Rabu, 01 November 2017

Memelihara Bahasa, Menjaga Kerukunan

Memelihara Bahasa, Menjaga Kerukunan
Fathur Rokhman ;  Guru Besar Sosiolinguistik; Rektor Universitas Negeri Semarang
                                             SUARA MERDEKA, 31 Oktober 2017



                                                           
KETEGANGAN hubungan antarkelompok masyarakat diprediksi bereskalasi pada tahun politik 2018. Keadaan itu kerap hanya dipahami berdasarkan pendekatan sosial, padahal ada pula peran bahasa. Para pengkaji bahasa telah lama berkesimpulan bahwa bahasa bukan hanya representasi realitas, melainkan juga alat rekonstruksi realitas. Dalam arti negatif, sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa kondisi tidak ideal masyarakat diciptakan melalui bahasa.

Prasangka dan kebencian yang berakhir dengan kekerasan banyak yang didahului oleh rekayasa bahasa. Bahasa digunakan untuk memanipulasi secara negatif pandangan publik terhadap realitas, sehingga muncul afeksi negatif pula. Ketegangan sosial, sentimen etnis, dan kegaduhan berkepanjangan juga terjadi akibat penggunaan bahasa. Di Indonesia, kegaduhan menjadi masalah serius karena membuat banyak energi terbuang. Pertengkaran antarelite, misalnya, menyita energi hanya untuk klarifikasi. Akibatnya, energi yang seharusnya digunakan untuk bekerja menyejahterakan rakyat justru terkuras. Komunikasi elegan mensyaratkan penggunanya memiliki kesadaran kritis terhadap bahasa; antara lain berkaitan dengan sifat ontologis bahasa, sifat dan karakteristik penggunaannya, serta efek sosial yang bisa ditimbulkan.

Oleh pihak yang tak bertanggung jawab, kekuatan bahasa sebagai alat konsruksi realitas sering dieksploitasi demi keuntungan pribadi dan kelompok. Praktik buruk ini lazimnya terjadi pada tahun politik. Melalui bahasa mereka mendefinisikan ulang objek tertentu sehingga dipersepsi keliru oleh masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi kesalahpahaman, kegaduhan, dan bahkan permusuhan. Stereotiping menjadi praktik kebahasaan yang paling sering dilakukan untuk tujuan jahat itu. Namun cara-cara yang lain juga sering digunakan, contohnya memelintir (twisting), melebih-lebihkan (exaggerating), dan membiaskan (deflecting). Ketika dilakukan terus-menerus, praktik kebahasaan itu bukan hanya menyebabkan kesalahpahaman kolektif, melainkan juga meningkatkan ketegangan sosial yang berakibat pada ketercabikan kerukunan.

Teori-teori kritis kebahasaan menawarkan berbagai perspektif untuk mengantisipasi; membimbing pembacanya agar menyadari aspek-aspek tak tampak dalam praktik penggunaan bahasa sehingga bisa melihat polanya. Teori kritis melihat bahasa tidak hanya sebagai tuturan yang muncul di permukaan, tetapi juga sebuah praktik sosial yang dilandasi kepentingan dan ideologi tertentu.

Pada tahap metodologi, kesadaran kritis demikian akan membimbing penggunanya selalu cermat melihat interaksi teks bahasa dengan teks lain dalam konteks spesifik. Kesadaran kritis demikian berguna agar penutur bahasa dapat menangkal berbagai praktik penggunaan bahasa yang bertujuan destruktif. Saat menghadapi kesalahpahaman, contohnya, dapat menemukan titik kesalahpahaman sehingga bisa menguraikan. Ketika menghadapi ekspresi kebencian, mampu menetralkan dengan klarifikasi. Atau, sewaktu ada hoax atau berita bohong, bisa menunjukkan letak kebohongannya sekaligus mengetahui motif pembuatnya. Dalam sejarah Indonesia modern, ada sejumlah eksperimen sosial yang menunjukkan efektivitas penggunaan bahasa sebagai sarana konstruksi sosial. Perubahan kata "cacat", "tuna", dan kemudian "difabel" menunjukkan iktikad menciptakan hubungan yang lebih baik antarsesama manusia. Kata "cacat" berkonotasi negatif karena membunyikan realitas kecacatan secara buruk. Morfem terikat "tuna" kemudian menggantikan. Meski masih fokus pada kekurangan, penggunaan morfem itu menunjukkan iktikad untuk mendudukkan orang yang mengalami kecacatan agar memperoleh layanan khusus yang sesuai.

Meskipun tampak hanya sebagai permainan kata, eksperimen kebahasaan itu mengubah relasi sosial masyarakat secara radikal. Penggunaan kata difabel membimbing difabel menilai dirinya secara lebih optimistis sekaligus "memaksa" masyarakat lain memandang mereka secara lebih positif. Belajar pada eksperimen itu, pengguna bahasa Indonesia dapat menyusun strategi kebahasaan lain agar persoalan-persoalan sosial kekinian dapat diselesaikan. Sebagai bangsa, Indonesia mengalami persoalan serius karena penguatan sentimen identitas. Rasa kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan tumbuh kuat serta berpotensi menggoyahkan rasa kebangsaan.

Penguatan sentimen identitas itu dapat diamati pada cara kelompok satu mendeskripsikan kelompok lain. Saat ini, makin banyak ekspresi kebahasaan bernada peyoratif yang bernuansa permusuhan. Kecenderungan itu tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga dalam praktik kebahasaan sehari-hari. Di media sosial, contohnya, ada banyak orang sembrono yang menggunakan kata "ninja" untuk menyebut penganut aliran keagamaan tertentu yang bercadar. Ada yang menggunakan "kaum cingkrang" untuk menyebut pengikut aliran keagamaan tertentu yang menggunakan potongan celana di atas mata kaki. Untuk menyebut demonstran juga muncul istilah "panasbung" atau "pasukan nasi bungkus". Di pihak lain, beredar pula penggunaan kata "asing" dan "aseng" yang merujuk pada kelompok etnis tertentu.

Penggunaan ungkapan-ungkapan itu berbahaya bukan hanya karena tidak tepat secara semantik, tetapi juga karena menonjolkan ekspresi kebencian. Jika dibiarkan berlarut-larut, gejala itu akan mempertajam sentimen kelompok, menumbuhkan kebencian dengan kelompok lain, dan akhirnya menghancurkan sendisendi kerukunan yang telah dibangun. Karena itu, bahasa penting diberdayakan bersama-sama secara lebih positif. Pada tahap awal, hal itu dapat dilakukan dengan menyebarkan kesadaran bahasa kritis kepada warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar