Praksisme
Pancasila
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
17 Oktober
2017
Jika masih ada saja orang yang
mempersoalkan Pancasila sebagai dasar filosofi dan ideologi negara, maka
orang tersebut jelas buta sejarah dan bacaannya sungguh sangat terbatas dan
tidak bermutu. Atau mereka itu hidup dalam angan-angan sesat yang sarat dengan
utopia.
Dulu PKI memandang Pancasila
cuma sebagai alat pemersatu, bukan sebagai filosofi dan ideologi negara.
Sementara itu partai-partai Muslim yang semula mengajukan Islam sebagai dasar
negara, melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang menegaskan “bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,” maka
sebenarnya sebuah kompromi ideologis kenegaraan sudah tercapai, sekalipun ada
partai Muslim yang tidak puas.
Dekrit 5 Juli itu telah
mengakhiri secara formal periode Demokrasi Parlementer yang dimulai secara
konstitusional sejak 1950 di bawah payung UUDS 1950. Sejalan dengan perubahan
mendasar ini, maka sejak 5 Juli 1959 setiap gerakan atau pendapat tentang dasar
negara yang bertujuan mengganti Pancasila menjadi tidak mungkin dan tidak
dibenarkan, kecuali bila Majelis Permusyawaratan Rakyat pilihan rakyat
menghendakinya sesuai dengan Fasal 37 UUD 1945.
Ditinjau dari nuansa zaman
tahun 1959 itu, Dekrit 5 Juli itu bagi sebagian partai dipandang sebagai
pemaksaan penguasa agar kekuasaan negara terpusat di satu tangan.
Ada tiga butir isi Dekrit itu:
1. Pembubaran Majelis Konstituante; 2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali
dan UUDS tidak lagi berlaku; 3. Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara) dalam waktu
singkat. Jika kemudian Dekrit 5 Juli telah melahirkan sistem politik
otoritarian, sungguh patut disesalkan, sesuatu yang menyimpang jauh Pancasila.
Sebenarnya Pancasila sebagai
Dasar Negara dengan redaksi yang sedikit berbeda, tidak pernah tersingkir
dari konstitusi-kontitusi Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan. Tetapi
rumusan yang digunakan sejak Dekrit 5 Juli adalah rumusan yang terdapat dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan catatan tujuh perkataan yang semula
mengiringi sila pertama Ketuhanan yang berbunyi:”…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dihilangkan pada 18
Agustus 1945, demi keutuhan bangsa dan persatuan nasional.
Sila pertama ini kemudian
disempurnakan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa pada 18 Agustus 1945. Begitu
juga seluruh butir dalam Pembukaan UUD 1945 adalah warisan Piagam Jakarta
minus tujuh perkataan yang dihilangkan itu.
Sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai
hari ini redaksi Pancasila tidak pernah lagi mengalami perubahan, sudah
berjalan selama 58 tahun. Pertanyaan utamanya tetap saja tak berubah: apakah
sila ke-5 Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai
tujuan kemerdekaan bangsa sudah menjadi kenyataan? Jawabannya: sama sekali
belum! Masalah keteledoran fundamental inilah yang mengganggu perjalanan
sejarah modern Indonesia untuk maju lebih cepat dan percaya diri.
Ke depan tidak ada pilihan
kecuali negara wajib mengarahkan seluruh langkahnya untuk memecahkan masalah
yang sangat serius ini. Jika proses keadilan ini tetap tersedat-sendat, kita
cemas kerusuhan sosial bisa meledak lagi. Ini akan menghancurkan semua yang
sudah dengan susah payah dibangun dengan biaya yang tinggi.
Tetapi alangkah sukarnya para
politisi Indonesia diajak untuk bersama-sama negara mau memusatkan perhatian
kepada tegaknya keadilan sosial ini dalam tempo yang tidak lama.
Tuntutan rakyat itu sebenarnya
tidak banyak. Sekiranya sudah cukup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
pendidikan buat anak-anaknya, mereka sudah bahagia. Indonesia dengan sumber
daya alamnya yang masih tersisa, jika tidak salah urus, sebenarnya dapat jadi
contoh bagi bangsa Muslim lainnya dalam hal tegaknya keadilan dan meratanya kemakmuran.
Pesan Pancasila untuk meraih tujuan mulia ini sudah terang benderang, tetapi
mengapa para elitenya tidak juga faham?
Kerentanan dan kegelisahan
masyarakat miskin ini sungguh sangat beralasan. Dalam Resonansi di bawah
judul “Nasionalisme Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa” tertanggal 20 Juni 2017,
saya mengaitkannya dengan masalah penguasaan tanah yang sangat tidak adil: 93
persen tanah Nusantara berada di tangan konglomerat (domestik 80 persen,
asing 13 persen). Sisanya yang tinggal 7 persen inilah yang menjadi sumber
penghidupan lebih dari 250 juta rakyat Indonesia.
Ketimpangan yang serius ini
terjadi di sebuah negara dengan Pancasila sebagai dasar filosofisnya. Angka
statistik ketimpangan ini saya kemukakan lagi dalam rapat UKP-Pancasila pada
4 Oktober 2017 yang lalu untuk disadari bersama secara mendalam dalam upaya
mempertautkan idealisme Pancasila dengan dimensi praksismenya yang dibiarkan
telantar sekian lama.
REPUBLIKA,
24 Oktober 2017
Tetapi harus diingat bahwa
ketimpangan penguasaan tanah di atas tidak semata-mata karena ulah
konglomerat. Negara --dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah—yang memberi
fasilitas kepada mereka mesti bertanggung jawab mengapa para konglomerat itu
diberi izin sampai sejauh itu.
Juga karena konglomerat itu
pasti menggunakan jasa perbankan, maka para bankir mesti pula ikut menanggung
dosanya. Oleh sebab itu, masalahnya sudah sangat mendesak agar negara melalui
UU Agraria secepatnya menata dan mengatur kembali hak penguasaan tanah itu,
demi pulihnya wibawa dan penguatan Pancasila dalam bentuknya yang kongkret,
bukan dalam teori dan kajian akademis.
Itu baru contoh di bidang
pertanahan. Di bidang lain, seperti dalam perundangan-undangan amat perlu
dikaji kembali mana-mana yang sejalan dengan Pancasila yang harus diperkuat
dan bagian mana pula yang berlawanan dengannya yang harus diubah. Ini jelas
pekerjaan besar yang memerlukan otak besar dan kemauan politik dari negara.
Tanpa gerakan besar ke arah tegaknya keadilan ini, Indonesia akan tetap saja
digoyang oleh berbagai kegaduhan dan kerentanan sosial yang bisa mengancam
masa depan eksistensi bangsa dan negara ini, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Dari berbagai sumber yang dapat
dipercaya didapat keterangan bahwa pemerintah Jkw-JK dalam tenggat waktu tiga
tahun telah membangun infrastuktur yang luar biasa hebatnya di seluruh
negara. Sepengetahuan saya, pembangunan raksasa ini belum pernah terjadi
sebelumnya sejak kita merdeka.
Minggu pertama Oktober ini,
seorang menteri menemui saya di Jakarta untuk menceritakan betapa seriusnya
pemerintah membangun infrastuktur yang sekian lama terbengkalai. Juga harus
dicatat pada periode yang lalu terdapat puluhan proyek besar yang mangkrak
yang menjadi beban pemerintah berikutnya.
Tuan dan puan bisa membayangkan
berapa triliun rupiah yang menguap akibat kecerobohan pembangunan ini. Proyek
pusat olahraga Hambalang hanyalah salah satu di antara yang mangkrak itu,
selain sekitar 15 proyek rumah sakit yang tidak dirampungkan oleh pemerintah
sebelumnya. Sejak proklamasi kemerdekaan, terutama sejak 1959, karena
kelemahan perencanaan dan pengawasan pembangunan nasional kita, sungguh
bangsa dan negara ini telah membuang waktu secara sia-sia selama puluhan
tahun dengan dana APBN dalam jumlah ribuan triliun.
Pembangunan infrastuktur ini
tentu tidak bisa cepat dirasakan hasilnya, tetapi harapan perbaikan sudah
berada di depan mata. Semua orang dapat menyaksikannya. Bahwa di sana-sini
masih banyak terdapat kebocoran anggaran, itu semua sudah jadi rahasia umum
karena mentalitas koruptif bangsa ini yang belum sembuh juga, jika bukan
malah semakin parah. Yang masih hangat adalah proyek E-KTP yang heboh itu
dengan melibatkan nama-nama besar.
Negara Indonesia memang sarat
dengan situasi yang serba antagonistik. Pembangunan nasional berlangsung
dengan gencar, tetapi korupsi yang menggerogotinya juga tidak kurang
dahsyatnya. Maka jadilah Indonesia terjepit dan tersandra antara pembangunan
dan rongrongan korupsi yang tidak pernah jera. Nyaris saban hari kita diberi
tahu adanya OTT KPK terhadap pejabat publik yang jumlahnya sudah ratusan.
Kelakuan hitam mereka yang
telah mengkhianati sumpah jabatannya itu bila disandingkan dengan idealisme
Pancasila, alangkah sangat memalukan dan telah menghancurkan martabat mereka
sebagai manusia beradab. Sebagian mereka malah terus tersenyum, padahal
tangannya sedang diborgol. Jenis makhluk macam apa ini?
Indonesia raya kini sedang
berada dalam pertarungan dan benturan ketegangan antara idealisme Pancasila
yang serba luhur dan dimensi praksismenya yang masih tunakeadilan dan
tunakeadaban. Maka sila kedua dan kelima Pancasila: “Kemanusiaan yang adil
dan berdab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” wajib
memenangkan pertarungan itu, sebab kekuatan daya tahan bangsa ini akan sangat
tergantung kepada capaian kemenangan itu.
Jika kita semua sudah sadar
akan makna tanggung jawab kita terhadap bangsa dan negara, maka kita
harus bergerak bersama dengan tekad
yang padu untuk secepatnya mendekati tujuan kemerdekaan. Yakinlah bahwa
kemenangan itu pasti akan berada di pihak praksisme Pancasila yang sudah
bergandengan tangan dengan dimensi idealismenya karena berhasil dibawa turun
ke bumi kenyataan. Oleh sebab itu, elite bangsa ini harus berhenti menelikung
Pancasila dengan kelakuan koruptif dan busuk, seperti dipertontonkan selama
ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar