Budaya
Akuntabilitas
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 04 September 2014
Saya
ajak Anda mengikuti kisah berikut. Fast Grill, perusahaan makanan, tengah
merumuskan berapa pertumbuhan profit yang harus dicapai agar perusahaan tetap
bertahan di tengah sengitnya persaingan bisnis.
Dalam
suatu rapat, jajaran manajemen membahas beberapa angka. Ada yang menyebut
3,5%, lalu lainnya 5,5%, tapi ada juga yang usul 7,5%. Jadi, berapa angka
pastinya? Mereka menoleh ke sang CEO. Jawaban sang CEO kurang lebih begini,
“Antara 3,5% dan 7,5%.” Semua peserta rapat bingung. Sang CEO menjelaskan,
3,5% adalah angka yang akan mereka sodorkan ke pemegang saham. Lalu, 5,5%
angka yang mestinya bisa mereka capai.
Kemudian,
angka 7,5% adalah angka bisa diraih jika seluruh jajaran perusahaan
betul-betul bekerja keras dan mau memaksa diri. Jadi berapa angkanya?
Ketidakjelasan semacam ini bisa menimbulkan masalah bagi perusahaan. Angka
mana yang menjadi pegangan bawahan ketika akan membuat rencana kerja untuk
mencapai hasil yang diharapkan. Rencana kerja untuk mencapai pertumbuhan
profit 3,5% tentu sangat berbeda dengan target 5,5%, apalagi yang 7,5%.
Kasus
yang menimpa Fast Grill, saya kira, menimpa kita juga. Kita kerap mengalami
kesulitan untuk menetapkan satu target yang jelas dan terukur. Kalau
targetnya terlalu tinggi, kita khawatir tidak akan tercapai sehingga bisa
mencoreng reputasi jajaran manajemen. Sementara kalau angkanya terlalu
rendah, kita juga cemas para pemegang saham akan menilai kita terlalu malas.
ATL vs BTL
Bagaimana
kondisi semacam ini bisa terjadi? Roger Connors dan Tom Smith (2004)
menuturkan, kasus itu adalah potret dari kurangnya pengembangan budaya
akuntabilitas (culture of
accountability) di dalam perusahaan. Membangun budaya semacam ini jelas
bukan pekerjaan satu malam. Di dalam perusahaan, kita bisa memulai dengan
memilah-milah perilaku karyawan dalam dua kelompok yang berbeda secara ekstrem.
Yakni
kelompok dengan pemikiran dan perilaku yang bertanggung jawab dan kelompok
yang tidak bertanggung jawab. Kelompok pertama (bertanggung jawab) saya sebut
sebagai drivers dan kelompok lainnya passengers.
Pada kelompok drivers tampak,
setiap menjumpai permasalahan, mereka akan berpikir dan bertindak dengan
penuh tanggung jawab. Sementara mereka yang passengers , apalagi yang bad passengers, biasanya akan
terperangkap dengan mulai mencari siapa yang salah dan merasa selalu menjadi
korban. Hidup tidak selalu lurus. Jadi wajar saja jika suatu saat kita
terperangkap masuk dalam kelompok passengers.
Itu alamiah.
Siapa
manusia yang tak pernah melakukan kesalahan? Tapi, kita jangan juga terus
membiarkan diri terperangkap di kotak penumpang itu. Begitu sadar, segeralah
keluar. Sebab mereka yang berada di kelompok penumpang biasanya tak akan
pernah bisa memberikan hasil positif bagi perusahaan. Sementara kelompok
drivers akan selalu menjadi bagian dari solusi bagi perusahaan. Setiap kali
menemukan masalah, mereka akan selalu mencari cara-cara untuk mengatasinya.
Bagi mereka, setiap masalah adalah peluang untuk menjadikan dirinya lebih
maju lagi ketimbang sekadar mencari-cari alasan atas suatu kegagalan.
Kelompok ini biasanya akan fokus pada apa yang bisa mereka lakukan ketimbang
pada apa yang tidak bisa mereka lakukan.
Membangun Drivers
Untuk
membangun lebih banyak kelompok drivers
yang disebut above the line (ATL)
oleh Connors dan Smith, pertama-tama kita harus menyadari pentingnya
mengenalkan tahap-tahap menuju budaya akuntabilitas, yakni See It, Own It, Solve It , dan Do It. See It artinya kita akan terus
mencari perspektif baru dari orang lain, berkomunikasi secara jujur dan
terbuka, selalu menawarkan dan meminta feedback,
siap mendengarkan hal yang paling sulit sekalipun sehingga kita memahami
kenyataan yang sebenarnya. Sikap ini bisa diterapkan secara bolak-balik.
Misalnya,
dari atasan ke bawahan atau bawahan ke atasan, unit yang satu dengan unit
yang lain, atau ke sesama rekan kerja. Mereka adalah mitra-mitra yang akan
membantu kita agar berani menghadapi kenyataan. Setelah itu kita jadikan
pengalaman tersebut sebagai investasi pribadi atau Own It. Pada tahap ini biasanya kita mulai selalu menyinergikan
pekerjaan kita dengan rencana perusahaan. Bila kita mampu melakukannya, akan
muncul rasa memiliki.
Jadi,
kepemilikan ini sangat tergantung pada kemampuan kita mengaitkan antara di
mana kita, apa yang sudah kita lakukan pada hari ini dengan akan ke mana kita
dan apa yang akan kita lakukan. Tahap Own
It ini adalah jantung dari akuntabilitas. Solve It. Pada tahap ini dibutuhkan upaya yang gigih untuk
mengatasi berbagai masalah yang menghadang upaya kita meraih hasil. Mereka
yang sudah mencapai tahap ini bisa dengan mudah kita kenali dari
pertanyaannya, “Apalagi yang bisa saya kerjakan?” Ini cerminan dari
kesungguhannya dalam mengejar hasil, menghadapi permasalahan, dan meraih
kemajuan.
Tahap
Solve It ini juga meliputi
kemampuannya dalam menghadapi permasalahan lintas fungsi, kreativitas kita
ketika mengatasi masalah, dan keberanian dalam mengambil risiko secara
terukur. Do It. Tahap ini merupakan
puncaknya. Ini berarti kita harus melakukan apa yang ingin kita lakukan,
fokus pada yang menjadi prioritas, bertahanlah di kelompok ATL dengan tidak
menyalahkan orang lain, dan terus menjaga kepercayaan yang sudah tumbuh.
Meski kita sudah melewati tiga tahap sebelumnya, untuk bisa bertahan pada
kelompok ATL, kita harus melakukan tahap terakhir, Do It.
Perilaku
ATL inilah yang menjadi fondasi dari budaya akuntabilitas. Budaya ini hanya
akan muncul jika kita menapaki tahap-tahap menuju budaya tersebut. Saat ini
kita hidup di lingkungan di mana menjadi nomor satu adalah sesuatu yang
penting. Kita juga hidup di lingkungan bisnis yang cepat berubah, entah
karena kehadiran teknologi baru, inovasi atau perubahan regulasi. Maka,
penting bagi kita untuk mampu dengan cepat mengubah budaya perusahaan.
Semakin
cepat kita bisa melakukannya, semakin cepat pula kita mendapatkan hasil dan
semakin adaptif pula perusahaan merespons cepatnya perubahan lingkungan
bisnis. Ingat, dahulu kita mampu meraih hasil melalui budaya kerja lama.
Tapi, dengan berubahnya lingkungan bisnis, mungkin kita tak akan pernah mampu
meraih hasil yang sama dengan hanya mengandalkan cara-cara kerja dan budaya
kerja yang lama.
Kata Albert Einstein, kita bisa
gila jika berharap memperoleh hasil yang berbeda dengan hanya melakukan hal
yang sama.
Sesederhana itu. Maka, penting bagi seorang pemimpin untuk mampu membangun
budaya kerja baru di perusahaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar