Gawat
Darurat Hukum Konservatif
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 06 September 2014
Minggu
(31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesetyo,
biasa dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia Gawat Darurat. Buku
setebal 1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan Bamsoet di berbagai
media massa selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sesuai judulnya,
buku tersebut menggambarkan sisi suram Indonesia selama pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Di
dalam buku yang dibagi atas sembilan isu gawat darurat Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan
yang tak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY.
Saya
sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu, mempunyai kesan
bahwa isi buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap pemerintahan SBY.
Saya mempertanyakan, mengapa hanya menulis kritik dan tidak ada sama sekali
tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintahan SBY. Atas
kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa bukunya itu memang berisi reaksi atas
berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari posisinya sebagai pengawas
pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan pengawas terhadap
yang diawasi.
Maka
itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan SBY seperti meningkatnya
demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers, stabilitas, dan pertumbuhan
ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini. Terlepas dari soal setuju
atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang dikupasnya, buku ini
menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau glosarium berbagai
persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua.
Kalau
kita ingin mengingat dan melihat peristiwa penting dan panas pada era
tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada daftar isi buku dan mendapat
penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian-uraiannya meski
opininya lebih berwajah Bamsoet. Saya sependapat dengan mantan Wakil Gubernur
DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi buku Bamsoet ini memuat beragam
masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang tak bisa dicegah dan
ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY.
Janji
SBY yang pernah mengatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi tak
benar-benar bisa dilakukan. Malah tokoh-tokoh partai yang dipimpinnya, Partai
Demokrat, baik yang ada di eksekutif maupun di legislatif banyak yang terlibat
korupsi. Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika keseluruhan isi
buku ini dispesifikkan pada sudut hukum atau diletakkan di dalam kerangka
pemahaman hukum yang agak teoretis, dapat dikatakan bahwa hukum-hukum kita
saat ini sudah menjadi begitu konservatif.
Hukum
konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, pembuatannya
lebih banyak ditentukan secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara, miskin
partisipasi rakyat. Pada zaman Orde Baru semua rancangan undang-undang (UU)
sampai penetapannya sangat didominasi oleh lembaga eksekutif sehingga DPR
lebih merupakan rubber stamps atau
stempel karet yang harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang
diajukan pemerintah. Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih
besar untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap
konservatif, lebih banyak ditentukan oleh elite.
Tidak
jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai produk hukum
dibicarakan melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR, termasuk di
hotel-hotel, dan restoran-restoran. Itulah sebabnya banyak UU yang isinya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang kemudian
ditangkap dan dihukum oleh KPK.
Kedua,
dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak kolusi
antarpenegak hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim,
jaksa, polisi, pengacara, dan pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang
digelandang ke pengadilan karena penyuapan dan permainan perkara.
Hukum
konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite, sedangkan penegakannya
diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan.
Ketiga
, hukum konservatif memberi peluang opened interpretative yakni memberi peluang besar untuk
ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator dengan berbagai peraturan
pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat aturan-aturan turunan
berdasarkan kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi perdebatan penting atas
satu materi RUU di DPR, sulit dicapai titik temu, tetapi kemudian diambil
jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa hal yang diperdebatkan itu diserahkan
saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan oleh pemerintah
atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian
membuka terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan.
Dari
bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif kemudian timbul
pertanyaan mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini hukum-hukum kita masih
konservatif? Bukankah reformasi kita lakukan agar kita bisa membangun sistem
politik yang demokratis sehingga bisa lahir hukum-hukum yang responsif.
Jawabannya, karena sebenarnya konfigurasi politik kita sudah berbelok dari
demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis pada masa sekarang ini.
Di
dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi didominasi oleh
aspirasi rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite dengan
kepentingan-kepentingannya sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang
oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif menjadi niscaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar