampingan atau penggabungan itu demi keefektifan jalannya pemerintahan,
tentu hal itu dapat dicapai dengan meningkatkan koordinasi antar-kementerian.
Peran menteri koordinator krusial di sini. Sementara itu, penentuan jumlah
kementerian dan urusan yang dilakukannya bergantung pada undang-undang yang
sebagiannya mesti dilakukan presiden dengan persetujuan atau pertimbangan
DPR. Lebih praktis apabila presiden mendatang tak melakukan perubahan dalam
penentuan jumlah menteri (kecuali wakil menteri yang cukup satu orang: wakil
menlu).
Apabila
penentuan ukuran kabinet terkait dengan DPR, tidak demikian halnya dengan
Kantor Kepresidenan yang dapat ditetapkan sendiri dengan keputusan presiden.
Tentu saja bentuk dan tugas kantor kepresidenan (executive office of the president) tidak sama di dunia.
Pada
masa pemerintahan SBY dapat dianggap beberapa lembaga yang melekat tugasnya
dengan presiden termasuk dalam Kantor Kepresidenan, seperti staf khusus,
Dewan Pertimbangan Presiden, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4), serta juru bicara presiden. Sekretaris
Negara dan Sekretaris Kabinet jelas berhubungan langsung dengan presiden.
Penting ditegaskan apakah Sekretaris Negara itu membawahi Sekretaris Kabinet
atau kedudukannya setara. Yang jelas jangan sampai ada dualisme di antara
keduanya. Atau keduanya digabung saja.
Setelah
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ditiadakan, pada pemerintahan SBY
dibentuk Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) yang jumlah anggotanya terbatas. Pada masa mendatang, hubungan dan kerja sama antara Wantimpres
dan presiden perlu lebih baik serta komunikatif sehingga ”pertimbangan”
mereka memang bermanfaat dan dipakai presiden.
Staf
khusus diperlukan presiden untuk penanganan masalah tertentu secara cepat.
Untuk bidang apa saja hal itu diperlukan? Sesungguhnya presiden tak perlu staf khusus bidang blue
energy atau benih superletoi. Apakah untuk berurusan dengan parlemen presiden
membutuhkan staf khusus atau justru sebuah lembaga setingkat UKP4? Sekarang penilaian terhadap kinerja kabinet
dilakukan UKP4. Lembaga ini dipimpin seorang yang dianggap setara dengan
”menteri senior”. Instansi ini yang
memberikan rapor hijau atau merah kepada para menteri. Pertanyaannya, apakah
unit kerja ini akan dipertahankan atau tugasnya dilimpahkan kepada
(Sekretariat) Wakil Presiden?
Pembagian tugas
Jawaban
dari pertanyaan di atas tentu bergantung pada pembagian tugas dan wewenang
presiden dan wakil presiden. Menurut Jimly Asshiddiqie, wakil presiden
berperan sebagai ”wakil yang mewakili
presiden, pengganti yang menggantikan presiden, pembantu yang membantu
presiden, pendamping yang mendampingi presiden, dan sebagai wakil yang
bersifat mandiri”.
Walaupun
demikian, masih menurut Jimly, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
secara konstitusional presiden dan wakil presiden harus bertindak sebagai
satu kesatuan subyek jabatan kepresidenan. Bahkan, ada yang berpendapat,
sebaiknya Kantor Kepresidenan dan Kantor Wakil Presiden digabungkan.
Bambang
Kesowo pernah mengemukakan usul peran wakil presiden sebagai ”kepala staf”
kabinet yang bertugas memimpin dan mengendalikan teknis pelaksanaan
keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang kabinet, memastikan penanganan
dan capaian hasilnya, serta melaporkannya kepada presiden. Jadi, aspek
pengendalian dan pengawasan menjadi wewenang wakil presiden sehingga presiden
bisa memusatkan perhatian kepada persoalan eksternal, baik yang bersifat
nasional maupun internasional.
Namun,
dengan hanya menjadi ”kepala staf”, apakah wakil presiden akan lebih terkesan
sebagai administrator? Apakah pembagian peran seperti Soekarno-Hatta tempo
dulu masih relevan sekarang, yang satu menjalankan administrasi dan satu lagi
sebagai solidarity maker. Sebaiknya
dipertimbangkan pengalaman dan kompetensi unggulan pasangan presiden-wakil
presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.
JK
berhasil menyelesaikan konflik Aceh dan beberapa daerah lain pada era
reformasi. Mungkin wakil presiden dapat diminta berperan menyelesaikan kasus Papua
walaupun dari sisi lain, warga daerah itu tampaknya banyak berharap kepada
Jokowi. Yang jelas kemampuan lobi politik JK sangat diperlukan untuk
berhadapan dengan DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar