Senin, 15 September 2014

Westphalia

Westphalia

Goenawan Mohamad  ;   Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 15 September 2014
                                      
                                                      

Imagine, there is no country.

Kadang-kadang orang sebal dengan batas. Saya kira rata-rata orang Indonesia yang masuk ke negeri lain merasakan bahwa tiap meja imigrasi dipasang dengan kandungan syak wasangka. Petugasnya akan dengan tanpa senyum menatap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari bentuk hidung dan kuping kita. Ia biasanya akan menghela napas, membetulkan letak kacamatanya, dan seperti mau menyatakan: Anda saya silakan masuk ke negeri kami, tapi sebenarnya Anda bisa merepotkan kami.

Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor kita akan kita serahkan, dan paspor Republik Indonesia itu akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu akan ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya, lalu dok-dok-dok, stempel diterakan. Kita boleh lewat. Setelah itu: pemeriksaan duane.

Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya disambut baik karena ada yang didapat: kedaulatan. "Kedaulatan" itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang dipahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenarnya tidak dari kitab suci mana pun. Tapi ia punya mithosnya sendiri.
Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian itu bermula dari sejarah Eropa yang bergelimang darah di abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5 juta manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik selama tiga dasawarsa saling mengerahkan pasukan untuk menghabisi satu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat laut.

Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat tahun untuk mencapai hasil. Mewakili 194 kekuasaan yang bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan pelbagai macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-1648 di Westphalia. Acara pertama-enam bulan lamanya-membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk lebih dulu ke ruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya: utusan Prancis dan Spanyol selama empat tahun itu tak pernah bertemu karena aturan protokolernya tak memungkinkan.

Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan disetujui (perlu tiga minggu untuk itu), dan Perjanjian Damai Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.

Salah satu keputusan: Swiss memperoleh "kedaulatan".

Tapi tak berarti "kedaulatan" itu sama artinya dengan pengertian yang berlaku sekarang. Seorang sejarawan, Andreas Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Inggris disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa itu, juga dalam teks Latin dokumen resmi. "Tak seorang pun waktu itu menggubris 'kedaulatan' sebagai sebuah konsep." Kata itu tak tampak dalam komunikasi diplomatik ataupun dalam pamflet-pamflet yang mengiringi alasan perang. Perang 30 Tahun bukan perang mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa di sebuah wilayah-berbeda dengan perang di dunia di abad ke-20-melainkan lebih berupa perang memperjuangkan kemerdekaan beragama.
Maka Osiander yakin, bukan Perjanjian Westphalia di abad ke-17 itu yang memulai batas-batas kedaulatan yang kemudian disebut "Tata Westphalia". 

Kedaulatan yang seperti kita kenal sekarang agaknya baru mulai mencari bentuknya setelah Revolusi Prancis, ketika kedaulatan tak lagi melekat pada pribadi raja yang menguasai sebuah wilayah. Kedaulatan sejak saat itu menjadi kedaulatan semua warga-kedaulatan bangsa-yang berada dalam proteksi sebuah negara. Dan "negara", dalam telaah Osiander, baru hadir dalam maknanya yang sekarang sejak abad ke-19.

Dengan kata lain, "negara" adalah produk sebuah masa, sebuah tempat. Meskipun demikian, ia tak mudah hilang bersama waktu. Marx pernah meramalkan suatu hari nanti, bila masyarakat komunis tercapai, negara akan menyusut dan menghilang, melapuk dan layu. Tapi sampai hari ini, belum tampak tanda-tanda ke arah itu. Di mana-mana masih ada struktur politik dengan pusat pengambilan keputusan yang juga punya wewenang memaksa, yang hadir dukung-mendukung dengan sebuah komunitas yang disebut "bangsa"-komunitas yang menghuni satu wilayah di muka bumi. "Negara," tulis Osiander dalam Before the State: Systemic Political Change in the West from the Greeks to the French Revolution, "terus dianggap sebagai kerangka yang tak bisa dilepaskan dari politik."

Tak berarti dalam hubungan antarnegara kita melanjutkan "Tata Westphalia". Sejarah dan geografi Westphalia terlampau jauh untuk bisa saya bayangkan berpengaruh ke percaturan internasional Indonesia hari ini. Sejarah bukanlah satu garis lurus dengan arah ke pelbagai penjuru. Sejarah adalah pelbagai diskontinuitas.

Maka, seperti Osiander, saya tak yakin "tata" itu ada dan berlanjut dipatuhi sampai sekarang. Yang ada hanyalah "tata" yang sekaligus "bukan-tata": ketertiban teritorial yang dijaga dengan kekuatan dan ancaman yang sesekali bisa meledak, dan untuk mencegahnya lahirlah kesepakatan antarnegara yang sesekali retak.

Dalam bentuk ekstremnya, "tata" yang "bukan-tata" itulah yang sebenarnya hendak dijadikan alasan perang Daulat Islamiyah (IS), yang tak mengakui batas geografi politik yang ada. Tapi itu juga yang sebenarnya diberlakukan Israel di wilayah Palestina yang didudukinya.

Memang, kadang-kadang orang sebal dengan batas. Tapi bila kita ingat akan "tata" perbatasan yang bisa diacak-acak dengan kekerasan, mungkin kita sesekali tersenyum kepada petugas imigrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar