Penguatan
Kesadaran Kebangsaan (I)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
31 Oktober
2017
Setelah 72 tahun lebih dua
bulan merdeka, semestinya kesadaran kultural kita sebagai bangsa sudah
semakin kokoh, tidak muncul lagi isu-isu negatif dan destruktif seperti
adanya ancaman daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari ikatan
kebangsaan Indonesia. Dalam pada itu, pergolakan daerah yang terjadi di akhir
1950-an tidak bisa dibaca sebagai gerakan separatisme, sebab lebih banyak
dipicu oleh semangat untuk menuntut keadilan dan otonomi daerah yang
ditelantarkan oleh politik sentralistik saat itu.
Politik tipe ini masih
berlangsung sampai tahun 1998, setidak-tidaknya dalam teori, sedangkan dalam
kenyataan pembangunan daerah yang sesungguhnya belum terwujud. Kata orang:
kepalanya dilepaskan, tetapi ekornya masih tetap saja dipegang.
Perhatian negara secara
sungguh-sungguh terhadap pembangunan daerah di luar Jawa baru menjadi masif
di era pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), khususnya sejak dua tahun
terakhir. Maka tidak mengherankan hasil terakhir dari beberapa lembaga survei
menunjukkan bahwa kepuasan publik atas kinerja pemerintah sudah nyaris
mendekati angka 80 persen.
Ini angka yang sangat tinggi.
Tetapi ingat bahwa angka ini belum sekaligus menunjukkan bahwa ikatan
kebangsaan kita sudah kuat, tidak perlu dirawat lagi dengan alasan berikut
ini. Ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia
bagian timur baru mulai dipertautkan.
Jika sejarah sebagai kritik
dapat digunakan dalam meneropong perjalanan sejarah bangsa yang terdiri atas
ribuan pulau ini, sesungguhnya Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses
menjadi, belum jadi betul. Gangguan dan bahkan ancaman terhadap keberadaannya
masih saja muncul, baik karena pengaruh ideologi luar yang diimpor ke sini
oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun oleh kelalaian negara
untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh sila kelima
Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Situasi sejarah nasional dalam
tahap yang masih dalam “proses menjadi” ini tidaklah mengejutkan benar karena
kesadaran berbangsa satu itu baru muncul tahun 1920-an, bersamaan dengan
perubahan nama organisasi mahasiswa kita di negeri Belanda dari Indische
Vereniging menjadi Indonesische Vereniging atau PI (Perhimpunan Indonesia)
yang fenomenal itu. Sebelum itu, yang disebut bangsa itu tidak lain dari
suku-suku bangsa dengan beragam subkulturnya masing-masing.
Ali Sastroamidjojo dalam
autobiografinya menulis: “Bagi saya yang baru saja datang dari Jakarta
(permulaan tahun 1923) … dengan suasana kolonialnya dan pergerakan pemudanya
yang masih bersifat kedaerahan, nama ‘Indonesische Vereniging’ ini sungguh
menggoncangkan semua pendapat atau keyakinan yang saya bawa dari Tanah Air.
Arti persatuan bangsa Indonesia, belum pernah menjadi perhatian ‘Jong Java.’
Kesadaran kebangsaan saya baru sampai pada taraf kesukuan Jawa.”(Tonggak-Tonggak
di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta, 1974, hlm 43).
Perasaan seperti yang dialami
Ali ini tentu dirasakan pula oleh mereka yang berasal dari suku-suku lain di
Nusantara yang sedang belajar di Eropa ketika itu. Melalui tempaan
revolusioner dan inspiratif dalam kegiatan PI, maka perasaan kedaerahan itu
menjadi luluh untuk menyatu dan melebur dalam perasaan keindonesiaan yang
padu dalam ikatan sebuah bangsa besar di kawasan khatulistiwa yang cantik dan
kaya dengan sumber-sumber alam.
Selanjutnya, tokoh PI ini
bertutur: “Dari sebab itu turut mengalami saat-saat peralihan radikal di
dalam perkembangan ‘Indische Vereniging’ menjadi ‘Indonesische Vereniging’
yang terjadi di Den Haag itu menyebabkan perubahan mental yang radikal pula
di dalam jiwaku. Dengan segera sekali menipislah perasaan kesukuan Jawa di
dalam hatiku. Perasaan dan kesadaran baru segera tumbuh. Saya mulai sadar
bahwa saya tidak hanya termasuk golongan suku Jawa, melainkan menjadi
sebagian daripada suatu bangsa besar, ialah bangsa Indonesia.”(Ibid). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar