Manfaatkan
Energi Terbarukan
Ivan Hadar ; Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
|
KORAN
SINDO, 06 September 2014
Saat ini harga minyak mentah di bursa internasional
berada pada kisaran USD98 per barel, jauh dibandingkan USD80 per barel pada
2010. Tren penguatan ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga menembus
batas psikologis USD100 per barel. Harga minyak yang tinggi diakui oleh
pemerintah telah menyebabkan pembengkakan anggaran dan menekan nilai tukar
rupiah. Sebuah lembaga penelitian menghitung bahwa setiap kenaikan USD1 per
barel harga minyak di atas asumsi APBNakanmemperbesardefisit setidaknya Rp550
miliar.
Namun, ketika Jokowi menyatakan siap menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM), sejumlah politisi PDIP malah meminta Jokowi
untuk tidak memaksakan rencana itu. Itu bisa dipahami karena selama ini PDIP
paling getol menolak kenaikan harga BBM sebab dipastikan akan menyengsarakan
rakyat kecil. Hasil survei yang dilakukan LSI pada 24-26 Agustus 2014 juga
menyebut bahwa sekitar 73% rakyat menyatakan tidak setuju harga BBM
dinaikkan.
Sebenarnya hal yang mendesak setelah perubahan
status kita sebagai negara yang pernah menjadi salah satu pengekspor minyak
terbesar menjadi negara pengimpor sekitar lima tahun lalu adalah memanfaatkan
potensi energi terbarukan yang dimiliki negeri ini secara berlimpah. Karena
tidak dilakukan oleh pemerintahan SBY, setidaknya pemerintahan Jokowi-JK
harus menunjukkan keseriusan untuk keluar dari ketergantungan pada energi
fosil, baik minyak bumi, gas maupun batu bara. Ini sekaligus menunjukkan
kepedulian pemerintah terhadap kelestarian lingkungan hidup
Energi Terbarukan
Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi
terbarukan pada prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM. Energi
baru yang dimaksud adalah energi yang dihasilkan teknologi baru, termasuk
nuklir. Namun, sebagai negara yang sering diguncang gempa, Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) terbilang rawan. Jepang bisa menjadi pembelajaran yaitu
ketika diterpa gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter saja telah merusak
sebagian fasilitas PLTN di Kashiwazaki.
Sedangkan energi terbarukan adalah sumber
energi yang dihasilkan sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan
habis seperti aliran sungai, panas bumi, biofuel, panas surya, angin,
biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Bagi negeri tropis
seperti Indonesia, salah satu energi alternatif yang tak terbatas adalah
sinar matahari. Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet
bumi 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100
kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi.
Sementara teknologi mutakhir telah mampu
mengubah 10-20% pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara
teoritis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan
tersebut hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi. Sebuah besaran yang
jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit
tenaga listrik. Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah
ruah berikut seabrek kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat
minim.
Ironisnya, negara-negara di belahan utara yang
relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi
terperbaharui, ramah lingkungan, dan aman ini, dibandingkan kita di kawasan
tropis. Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang
angkasa. Kini pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah
pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi
sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar.
Ketika harga minyak pasar internasional mencapai
USD60 per barel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi
terperbaharui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama.
Kini persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di
sektor industri kecil dan menengah. Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global
dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Empat puluh tahun
mendatang kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan
energi 20 miliar ton minyak bumi.
Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena
eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa
penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar USD4,5
triliun. Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia
yang setiap tahun disinari energi matahari berpotensi besar untuk keluar dari
ketergantungan pada energi fosil seperti BBM.
Kelebihan energi matahari yang sering
diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun
lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari
yaitu solar thermal dan photogalvanic berikut ini menggambarkan hal tersebut.
Keduanya tidak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Ide awal
tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit
listrik pertama dibangun di Mesir pada 1912, tetapi ditutup saat usai perang
dunia I karena rendahnya harga minyak.
Sementara pengembangan pembangkit listrik
Photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga
peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan
energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Awal 70-an
harga per modul masih sangat mahal yaitu USD300.000. Kini harganya sekitar
USD5. Masih relatif mahal memang. Tetapi, melihat pesatnya perkembangan
pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah
mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal abad ini.
Kemauan Politik
Menilik berbagai kelebihan energi
terperbaharui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang
pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan
kebijakan energi nasional dan global. Pertama, harus ada diversifikasi
penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini.
Sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.
Di negara-negara industri, hanya sekitar 5%
dana penelitian yang diperuntukan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar
untuk jenis energi fosil. Di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, hal
tersebut lebih memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini,
biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi matahari dengan “Solar Thermal
Technic“ dan “PV Technic“ dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik.
Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan
eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih sepenuhnya
disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi
terperbaharui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak
untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Semoga!
Kemauan Politik
Menilik berbagai kelebihan energi
terperbaharui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang
pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan
kebijakan energi nasional dan global. Pertama, harus ada diversifikasi
penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini.
Sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.
Di negara-negara industri, hanya sekitar 5%
dana penelitian yang diperuntukan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar
untuk jenis energi fosil. Di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, hal
tersebut lebih memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini,
biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi matahari dengan “Solar Thermal
Technic“ dan “PV Technic“ dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik.
Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan
eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih sepenuhnya
disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi
terperbaharui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak
untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar