Milenial
dan Ke(tidak)tertarikan pada Politik
Detti Febrina ; ”Islamic Women
Leadership” Australian Award Indonesia 2017 Course Awardee
|
REPUBLIKA,
31 Oktober
2017
Ini kejadian benar dari Kota
Semarang. Dari 250 peserta pelatihan yang notabene genre milenial, bahkan
kemungkinan generasi Z, saat ditanya cita-cita tak satupun yang mau jadi
politisi.
Kata mereka politisi itu capek,
banyak urusan, besar tanggungjawabnya, jarang kumpul keluarga. Dan satu dari
mereka anak seorang politisi, berkata, "Biarkan ayahku saja yang
merasakan hidup ndak normal."
Cerita ini tersaji di dinding
media sosial Hadi Santoso, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa
Tengah, sekaligus Ketua Bidang Humas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa
Tengah.
Mungkin itu sebabnya, lanjut
Hadi, negara ini tak beres-beres; karena pemimpin atau politisi tidak menjadi
profesi yang diingini. Para milenial tidak tahu bagaimana mempersiapkan diri
menjadi politisi yang baik. Berbeda dengan dokter, pengacara, insinyur,
pilot, psikolog. Mereka bisa menjelaskan dengan detail apa profesi itu, apa
saja yang harus disiapkan untuk menjadi profesi itu.
Sketsa di atas mungkin belum
cukup mewakili gambaran keseluruhan future job kids jaman now yang sekira
usia 15-25 tahun ini. Maka, pertanyaan lanjutnya benarkah politisi bukan
cita-cita yang diingini millennials? Benarkah anak-anak muda sekarang makin
apolitis? Benarkah rentang peduli mereka pada problem publik, thus problem
keumatan, makin pendek dan - mengutip salah satu istilah mereka sendiri: kian
receh?
Lalu bagaimana menjelaskan
fenomena Tsamara Amany Alatas yang sukses jadi pemanjat sosial notabene via
jalur politik?
Saya juga diperjumpakan dengan
Emilia Lisa Sterjova, legislator sebuah kota di Negara Bagian Victoria,
Australia, yang terpilih saat berusia 19 tahun (undang-undang setempat
mendorong kaum muda ikut menjadi councillor, anggota legislatif, dalam usia
yang sangat muda: 18 tahun).
Atau yang lebih dekat, di
Indonesia ada pimpinan DPRD Makassar Andi Rahmatika Dewi yang pertama
terpilih sebagai legislator di usia 24 tahun?
Atau Gubernur Lampung M. Ridho
Ficardo, dilantik sebagai kepala daerah pada usia 33 tahun, menumbangkan
rekor Gubernur termuda yang sebelumnya diampu Gubernur Nusa Tenggara Barat M.
Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (dilantik usia 36 tahun).
Ada pula Muhammad Syahrial yang
dilantik menjadi Wali Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada usia 26 tahun.
[Diskusi kita mungkin bisa
berlanjut kelak pada komparasi antar negara karena di Indonesia politisi muda
yang sukses naik tampuk tampaknya harus punya sokongan dan latar belakang
keluarga yang tidak biasa. Politisi muda dari kalangan rakyat jelata seperti
Emilia di Australia, untuk Indonesia mungkin masih utopis saat ini]
Lalu benarkah tuduhan
millennials dan gen Z hanyalah sekumpulan generasi 'nunduk' yang gila swafoto
tapi ironisnya asosial, lazy, hello it's me, tak tahu sopan santun dan sulit
menjadi agen perubahan?
Tidak adil menilai generasi ini
hanya dari kacamata generasi tua karena setiap generasi punya miliu, value,
dan tuntutannya sendiri-sendiri. CEB Iconoculture dalam laporannya tahun 2013
menguraikan perbedaan value yang digenggam masing-masing genre.
Boomers - yup, siapa saja yang
usianya berawal atau lebih dari angka 4 - menganggap tinggi nilai keadilan
(justice), integritas (integrity), kekeluargaan (family), kepraktisan
(practicality), dan kewajiban (duty). Sedangkan millennials lebih memandang
penting kebahagiaan (happiness), passion, keberagaman (diversity), berbagi
(sharing), dan penemuan (discovery).
Lalu secara politis, tak adil
pula menganalisis gen milenial dan gen Z hanya karena mereka dianggap penting
dari sudut pandang pasar suara dalam industri politik. Amat sangat mungkin di
tengah digital native ini ada yang bangkit kesadaran politiknya karena
membaca bahaya buta politik Bertolt Brecht atau karena mereka sendiri memang
sejatinya secara natural adalah generasi pendukung perubahan.
Suka tak suka akan ada di antara
mereka yang menjadi pelaku-pelaku politik, baik sebagai pemilih, medioker,
maupun politisi itu sendiri. Akan ada dari generasi mereka yang mengisi
ceruk-ceruk pemimpin di segala level.
Millennials adalah mayoritas
dalam angkatan kerja saat ini. Apa mungkin dunia politik luput dari fakta
itu?
Lalu apa yang terjadi jika
mereka tidak diberi bekal optimal agar tongkat estafet kebaikan bisa tetap
berpindah di ranah politik yang telanjur dicap dusta dan nista ini? Jika para
muda yang segar dan potensial acap dilihat sebagai pesaing bahkan musuh bagi
genre yang menjelang senja atau usai usia?
Milenial itu bisa jadi
anak-anak kita sendiri. Ataupun anak-anak zaman yang memang dititipkan kepada
kita agar dibimbing dan didukung untuk tetap jadi orang baik, di segala
bidang. Bahkan termasuk di kubangan politik.
Berbahaya meninggalkan mereka
hanya dengan ambisi kuasa legislatif, eksekutif (maupun yudikatif, bahkan
melampaui trias politica, ada pilar-pilar demokrasi yang lain seperti pers
bebas dan kemerdekaan berserikat dan jangan lupakan ranah profesional), tapi
generasi sebelum mereka juga tentunya harus meninggalkan warisan terbaik.
Millennials bahkan disebut oleh
Brian Scudamore, CEO O2E Brands, sebagai generasi yang memiliki karakter
kepemimpinan lebih kuat dari generasi-generasi sebelumnya. "Millennials
lebih berani 'ask for help', nggak ragu untuk kerja keras, umumnya karakter
pekerja tim, dan punya kekuatan empati," kata Scudamore yang notabene
berasal dari generasi tua.
Sudah pula sering laporan hasil
pertemuan World Economic Forum Januari 2016 itu dikutip. Betapa sepertiga (35
persen) skill yang di zaman sebelumnya dianggap penting akan termodifikasi
atau hilang. "Critical thinking" dan "kreativitas"
melesat di puncak tangga top 10 skills untuk tahun 2020. "Emotional
intelligence" dan "fleksibilitas kognitif" meruyak jadi skill
penting menggantikan "quality control" dan "mendengar
aktif".
Maka jangan ragu lagi menggelar
karpet warna neon tanda selamat datang dan selamat berkarya bagi para muda
millennials dan generasi Z. Pergantian dan perubahan itu keniscyaan. Dan
terlalu skeptis menganggap mereka abai politik.
Selamat berkhidmat, para
politisi milenial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar