Memelihara
Bahasa, Menjaga Kerukunan
Fathur Rokhman ; Guru Besar Sosiolinguistik; Rektor Universitas
Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 31 Oktober 2017
KETEGANGAN hubungan antarkelompok
masyarakat diprediksi bereskalasi pada tahun politik 2018. Keadaan itu kerap
hanya dipahami berdasarkan pendekatan sosial, padahal ada pula peran bahasa.
Para pengkaji bahasa telah lama berkesimpulan bahwa bahasa bukan hanya
representasi realitas, melainkan juga alat rekonstruksi realitas. Dalam arti
negatif, sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa kondisi tidak ideal
masyarakat diciptakan melalui bahasa.
Prasangka dan kebencian yang
berakhir dengan kekerasan banyak yang didahului oleh rekayasa bahasa. Bahasa
digunakan untuk memanipulasi secara negatif pandangan publik terhadap
realitas, sehingga muncul afeksi negatif pula. Ketegangan sosial, sentimen
etnis, dan kegaduhan berkepanjangan juga terjadi akibat penggunaan bahasa. Di
Indonesia, kegaduhan menjadi masalah serius karena membuat banyak energi
terbuang. Pertengkaran antarelite, misalnya, menyita energi hanya untuk
klarifikasi. Akibatnya, energi yang seharusnya digunakan untuk bekerja
menyejahterakan rakyat justru terkuras. Komunikasi elegan mensyaratkan
penggunanya memiliki kesadaran kritis terhadap bahasa; antara lain berkaitan
dengan sifat ontologis bahasa, sifat dan karakteristik penggunaannya, serta
efek sosial yang bisa ditimbulkan.
Oleh pihak yang tak bertanggung
jawab, kekuatan bahasa sebagai alat konsruksi realitas sering dieksploitasi
demi keuntungan pribadi dan kelompok. Praktik buruk ini lazimnya terjadi pada
tahun politik. Melalui bahasa mereka mendefinisikan ulang objek tertentu
sehingga dipersepsi keliru oleh masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi
kesalahpahaman, kegaduhan, dan bahkan permusuhan. Stereotiping menjadi
praktik kebahasaan yang paling sering dilakukan untuk tujuan jahat itu. Namun
cara-cara yang lain juga sering digunakan, contohnya memelintir (twisting),
melebih-lebihkan (exaggerating), dan membiaskan (deflecting). Ketika
dilakukan terus-menerus, praktik kebahasaan itu bukan hanya menyebabkan
kesalahpahaman kolektif, melainkan juga meningkatkan ketegangan sosial yang
berakibat pada ketercabikan kerukunan.
Teori-teori kritis kebahasaan
menawarkan berbagai perspektif untuk mengantisipasi; membimbing pembacanya
agar menyadari aspek-aspek tak tampak dalam praktik penggunaan bahasa
sehingga bisa melihat polanya. Teori kritis melihat bahasa tidak hanya
sebagai tuturan yang muncul di permukaan, tetapi juga sebuah praktik sosial
yang dilandasi kepentingan dan ideologi tertentu.
Pada tahap metodologi,
kesadaran kritis demikian akan membimbing penggunanya selalu cermat melihat
interaksi teks bahasa dengan teks lain dalam konteks spesifik. Kesadaran
kritis demikian berguna agar penutur bahasa dapat menangkal berbagai praktik
penggunaan bahasa yang bertujuan destruktif. Saat menghadapi kesalahpahaman,
contohnya, dapat menemukan titik kesalahpahaman sehingga bisa menguraikan.
Ketika menghadapi ekspresi kebencian, mampu menetralkan dengan klarifikasi.
Atau, sewaktu ada hoax atau berita bohong, bisa menunjukkan letak
kebohongannya sekaligus mengetahui motif pembuatnya. Dalam sejarah Indonesia
modern, ada sejumlah eksperimen sosial yang menunjukkan efektivitas
penggunaan bahasa sebagai sarana konstruksi sosial. Perubahan kata
"cacat", "tuna", dan kemudian "difabel"
menunjukkan iktikad menciptakan hubungan yang lebih baik antarsesama manusia.
Kata "cacat" berkonotasi negatif karena membunyikan realitas
kecacatan secara buruk. Morfem terikat "tuna" kemudian
menggantikan. Meski masih fokus pada kekurangan, penggunaan morfem itu
menunjukkan iktikad untuk mendudukkan orang yang mengalami kecacatan agar
memperoleh layanan khusus yang sesuai.
Meskipun tampak hanya sebagai
permainan kata, eksperimen kebahasaan itu mengubah relasi sosial masyarakat
secara radikal. Penggunaan kata difabel membimbing difabel menilai dirinya
secara lebih optimistis sekaligus "memaksa" masyarakat lain memandang
mereka secara lebih positif. Belajar pada eksperimen itu, pengguna bahasa
Indonesia dapat menyusun strategi kebahasaan lain agar persoalan-persoalan
sosial kekinian dapat diselesaikan. Sebagai bangsa, Indonesia mengalami
persoalan serius karena penguatan sentimen identitas. Rasa kesukuan,
keagamaan, dan kedaerahan tumbuh kuat serta berpotensi menggoyahkan rasa
kebangsaan.
Penguatan sentimen identitas
itu dapat diamati pada cara kelompok satu mendeskripsikan kelompok lain. Saat
ini, makin banyak ekspresi kebahasaan bernada peyoratif yang bernuansa
permusuhan. Kecenderungan itu tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi
juga dalam praktik kebahasaan sehari-hari. Di media sosial, contohnya, ada
banyak orang sembrono yang menggunakan kata "ninja" untuk menyebut
penganut aliran keagamaan tertentu yang bercadar. Ada yang menggunakan
"kaum cingkrang" untuk menyebut pengikut aliran keagamaan tertentu
yang menggunakan potongan celana di atas mata kaki. Untuk menyebut demonstran
juga muncul istilah "panasbung" atau "pasukan nasi
bungkus". Di pihak lain, beredar pula penggunaan kata "asing"
dan "aseng" yang merujuk pada kelompok etnis tertentu.
Penggunaan ungkapan-ungkapan
itu berbahaya bukan hanya karena tidak tepat secara semantik, tetapi juga
karena menonjolkan ekspresi kebencian. Jika dibiarkan berlarut-larut, gejala
itu akan mempertajam sentimen kelompok, menumbuhkan kebencian dengan kelompok
lain, dan akhirnya menghancurkan sendisendi kerukunan yang telah dibangun.
Karena itu, bahasa penting diberdayakan bersama-sama secara lebih positif.
Pada tahap awal, hal itu dapat dilakukan dengan menyebarkan kesadaran bahasa
kritis kepada warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar