Thukul
Anton Kurnia ; Cerpenis
|
KORAN
TEMPO, 04 September 2014
Tubuhnya
kurus kerempeng. Rambut ikalnya gondrong acak-acakan. Wajahnya bernuansa
agraris alias ndeso. Namun kekuatan kata-katanya sanggup membikin jeri
penguasa, sehingga dia harus diburu dan dibungkam. Dialah Wiji Thukul.
Penyair legendaris yang hilang sejak 1998 itu terlahir ke dunia pada 26
Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, sebagai Wiji Widodo. Jika saat ini
dia masih hidup, usianya genap 51 tahun.
Walau
dia tak lagi ada bersama kita, kata-kata pusakanya yang terabadikan lewat
sajak-sajak perlawanan terus berkumandang dan abadi dalam ingatan. Seperti
larik-larik ini: "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam
kritik dilarang tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu kenyamanan/Maka
hanya ada satu kata: Lawan!" (Peringatan,
1986).
Thukul
adalah potret anak bangsa yang kritis dan mencintai negerinya. Tapi itu
membuatnya tak disukai penguasa yang malah bernafsu membungkam suara jujurnya
yang sumbang. Seperti kata-kata dalam sajaknya yang lain: "Seumpama bunga/Kami adalah
bunga/Yang tak kau kehendaki adanya/Engkau lebih suka membangun jalan raya
dan pagar besi//Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi
kami sendiri" (Bunga dan
Tembok, 1987).
Walau
suaranya dicoba dibungkam dan jasadnya telah dihilangkan, kata-kata Thukul
terus bergema menyuarakan perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Serupa
larik-larik ini: "Sesungguhnya
suara itu tak bisa diredam/Mulut bisa dibungkam/Namun siapa yang mampu
menghentikan nyanyian bimbang/Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku …
Mengapa kau kokang senjata/Dan gemetar ketika suara-suara itu/Menuntut
keadilan?" (Sajak Suara).
"Perjuangan
manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa," ujar novelis Milan
Kundera. Belasan tahun telah berlalu sejak Wiji Thukul diculik dan
dihilangkan penguasa tanpa pertanggungjawaban dan kabar yang pasti hingga
kini. Istrinya terus hidup menjanda. Kedua anaknya tumbuh dewasa tanpa
kehadiran sosok ayah tercinta. Namun kasus penculikan terhadap Thukul dan
para aktivis politik yang terjadi di ujung kekuasaan Orde Baru jangan sampai
dilupakan dan lenyap begitu saja seiring dengan berlalunya waktu serta
hiruk-pikuk politik.
Peristiwa
kelam itu harus terus diperingati agar bisa dijelaskan dan dituntaskan.
Orang-orang yang bertanggung jawab atas perbuatan keji itu mungkin hingga
kini masih ongkang-ongkang kaki menikmati kekuasaan. Mereka harus diadili dan
menerima hukuman setimpal. Hukuman ini tentu saja bukan untuk membalas
dendam, melainkan sebagai pelajaran moral agar kasus semacam ini jangan
sampai terulang di kemudian hari.
Kita
berharap pemerintah baru, yang akan mulai bertugas pada 20 Oktober mendatang,
memiliki keberanian dan niat baik untuk membongkar dan menuntaskan kasus
misterius ini. Siapa pun yang bersalah-tak peduli dia punya saham dalam
menaikkan penguasa ke tampuk kekuasaan atau orang kuat yang berada di luar
pemerintahan-harus diseret ke meja hijau dan mempertanggung-jawabkan
dosa-dosa mereka secara kesatria.
Apa
pun alasannya, penghilangan paksa dan pembungkaman rakyat hanya karena
perbedaan pendapat tidak bisa dibenarkan dan wajib dihentikan. Kewajiban
negara adalah melindungi keselamatan segenap rakyat. Sebab, keselamatan
rakyat adalah konstitusi tertinggi. Salus
populi suprema lex esto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar