Jumat, 05 September 2014

Meniadakan Persekolahan

Meniadakan Persekolahan

Daniel Mohammad Rosyid  ;   Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
KOMPAS, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TULISAN Radhar Panca Dahana, Iwan Pranoto, dan Mohammad Abduhzen, baru-baru ini, di harian ini, penting dicermati pemerintahan mendatang. Radhar mengusulkan pengajaran untuk menggantikan pendidikan, sementara Iwan menekankan belajar. Adapun Abduhzen mengusulkan agenda perubahan fundamental dan struktural yang gradual.

Radhar mulai mempertanyakan persekolahan sebagai produk oksidental, sementara Iwan tampak masih percaya pada persekolahan. Adapun Abduhzen kurang jelas agenda perubahan struktur yang dimaksudkannya, terutama mengenai persekolahan sebagai sistem.

Dalam tulisan ini saya mengajukan deschooling sebagai jalan baru pengajaran ke depan, apalagi jika kita bermaksud mengembangkan pengajaran maritim sebagaimana digagas Radhar.

Kesalahan pokok kebijakan pendidikan kita selama ini adalah mendekati pendidikan sebagai persekolahan.

Pemerintah percaya bahwa pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa dilaksanakan secara efektif melalui sistem persekolahan dengan semua formalismenya: gedung, kurikulum, dan guru bersertifikat, bahkan standardized test semacam ujian nasional atau SAT di Amerika Serikat, termasuk untuk anak-anak di pulau-pulau terpencil sekalipun!

Hemat saya, kebijakan ini sejak awal keliru, apalagi di zaman internet saat ini. Sekolah adalah struktur lama yang paling mengganggu kinerja sistem pendidikan nasional kita selama ini.

Sir Ken Robinson bahkan menyalahkan sekolah sebagai sumber krisis sumber daya manusia. Sekolah, seperti yang ditengarai oleh Ivan Illich hampir 45 tahun silam, cenderung memonopoli layanan pendidikan.

Sekolah merancukan learning dengan teaching. Sekolah menyebarkan gagasan bahwa manusia tidak bisa belajar tanpa kurikulum ketat dan guru profesional bersertifikat. Padahal, manusia sudah belajar sebelum sekolah diciptakan di Inggris sejak revolusi industri pada abad ke-18. Belajar adalah sifat bawaan kita, tidak perlu ketersediaan formalisme persekolahan yang menyerap sumber daya.

Fokus belajar

Kita harus lebih fokus pada belajar, bukan bersekolah. Bagi kebanyakan anak, 
belajar adalah sebuah proses spontan dan alamiah. Semula yang dibutuhkan anak adalah ibunya. Selanjutnya anak bisa belajar sendiri secara otodidak.

Memaksanya dalam setting persekolahan justru tidak saja mengurangi belajar yang bermakna, tetapi juga sekaligus mengurangi akses pada kesempatan belajar bagi banyak anak, terutama dari keluarga miskin dan anak yang tinggal di daerah terpencil.

Artinya, begitu belajar diartikan sebagai bersekolah, belajar langsung jadi barang langka by definition. Belajar bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Belajar adalah kesempatan yang berlimpah. Education for all is only possible by all. Mensyaratkan guru, apalagi yang bersertifikat, dalam belajar adalah keliru dan tidak perlu.

Masalah kita saat ini adalah terlalu banyak sekolah, terlalu terobsesi dengannya, dan terlalu lama di dalamnya.

Wajah kusut kita saat ini adalah cermin sebuah masyarakat yang makin bersekolah, tetapi tidak makin terdidik.

Sekolah, dengan paradigma standardisasinya, adalah tempat keragaman dan keunikan pelajar secara terencana diganti dengan keseragaman sesuai standar yang ditetapkan outside-in dari luar.

Di sekolah itu, anak-anak mungkin belajar banyak hal kecuali menjadi dirinya sendiri yang unik. Jika Kartu Pintar dikembangkan sebagai instrumen Wajib Sekolah, lalu dimaksudkan untuk memaksa anak-anak masuk sekolah hingga SMA, maka kebijakan ini akan memperparah ketersekolahan bangsa ini, tetapi tidak memperbaiki keterdidikannya.

Jangan berlebihan

Kita hidup dalam semesta dengan kaidah law of diminishing return atau yang oleh Malcolm Gladwell dalam David and Goliath disebut kaidah U terbalik. Banyak hal termasuk sekolah hanya bermanfaat jika jumlahnya tidak berlebihan.

Gula darah dalam jumlah tertentu baik bagi kesehatan, tetapi jika mulai berlebihan justru menyebabkan diabetes. Begitulah, melampaui tingkat tertentu, sekolah justru mulai buruk bagi masyarakat.

Kecenderungan sekolah memonopoli pasar pendidikan mempercepat mudarat yang dibawa oleh kebijakan yang makin terobsesi dengan persekolahan dan menjadikan persekolahan sebagai tumpuan keterdidikan masyarakat.
Dalam perspektif ini, Wajib Belajar yang diartikan mentah-mentah sebagai Wajib Sekolah berpotensi mendorong overschooling.

Mudarat overschooling yang paling berbahaya adalah pelemahan lembaga keluarga. Semula keluarga masih percaya diri untuk mengemban tugas-tugas mendidik anak-anak.

Sekolah formal hanya bersifat pelengkap dan penambah. Namun, sekarang, banyak keluarga pasrahbongkokan pada sekolah, termasuk untuk mendidik karakter mereka.

Sekolah juga telah mengasingkan anak-anak kita dari lingkungan mereka sendiri, untuk mentransformasikan diri menjadi masyarakat urban yang industrial.
Sekolah adalah faktor terpenting yang mendorong urbanisasi sebagai gejala global, seiring dengan migrasi nilai tambah dari sektor agro-kompleks ke sektor industri, lalu terakhir ke sektor keuangan.

Untuk Indonesia, sekolah bertanggung jawab atas penelantaran kesadaran dan keterampilan maritim bangsa ini.

Karena itu, penting untuk mendekonstruksi sistem persekolahan dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan memperkuat keluarga sebagai basis pendidikan masyarakat.

Sekolah hanya warung yang menyediakan makan siang seragam gaya hidup kota. Adalah sarapan dan makan malam beragam masakan ibu di rumah yang akan menentukan keterdidikan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar