Penumpang
Gelap Jokowi-JK
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR RI, Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017, Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 September 2014
Mahkamah
Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Namun,
hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan
masih belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya
menangkal penetrasi kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan
mudah dilihat publik jika ada penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka.
Menunggu kehadiran pemerintah baru, sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi
pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam debat kandidat calon presiden
putaran terakhir.
Dia
saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor)
tambang, minyak, dan gas memang banyak kelompok kepentingan. Semua sudah tahu
pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan untuk hentikan itu? Jika
kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami (Jokowi-JK)
tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam
istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang
berdampingan dengan sebuah rezim pemerintahan.
Kelompok-kelompok
itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil dalam
proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik
modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar
proyek-proyek pemerintah yang profitable
atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu tak akan
pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau
ruang kerja menteri.
Dibuat
kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok- kelompok itu hanya perlu
bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan
itu di pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau
menteri. Maka itu, ketika Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi
dan tidak memberi akses bagi kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi
kebijakan pemerintahannya, ia diacungi jempol. Tetapi, pada saat bersamaan,
muncul juga pertanyaan.
Mampukah
presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok
kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi
atau bahkan Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi
terbesar terjadi di sektor energi. Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian
bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost
recovery.
Modus
lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan bakar
minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang
membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus
ini kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus
korupsi ini bisa berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di
kabinet. Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka
memonopoli impor sejumlah komoditas kebutuhan pokok rakyat.
Ada
kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel daging sapi. Tentu saja
kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa mendapatkan
hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan
merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga
kedelai, bawang putih, hingga daging sapi. Ambisi Jokowi untuk mengakhiri
sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat ideal dan menjadi
harapan seluruh rakyat.
Tetapi,
apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok
kepentingan? Inilah yang masih ditunggu khalayak. Tetapi, di ruang publik
para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang sudah melihat bahwa
kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan Jokowi-JK.
Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar
Jokowi-JK. Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK
pada tahap persiapan transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi,
Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar kabinet dan pemerintahan mereka nanti
tidak disusupi penumpang gelap.
Suara Publik
Salah
satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir
ini adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan
kompetensi Rini memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen
Keuangan AS, menjabat vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra
International yang mengelola pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan
Eropa.
Dengan
rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini
dengan kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional.
Toyota, Daihatsu, dan Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan
masa depan pangsa pasar mereka jika Jokowi bersikukuh terus mendukung
pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut untuk diasumsikan bahwa
tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini sebagai
teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang
industri automotif.
Kedatangan
senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga memunculkan
beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta
ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak
berkepastian. Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri
Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga
dari Partai Republik, terbang ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan
perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk menjadi operator ladang minyak
Blok Cepu berlarut-larut.
Hanya
sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil
sebagai pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka
itu, boleh jadi, McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi
kelompok kepentingan dari AS untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain
memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan
ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain itu kepada Jokowi-JK.
Ketika
persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana
Jokowi-JK menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung
memproduksi ponsel di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok
kepentingan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah
memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu dalam pertemuan dengan Jokowi
di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok kepentingan yang berhasil
memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi kepada tim Jokowi-JK.
Jadi,
ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok- kelompok
kepentingan untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris
sama dengan praktik koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi
sesuatu, Anda pun mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses
seperti itulah akan muncul penumpang gelap dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut
penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok kepentingan bisa merusak
strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang dijanjikannya
semasa kampanye.
Tentu
saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan
kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar
yang diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam
membentuk kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal
Jokowi-JK mestinya memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan
mana figur yang layak dan tidak layak untuk menjabat menteri.
Harapan
kita, pasangan Jokowi-JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi
mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik
pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng- bopeng
pemerintahan yang amburadul. Selamat
bekerja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar